Pelajaran Dari Seonggok Belerang
Hamparan kegelapan masih lekat kala
aku tiba di tempat itu. Dinginnya udara pagi seolah berhasil menyihir siapapun
untuk tidak membuka mata mereka. Selimut hangat pasti akan di tarik menutupi
seluruh badan oleh siapapun yang tak betah dengan bekunya udara gunung.
Temanku menggoyangkan dan membangunkan
tubuhku yang sedang lelap berkelana dalam mimpi dengan kasar. Sontak mimpi
indah bertemu seorang gadis pupus. Sambil mengais sisa sisa kesadaran yang
masih tercecer di mimpi indah tadi, aku bertanya pada temanku dimana ini.
“kita sudah sampai” katanya, “kita
sudah sampai di Kawah Ijen” seloroh temanku yang lain.
Mendengar itu, seketika kesadaranku
kembali seperti sedia kala. Udara dini hari yang sangat dingin berhasil menusuk
kulitku dari sela jaket tebal yang aku kenakan; mempercepat proses pemulihan
kesadaran. Sayup-sayup terdengar suara entah dari mulut siapa. Aroma kopi yang
khas juga sedikit menyapa hidungku.
Aku edarkan pandangan ke sekeliling
sambil perlahan keluar dari mobil. Beberapa ibu-ibu paruh baya sedang mengaduk
kopi di warung sederhana mereka. Cahaya temaram warung berhasil memperjelas asap
yang mengepul dari cangkir-cangkir kecil, -sangat menggoda-, serupa wanita jawa
yang sedang menari gemulai memamerkan lekuk tubuhnya.
Setelah menikmati secangkir kopi
panas, aku dan keduabelas temanku bersiap untuk melanjutkan perjalanan menuju
kawah. Dari sini, perjalanan kami lanjutkan dengan mengandalkan kaki. Sekali
lagi, alam memang sangat selektif, hanya mereka yang mampu mengalahkan dirinya
sendiri yang diperbolehkan menikmati kemolekannya.
Kami berjalan perlahan, karena memang
jalan yang terbentang cukup menguras tenaga. Sesekali kami berhenti untuk
mengatur nafas sambil mendongakkan kepala ke atas. Menikmati langit telanjang
tanpa awan tepat di atas kami. Bintang yang seakan disebar tak beraturan dipadu
dengan nyanyian binatang malam yang bersahutan, menjadi obat penat yang luar
biasa ampuh. Beginilah alam bekerja. Instrumen Tuhan dengan pencahayaan langsung
dari langit, benar-benar sesuatu yang aduhai. Sebuah obat mujarab dari toksin
kota yang menjemukan.
Udara dingin yang setia menemani
perjalanan kami saat itu menjadi semakin dingin saat kami tiba di atas sana,
setelah dua jam berjalan. Angin yang cukup kencang membawa material debu yang
cukup membahayakan indra penglihatan sehingga seringkali kami dipaksa
memejamkan mata karenanya. Saat itu, alam sedang berganti baju. Dari bajunya yang serba gelap, berubah perlahan
menjadi jingga. Ah mungkin alam malu dipandangi ketika berganti baju, oleh
karena itulah debu diterbangkan olehnya.
alam yang sedang berganti baju
Sungguh eksotis, garis jingga keemasan
yang membentang cukup panjang menjadi batas antara baju yang sedang berganti.
Perlahan namun pasti, baju serba gelap itupun berganti dengan baju yang cerah
keemasan. Dan pagipun datang.
pagi di kawah ijen
Kabut yang sedari tadi menutupi kawah
ijen kini tersingkap. Keindahan yang terselubung itu kini kami nikmati.
Terbayar lunas perjalanan delapan jam dengan mobil ditambah dua jam dengan berjalan
kaki. Kami bagaikan anak kecil lagi. Berebut berfoto dengan background surga. Berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil yang baru diberi permen
coklat kesukaannya. Dan pada akhirnya diam menatap hikmat lukisan Tuhan yang
ada di depan mata kami; bagai anak kecil yang takjub ketika melihat sulap.
berfoto dengan latar Kawah nan cantik
Setelah puas berfoto, kami akhirnya
turun kebawah. Melihat secara dekat Kawah Ijen tersebut. Melihat kecantikan secuil
surga yang jatuh di ujung timur pulau yang disebut Jawa ini. Jalanan yang harus
kami lalui cukup licin dan berbahaya. Aroma belerang samar-samar mulai tercium
lewat hidung kami. Dari kejauhan terlihat aktifitas para penambang lokal
disana. Aku yang penasaran semakin mendekat. Namun sekali lagi asap belerang
yang keluar tak mengijinkanku mendekat semauku. Aku menjaga jarak disana,
beberapa meter dari para penambang. Sambil sesekali memotret kegiatan para
penambang belerang.
bersama Rian dan kabut Kawah ijen
Belerang itu di alirkan lewat pipa
panjang entah berasal dari mana. Mengalirkan belerang cair yang berbau busuk
yang siap meremas paru-paru. Penambang lokal hanya perlu menunggu belerang cair
itu mengeras lalu memecahnya dengan linggis dan membawanya ke pengepul. terkadang
asap dari kawah yang berbau amat mengganggu itu muncul tiba-tiba. Seolah tak
rela belerang tersebut dibawa manusia.
kabut; kawan sejati Kawah Ijen
Bagiku yang saat itu disana. Bau itu
bagaikan bau neraka yang aku yakin makhluk apapun tidak mampu bertahan
menghirupnya. Lihatlah, tidak ada apapun yang hidup di sekitar daerah itu.
Namun tidak dengan para penambang itu. Dengan hanya kaos yang di lilitkan ke
kepala dan hidung mereka, mereka mampu bertahan ber jam-jam di tempat tersebut.
tidak hanya diam, mereka tetap bergerak dan memecahkan gumpalan belerang kuning
tersebut. Duhai.........
belerang, harta tersembunyi di kawah ijen
Tujuh puluh ribu adalah bayaran yang
mereka dapat untuk sekali angkut, sungguh jumlah yang sangat tidak masuk akal.
Lihat saja, mereka mempertaruhkan nyawa mereka untuk uang sekecil itu. bahu
mereka harus menahan beban hingga delapan puluh kilogram ditambah perjalanan
licin dan jurang yang setiap saat siap mengoyak tubuh mereka bila salah langkah
sedikit saja. Tak ada peralatan standart disana. Bahkan alat pemikul merekapun
hanya berupa bambu yang dianyam sedemikian rupa yang di hubungkan dengan kayu
saja.
satu kata saja; BERAT!
Bukankah sangat mungkin alat tersebut patah di tengah jalan? Lihatlah
alas kaki yang mereka gunakan. Tidak ada sepatu standart pertambangan. Kalaupun
ada, kondisinyapun sudah sangat buruk. Aku bahkan menemukan beberapa dari
mereka yang hanya beralaskan sendal japit! Luar biasa bukan?! Bukankah ini
pekerjaan yang tak beradap? Aku berpikir bahwa bukan belerang yang mereka
panggul, namun maut.
penambang dengan 'emas' nya
Aku teringat pekataan guru agamaku
dulu sekali. Pernah suatu saat beliau berkata bahwa surga itu indah, dan dihuni
oleh orang orang yang indah pula. Disana orang tak kekurangan apapun walau
tanpa bekeja. Namun bayangan itu lenyap seketika disini. Kepingan surga yang
aku tatap kali ini sangat memprihatinkan. Dihuni oleh orang miskin dengan
pekerjaan yang keras hanya untuk sesuap nasi. Sebuah pemandangan kontradiktif
dengan apa yang guruku sempat utarakan!
wajah tulus penambang belerang
Ketika aku tanya salah satu penambang
itu, kenapa tidak mencari pekerjaan lain, dia menjawab bahwa inilah
satu-satunya pekerjaan yang bisa mereka lakukan. Mereka tidak punya kelebihan
lain selain paru-paru dan bahu mereka yang diatas kewajaran. Mereka mulai
keluar rumah pukul tiga pagi yang bahkan ayam pun masih malas berkokok.
Menggendong alat sederhana itu dengan pelan. Sambil mendengarkan nyanyian alam
yang menenangkan. Mungkin gemintang di atas sanalah sahabat paling setia yang
terus mengawasi mereka.
perjalanan terjal yang harus mereka lalui
Mereka telah mulai bekerja sebagai
penambang sejak usianya memasuki musim semi. Usia remaja dimana seharusnya
menurut standart kekinian, menjadi fase mencari jati diri. Namun mereka memilih
untuk menjadi bagian dari alam, menuruni dan menaiki gunung dengan beban
puluhan kilo di bahu mereka. Menjadi objek ke-eksotisan orang kota yang datang
hanya untuk menuntaskan kedahagaan mereka pada objek bernilai jual tinggi.
saling membantu antar pekerja; bukankah ini indah? bukankah begini seharusnya kita bekerja?
Betapapun beratnya pekerjaan yang
mereka kerjakan saat ini, senyum simpul nan tulus dan indah selau tersungging
dari bibir mereka. Sebuah pelajaran berharga untuk tetap bersyukur, seberat
apapun hidup yang sedang kita hadapi. Aku juga heran saat itu, mengapa mereka
tetap bisa bercanda dan tersenyum meskipun keadaan mereka sangat
memprihatinkan? Apakah mungkin senyuman itu adalah obat dari keletihan mereka?
Atau jangan jangan mereka pernah membaca potongan literatur yang mengatakan “Do not let
the world change your smile, but let your smile change the world instead”.
Apakah mereka menyadarinya? Bahwa senyum mereka itulah senjata paling ampuh
untuk menghadapi hidup yang semakin brutal ini.. ahh entahlah......
senyuman yang selalu tersungging dari bibir penambang
Mereka mengingatkanku dan mengajariku
bahwa apa yang mereka panggul di bahu kuat mereka buakanlah sekedar maut
berwujud belerang. Namun lebih dalam lagi, itu merupakan sebuah pelajaran.
Pelajaran hidup yang luar biasa. Pelajaran hidup untuk terus bersyukur dan
tersenyum mengahadapi kerasnya hidup!
Seperti kabut dan Kawah Ijen yang tak pernah berpisah. Aku berjanji bahwa pelajaran ini tak akan pernah berpisah dari diriku. Akan aku bingkai dan aku letakkan di sudut rak ingatanku. Disini, ditempat terdalam dan teraman di jiwaku.
Seperti kabut dan Kawah Ijen yang tak pernah berpisah. Aku berjanji bahwa pelajaran ini tak akan pernah berpisah dari diriku. Akan aku bingkai dan aku letakkan di sudut rak ingatanku. Disini, ditempat terdalam dan teraman di jiwaku.
mengintip Kawah Ijen
sungguh menakjubkan kuasa sang ilahi menciptakan keindahan alam yang sangat luar biasa..
ReplyDeletethis is Indonesia :)!
ReplyDelete