Bapak Aku Ingin Cerita
Ku matikan motorku. Aku sudah sampai di depan makam penuh kenangan ini.
Aku, paling tidak, setiap tahun pasti mengunjungi makam ini. Setiap menjelang
bulan Ramadhan, dan biasanya bersama dengan keluargaku; Emak, Mbak-Mbakku, Eyang Uti, Bulik ku dan Keponakanku. Namun
beberapa tahun belakangan ini kami tidak pernah selengkap dulu, dan kali ini
pun aku sendirian kesini. Sebelumnya aku menyempatkan diriku mampir sejenak ke
rumah Eyang Uti untuk memberikan buah tangan yang sempat aku beli dari pasar
yang aku lewati tadi, sekaligus pamitan untuk langsung melanjutkan perjalanan
ke Malang, tempatku mengais ilmu.
Makam ini, terlepas dari jumlah nisan yang semakin bertambah, masih
terlihat sama dengan tahun tahun sebelumnya; Dingin dan Senyap. Segera aku menemukan makam yang ku tuju. Letaknya berada cukup di
belakang, dengan kijing yang dilapisi
cat putih serta bunga kamboja yang tumbuh tinggi dan lebat menaungi makam.
Achmad Sadjuri, 01-01-1996. Masih jelas tulisan itu di batu nisannya.
Inilah makam bapakku. Aku hanya ingat bagaimana wajah bapakku dari sebuah poto
hitam putih yang di pajang di ruang keluargaku. Selepas itu, tiada sama sekali
kenangan yang tersisa di kepalaku tentang sosok bapakku. Hanya cerita dari emak, dan kakak-kakakku saja saranaku untuk mengenal sosok tersebut.
Ya, beliau memang telah meninggalkanku sejak aku berusia 4 tahun.
Aku duduk sejenak di samping makam bapakku dengan fikiran melayang ke
segala penjuru. Bunga yang masih segar tersebar di atas kuburnya, tanda
seseorang telah mengunjungi bapak tidak lama sebelum aku. Kupejamkan mataku,
berkonsentrasi, dan berdoa kepada Tuhan, Allah SWT.
Setelah selesai berdoa, aku tidak langsung pergi meninggalkan makam
tersebut. Aku tetap berada di posisi awalku, menatap nanar ke arah makam dan
terus mengeja huruf yang ada di batu nisan tersebut. Ada sesuatu yang
mengganjal di hatiku, ada sesuatu yang ingin tersampaikan dari dalam dada ini.
Aku ingin berbicara serius, berbicara pribadi antara aku dan panjenengan, antara laki-laki dewasa.
****
Aku ingin bercerita pak.
Hatiku memaksaku untuk menahan langkahku agar tetap berada di sana.
Hatiku ingin berkata banyak hal, namun bibirku tetap terkunci rapat. Tidak
bergerak sama sekali. Aku ingin bercerita pak, terlepas apakah engkau
mendengarnya atau tidak. Aku ingin berbicara layaknya anak-anak lain yang bisa
dengan leluasa berbicara tentang perjalanan hidup mereka. Tentang apa yang
dilaluinya. Aku ingin tertawa bersama, dan aku ingin tahu rasanya dimarahi dan
dinasehati suara tegasmu! Aku ingin sekali berdebat denganmu tentang banyak
hal.
Aku ingin bercerita pak.
Aku ingin berkisah tentang Masa kanak-kanakku, aku ingin bercerita
bagaimana bangganya kala aku dan beberapa temanku ditunjuk untuk pergi ke kota
sebagai perwakilan TK, untuk menyanyi di RKPD. Aku ingin bercerita bagaimana
rasanya mempunyai teman pertama di SD serta bagaimana aku dengan bodohnya
berbaku hantam dengan temanku satu kelas hanya karena ingin dipandang lebih.
Aku ingin bercerita bagaimana anakmu ini terus berprestasi di bangku SD,
mendapat bantuan dari Bank Jatim, dan harus kebingungan menggoreskan tanda
tangan untuk kali pertama. Aku ingin bercerita tentang bagaimana anakmu ini
lulus dengan nilai yang bagus, dan betapa beraninya aku mendaftarkan diriku sendiri
tanpa teman atau orang tua ke MTs Muhammadiyah, sekolah yang kata kakakku, engkau ingin semua anakmu mencicipinya.
Aku ingin bercerita, bagaimana bangganya guru disana menerimaku menjadi
muridnya. Dan, bagaimana dada dan hidungku menggebung kala hampir semua guru
tahu namamu. Aku ingin bercerita bagaimana aku mengalamai masa yang sulit dan
ingin pindah ke sekolah lain hanya karena pelajaran Bahasa Arab! Aku ingin bercerita bagaimana
anakmu ini merupakan satu satunya murid yang lulus tryout. Bagaimana, pada
akhirnya, aku bersemangat menuntut ilmu di sekolah yang sempat membuatku stress
tersebut. Aku ingin kau tahu, bagaimana bahagiannya aku saat pertama kalinya
jatuh hati pada seorang gadis di kelasku.
Aku juga ingin bercerita bagaimana aku lulus, dan mendaftar ke SMA ketika
semua temanku tidak ada yang melanjutkan disana. Aku ingin bercerita bagaimana
aku sendirian disana, dan menjadi satu satunya murid dengan celana panjang saat
yang lain masih bercelana pendek di pekan orientasi. Aku ingin bercerita,
indahnya masa SMA. Bercerita bagaimana anakmu ini di wisuda, dan merasakan
beratnya kehidupan di tanah rantau, hingga kini aku berada di sampingmu sebagai
Mahasiswa. Aku ingin bercerita panjang lebar, yang mungkin bahkan empat sekuel
novelpun tak akan mampu menampungnya karena memang engkau pergi saat lembar
hidupku masih polos belum terisi.
Bapak, terlepas dari banyaknya hal yang ingin aku ceritakan tentang
diriku dan bagaimana aku tumbuh hingga saat ini, aku, saat ini benar-benar,
ingin bercerita satu hal yang mengganjal di pikiranku. Aku ingin mengakui
sesuatu; Aku iri padamu.
****
Ya benar-benar iri. Aku iri dengan keberhasilanmu mendapatkan Emak. Wanita yang sangat luar biasa yang
menjadikan aku seperti ini. Yang berhasil mendidiku dan ketiga kakakku menjadi
manusia yang sabar dan bijak. Aku iri denganmu yang berhasil mendapatkan wanita
ayu ini, yang bahkan waktu pun tak mampu menggerogoti kecantikan alaminya.
Taukah engkau bapak? Di usianya saat ini yang sudah kepala lima, Emak, istrimu, masih terlihat menawan.
Memang ada sedikit keriput di beberapa sudut wajahnya, namun itu hanya
menambah kecantikannya saja. Tiada yang berubah. Wajahnya masih bersih
bercahaya, hasil bilasan air wudhu yang terus membasuh wajahnya. Giginya masih
putih bersih tertata rapih, tiada satupun yang rusak, bibirnya masih merah
semerah buah delima, sungguh sangat manis kala Emak tersenyum. rambutnya masih legam bagaikan gelap.nya malam
tanpa bintang; tak ada satu ubanpun berani menjamah rambutnya. Wajahnya selalu
berseri, cantik walau tanpa make up, sungguh cantik, pak, bahkan ketika bangun
tidur!
Aku yakin dulu Emak pasti
menjadi buah bibir, dan dilirik banyak
lelaki untuk dipinang. Namun engkaulah yang beruntung diantara banyaknya lelaki
saat itu.
Aku yakin Emak adalah sosok
yang pintar, lihatlah keempat anak-anakmu ini, walaupun sekolah dengan
keterbatasan, mereka masih bisa mengikuti pelajaran dengan baik, itu pasti turun dari istrimu, Emakku ini. Aku yakin bila dulu Emak sempat sekolah ke jenjang yang
tinggi, dia pasti menjadi seorang professor kini. Bapak, engkau sungguh
beruntung memiliki Emak, engkau tahu
pak, selepas engkau pergi, banyak sekali tetangga yang secara diam-diam dan
bahkan secara jelas mengatakan bahwa mereka tertarik dengan bidadarimu ini.
Bapak, betapa beruntungnya engkau, mendapatkan wanita sesetia Emak. Disaat engkau pergi dengan
meninggalkan 4 orang anak, rumah yang belum selesai terbangun serta beban
ekonomi yang sangat berat, pasti wajar seorang wanita luluh hatinya dan
berpaling ke pria lain yang siap menampu keluh kesahnya. Namun lihatlah, sekali
lagi bidadarimu ini menunjukkan kehebatannya! Dia tetap mantab di jalannya,
memilih untuk fokus mengurusi serta menjadi tulang punggung bagi ke 4 anaknya.
Bapak, lihatlah tulang belakangnya yang bengkok kerena beratnya beban
kehidupan yang harus dijalaninya selepas engkau pergi. Aku kadang sedih dan
menangis dalam hati ketika Emak
mengeluh punggung dan tulang belakangnya sakit. Dialah dibalik semua keberhasilan
kami semua, anak-anakmu. Bapak, engkau sungguh beruntung mendapatkan wanita se-ayu,dan setabah Emak.
Bapak, engkau tahu, bahwa Emaklah
wanita terhebat yang pernah aku lihat dengan mata kepalaku sendiri! aku sangat
iri dengan engkau, sungguh bila aku terlahir seumuran denganmu aku akan menjadi
laki-laki pertama yang siap mati untuk Emak,
aku siap bertarung denganmu untuk mendapatkan cinta Emak, dan menitipkan anak anakku di rahimnya yang damai. Namun
kenyataanya, aku juga lahir dari rahimnya, rahim yang juga telah menjadi tempat
bernaung kakak-kakakku.
Bapak, Emak bagaikan malaikat
berbadan manusia, hatinya putih tanpa noda. Dia akan sakit kala anaknya sakit,
dia bahagia kala anaknya bahagia, dia bisa tidur dengan tenang kala anaknya
sudah terlelap dalam mimpinya, dan bahkan bisa membeli baju setelah anak
cucunya mendapatkan baju.
Bapak, Emak adalah harta
terbesar yang aku miliki sekarang, panutan dan alasanku untuk bisa berjuang.
Bapak, aku ingin bercerita tentang itu, aku ingin bercerita bagaimana engkau
telah sangat beruntung mendapatkan sosok sandaran hati seluar biasa Emak..... dan bagaimana engkau berhasil
membuat anakmu ini iri!
Anakmu, Kamandanumu.
Tulisan kamu bagus Luqman.. terharu bacanya..
ReplyDeletetrimakasih kawan.. masih belajar ini :)
ReplyDeleteaku terharu membaca kisah mu tentang bapak mu, dan sketika mengingatkan ku akan ayah ku.
ReplyDeletejadi terharu bacanya...bagus banget.
ReplyDelete:')
ReplyDeleteterimakasih.. pasti ibu dan bapak kalian orang yang hebat :)
ReplyDelete