Cinta?
Cinta, hemm, rasanya harus baca Surat Al-Baqoroh
dulu deh kalo ngomongin masalah yang satu ini, hehe. Sebuah kata yang sangat
jamak terdengar namun masih saja sulit dijelaskan. Rangkaian lima huruf yang
menurutku mirip dengan hujan yang saat ini sedang deras mengguyur kontrakanku.
Disatu sisi, hujan dan cinta mampu membasuh dan menyulap tanah dan hati yang
kering menjadi indah, namun disisi lain pula, hujan dan cinta mampu
meluluh-lantakkan apa yang dilewatinya.
Ah cinta. Tak tahu kenapa, hujan di luar sana
seolah berhasil membujukku untuk menuliskan tentangnya. Mungkin suasana sendu
yang ditawarkan hujan, sepinya kontrakan, serta perut yang keroncongan kali
ini, sedikit banyak berhasil memancing diriku untuk mengais-ais kembali memori
tentang cinta yang sempat aku rasakan dulu. Namun tenang saja, aku tidak akan
berujar tentang kisah-kisah gombal murahan bak FTV, atau sinetron disini. Aku
hanya akan sedikit sok pintar dan sok bijak, untuk berbicara tentang cinta.
Cinta, (hemmmh---tarik napas pelan, tahan bentar,
keluarkan pelan... hufff) aku yakin semua pernah mencicipinya. Entah itu hanya
sekedar kagum, cinta monyet, cinta mati, cinta buta atau cinta-cinta yang lain.
Entah apa yang paling benar diantara nama-nama tersebut. siapa peduli?,
bukankah manusia memang pandai mengkotak-kotakan sesuatu. Biarlah, karena
menurutku memang cinta itu pintar bersembunyi dibalik “baju”nya; kadang
berbaju ‘perhatian’, kadang berbaju ‘kekaguman’, kadang berbaju ‘penghormatan’
kadang pula berbaju ‘amarah’ dan baju-baju lain yang entah kita sadari atau
tidak.
Cinta, aku punya pendapatku sendiri tentang hal
indah ini. Dengan analogi sederhana, aku ingin mencoba memberikan pandanganku
disini. Pandanganku tentang ‘tiga level’ CINTA yang berbeda. Terlepas benar
atau tidak, setuju atau tidak, inilah cinta menurut subjektivitas pemuda tanggung
yang sedang kelaparan di salah satu kontrakan di kota Malang ini. (suara hujan semakin deras)
***
Cinta level pertama adalah Cinta yang terkesan
indah, namun pada akhirnya bisa melukai atau membunuh salah satu pihak. Inilah
tahapan dimana seseorang akan merasakan sakit dan kejamnya cinta (dan mungkin ini pula yang mendasari
pernyataan bahwa cinta itu kejam).
Sebuah analogi sederhana tentang cinta level
pertama ini adalah; Seorang bocah kecil dengan seekor anak ayam. Ketika
diberikan seekor anak ayam yang masih kecil, seorang bocah yang polos pasti
akan gemas akan kelucuannya. Kegemasan akan anak ayam tersebut mampu mendorong
bocah itu untuk menggenggam, menggendong, membawa kemana saja atau bakhan
meremas anak ayam tersebut dengan gemas. Perlakuan seperti itulah yang mampu
‘menyiksa’ atau ‘membunuh’ anak ayam tersebut. Ketika anak tersebut ditanya
kenapa ayam itu ‘digenggamnya’ hingga ‘mati’, si anak pasti menjawab karena
gemas, lucu atau bahkan cinta dan sayang.
Inilah poinnya. Karena ‘rasa sayang’ yang
berlebih serta cara mengungkapkan seperti yang dimiliki seorang bocah tersebutlah,
kadang cinta dapat menyakiti atau bahkan membunuh salah satu pihak. Inilah
penjelasan singkat tentang CINTA di level pertama. (suara petir menggelegar di luar)
Cinta level kedua layaknya cinta seorang pecinta
kicauan burung. Bagi seorang penikmat kicauan burung, burung bersuara indah
adalah koleksi wajib yang harus ada di lingkungan rumahnya. Burung-burung
tersebut di ‘kurung’ dalam sangkar, diberi makan dan apa saja yang mungkin
membuatnya mampu bertahan hidup lebih lama. Sekali lagi, ketika ditanya kenapa
mereka melakukan itu, jawabannya hanya satu; Sayang atau Cinta. Namun, apakah
itu benar-benar cinta? entahlah.
Mungkin seandainya kita diberi kemampuan untuk
bisa berkomunikasi dengan burung tersebut, kita akan mampu bertanya perihal apa
yang mereka sebenarnya rasakan, sehingga mampu secara objektif mengatakan bahwa
burung itu juga bahagia berada dalam kurungan atau sebaliknya. Tapi aku yakin,
makhluk apapun itu, pasti mereka ingin hidup wajar dan bebas. Seperti pepatah
lama yang mengatakan; Lebih baik hidup
bebas daripada hidup dalam sangkar emas, bukan-kah begitu?
Parahnya untuk level cinta ini, aku takut, ketika ‘burung-burung’
itu dilepas suatu saat, insting bertahan hidupnya akan hilang karena terlalu
lama ‘disuapi’. Ah pasti mereka kebingungan diluar sana, kelaparan, dan
akhirnya mati. Sama halnya dengan cinta manusia, ketika kita terlalu memanjakan
seorang kekasih, memberinya apa saja yang mereka inginkan dengan dalih cinta.
itu sebenarnya adalah racun yang mungkin pada akhrinya mampu membahayakannya.
Itulah cinta level kedua.
Cinta level terakhir adalah, cinta seorang pecinta
alam. Inilah cinta yang menurutku cukup baik. Cinta yang aku yakin, potensi
untuk saling menyakiti sangat kecil. Begini, bagi seorang Pecinta Alam,
kebahagiaan adalah saat mereka bisa melihat sesuatu yang dicintainya (alam,
burung dll) hidup secara damai di alam mereka sendiri. Seorang pecinta alam
tidak akan mau menangkap, mengusik atau bahkan merusak hal tersebut karena sama
halnya, ketika mereka merusaknya, mereka merusak kebahagiaan mereka sendiri.
Inilah seorang pecinta alam, bukannya menangkap
sesuatu lalu memenjarakannya dengan dalih melindunginya, namun memilih jalur
berbeda dengan tujuan yang sama. mereka akan mengusahakan bagaimana
mengkampanyekan perlindungan hutan demi kelangsungan apa yang mereka cintai
(alam). Mereka melindungi hewan dari tangan-tangan jahil mereka yang menganggap
diri mereka ‘pecinta’. Itulah cinta pecinta alam, mungkin alam, burung-burung,
dan makhluk lainnya tak mampu secara kasat mata merasakan kehadiran pecinta
alam tersebut. kerena memang pecinta alam mencintai dengan caranya sendiri.
Mencintai dengan jarak, mencintai dengan harapan agar yang dicintai tetap bisa
bahagia dan bebas. Sekali lagi, mungkin mereka tidak merasakan kehadiran
seorang pecinta alam, tapi aku yakin mereka mampu merasakan kehadiran sebuah
cinta dalam kedamaian mereka.
Tak sampai disitu, tak hanya beperti bumi dan
matahari yang katanya saling
mencintai lewat jarak, yang mencintai secara statis, yang mencintai hanya
dengan membisu, seorang pecinta alam akan datang ketika ‘waktunya tepat’.
Mereka akan benar-benar datang ketika semua dirasa ‘mendukung’. Saat itulah
pecinta alam membuatkan istana bagi
apa yang dicintainya. Bukan berupa sangkar sempit, yang untuk bernafaspun
susah. Namun sebuah istana yang benar-benar mampu membuat apa yang dicintainya
bahagia disana. Bukan untuk menguasainya, namun untuk melindunginya, dan
memuliakannya. Seorang pecinta alam akan selau tersenyum melihat apa yang
dicintainya bahagia. Walaupun mungkin aneh untuk mencinta dengan diam dan
jarak, para “Pecinta Alam” menemukan kebahagiaannya sendiri dengan cara
mencintai seperti ini. Dan inilah penjelasan singkat cinta level ketiga
sekaligus terakhir ini. inilah cinta seorang ‘Pecinta Alam’.
Pada
dasarnya, aku yakin cinta itu tidak mempunyai kekuatan untuk menyakiti, karena
cinta adalah perasaan paling suci yang dimiliki manusia. Menemukannya pun
mudah, tak perlu usaha keras untuk itu, alam akan menuntun kita menemukannya.
Layaknya dua batang bambu yang terkait satu sama lain. Terkait bukan karena
niat untuk saling terkait, tapi karena semesta yang mengaturnya. Karena cinta
melakukannya.
Aku tidak
bermaksud mengkonotasikan cinta dengan binatang atau benda tidak berperasaan
lainnya saat ini. Ini hanyalah efek hujan pertama di musim ini, menimbulkan
aroma tanah dan membuat pria tanggung yang minim pengalaman akan cinta ini
berceloteh semaunya tentang hal rumit ini.
~Kontrakan, hujan
deras, perut keroncongan~
Comments
Post a Comment