Mengapa Tradisi?
Saya acap kali ditanya soal peminatan jurusan saya
yang masih terdengar asing di telinga sebagian besar orang. Dalam beberapa kesempatan
wawancara beasiswa misalnya, tim seleksi seketika mengerutkan dahi mendengar nama peminatan saya. Biasanya, mereka akan meminta saya mengucap ulang jurusan yang
saya ambil tersebut, lantas menyuruh saya menjelaskan apa itu Kajian Tradisi
Lisan, studi yang saya tempuh saat ini. Saya tidak akan menjelaskan apa itu
Kajian Tradisi Lisan dalam tulisan ini. Saya hanya ingin bercerita bagaimana
saya bisa tertarik pada tradisi. Hal ini pula yang ditanyakan oleh ketua
Asosiasi Tradisi Lisan yang sekaligus dosen utama saya, Ibu Tety, di awal
pertemuan kuliah dulu.
Dulu, saya merupakan orang yang cukup anti dengan
hal-hal yang berbau tradisi. Dalam kepala saya, mereka yang masih menjalankan
tradisi nenek moyang, adalah mereka yang ketinggalan jaman. Lebih ekstrim lagi,
saya juga menganggap bahwa mereka adalah orang-orang yang menyimpang dari agama
Tuhan. Saya selalu mengasosiasikan mereka dengan kata syirik karena menganggap
bahwa peninggalan nenek moyang, khususnya yang ada sangkut pautnya dengan agama,
harus ditinggalkan. Pemahaman ini bertahan cukup lama di benak saya. Prinsip
saya sangat beku terhadap hal ini. Ini pula yang pada gilirannya menciptakan
jarak antara saya dan dunia tradisi.
Namun hal itu berubah lewat kuliah Sastra. Singkat cerita, saat kuliah S1 dulu, saya bertemu
dengan dosen pembimbing sekaligus “ibu kedua” saya. Beliau inilah yang
“bertanggung jawab” atas kedekatan saya dengan dunia tradisi. Ibu Sri Herminingrum,
salah satu dosen senior di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya, membuka
mata saya bahwa dunia tradisi adalah salah satu pintu yang mengasyikkan untuk
memahami problematika manusia, ilmu, dan hidup.
Saya masih ingat bahwa ajakan beliau untuk bergabung
dengan tim peneliti folklore berawal
dari kegelisahan saya. Saat itu, kepala saya sesak dengan pertanyaan, “apa yang
bisa saya banggakan dari jurusan yang saya ambil?”. Pertanyaan tersebut muncul
setelah saya menjadi salah satu panitia debat bahasa Inggris tingkat Nasional.
Saya melihat bahwa para peserta memiliki kemahiran berbahasa yang lebih dari
cukup. Padahal, mereka bukan berasal dari jurusan Bahasa. Saya menjadi kecil
hati saat itu, melihat bagaimana mereka bisa berbicara dengan seolah tanpa jeda,
menggunakan bahasa yang sedang saya pelajari. Saat itu saya berfikir bahwa
Sastra Inggris hanya bertujuan untuk mengolah skill saja.
Kejadian itu memaksa saya untuk menghadap beliau,
lantas menumpahkan kegelisahan tersebut. Bu Hermin, sapaan akrab beliau, dengan
sabar mendengarkan saya dan memberikan pemahaman bahwa Sastra Inggris bukan
sekadar skill berbicara. Saya hanya menganggukan kepala dan berusaha
mencernanya. Selang beberapa waktu, saya mulai dekat dengan beliau. Bu Hermin
mengajak saya untuk terlibat dalam beberapa aktifitas, dan salah satunya adalah
menjadi bagian dari tim peneliti folklore
di lereng Gunung Kelud.
Penelitian inilah yang membalikkan pemikiran saya
terhadap tradisi. Gagasan yang telah lama mengendap di kepala saya seolah
dijungkir balikkan dalam penelitian ini. Saya yang awalnya belum pernah
terlibat dalam sebuah ritual diharuskan untuk terjun, mengamati dan menjadi
bagian darinya. Saya juga dituntut untuk melakukan wawancara mendalam dengan
beragam manusia, mulai dari sesepuh, hingga para pejabat. Saya wajib
mengeksplorasi pikiran mereka dan mencoba memahaminya. Tidak berhenti disitu,
saya juga harus merekam kata-kata mereka dan mentranskripnya dalam format yang
bisa dibaca. Sebuah hal yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya.
Interaksi yang intens ini membuka pandangan saya
terhadap sesuatu yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Manusia-manusia
yang bersahaja tersebut, yang menjadi narasumber saya, seringkali membombardir
saya dengan jawaban jujur dan lugu mereka. Saya merasa tertampar karena
walaupun mengaku orang Jawa, nyatanya saya tidak mengerti tentang Jawa itu sendiri.
Kosong melompong. Saya adalah contoh sempurna dari kalimat, “Wong Jowo ilang Jawane”. Proses
penelitian tersebut membuat saya merasakan dua hal yang berbeda pada waktu yang
sama, uprooting dan rerooting. Uprooting karena saya merasa
bahwa saya benar-benar buta tentang Jawa, dan rerooting karena saya mulai membuka mata atas apa yang ada pada
etnisitas saya.
Proses ini berlangsung lama. Dan, semakin saya
mengadakan wawancara, semakin saya merasa takjub dan hanyut dengan berbagai
pengetahuan yang tidak pernah saya dapatkan sebelumnya. Pada titik ini, saya mulai menikmati proses wawancara yang biasanya
berlangsung berjam-jam tersebut. Saya mendengarkan apa saja cerita yang keluar
dari mulut mereka. Bagi saya, hal ini merupakan sebuah privilege yang tidak bisa semua orang dapatkan. Tuturan para
informan tersebut kemudian berputar dalam kepala saya, dan membuat saya
memutuskan untuk melipat jarak dengan dunia tradisi pada akhirnya. Tidak ada hitam putih
dalam sebuah hal. Semua punya gradasi yang cukup menarik untuk ditelisik. begitu kesimpulan saya.
Namun sebagai seorang yang pernah berada pada posisi
oposisi terhadap tradisi, saya juga bisa memahami mereka yang masih memunggungi
tradisi. Ini mungkin hanya masalah kacamata saja. Masing-masing kita mengenakan
kacamata yang berbeda. Dan, ini pula yang membuat pemaknaan menjadi beragam.
Namun, memang ada baiknya bila suatu saat, kita melakukan anjangsana. Kita
perlu berbicara dengan orang yang tak pernah kita sapa sebelumnya, mendengar
ceritanya, dan siapa tau, dengan begitu, kita mampu memahaminya.
______
Saat menceritakan hal ini di
kelas, teman saya yang S3 tertawa lalu berkata, “Makanya jangan terlalu benci,
nanti malah cinta.”
N.B. Menuliskan hal ini membuat saya teringat pada guru-guru, teman-teman, para informan, dan semua orang
yang menuntun saya hingga sampai pada posisi di mana saya bisa menulis tulisan
singkat ini. Matur nuwun sanget, mugi tansah pinaringan rahmatipun Pengeran.
Comments
Post a Comment