Siapa yang lebih primitif?
Beberapa waktu yang lalu, aku sempat
berdiskusi dengan salah satu teman yang cukup aktif di beberapa bidang. Dengan
ditemani secangkir kopi yang asapnya masih mengepul memenuhi rongga hidung dan
dadaku, percakapan kami mengalir lancar, selancar air hujan yang jatuh di luar
warung itu. Suara air yang terus memukul atap dan tanah yang telah lama kering
karena kemarau panjang, berhasil membuat instrumen pengiring yang nyaman. Aroma
tanah basah berbaur dengan aroma kopi yang ada di depanku menciptakan perpaduan
yang khas. Khas tempat ini, khas negeri ini. Dan aku selalu suka dengan sesuatu
yang khas.
Sambil sesekali menyeruput kopi yang
terasa agak pahit itu, kami berseloroh panjang lebar mengenai beberapa hal.
Memang tidak ada topik pasti dari obrolan malam itu. kami hanya bercerita ngalor-ngidul tentang apa yang ada di
dalam batok kepala kami. Terkadang berbicara tentang hujan, tentang masa lalu,
tentang masa depan dan bahkan sedikit
sok pintar dan berbicara tentang Indonesia, yang tentunya dengan pengetahuan
kami yang sangat terbatas.
Kini temanku mengambil sebungkus rokok
yang ada di sakunya. Mencomot satu, menyuluntnya lalu menghisapnya. Asap keluar
dari mulut dan hidungnya dengan perlahan. Matanya terpejam, seolah dia telah
menemukan kenikmatan baru. Dia biang bahwa kombinasi hujan dan kopi belumlah
lengkap bila tidak ada rokok. Aku yang tidak merokok hanya tersenyum kecut melihat
tingkah polah sahabatku ini.
“Bro, beberapa hari yang lalu aku
sempat ketawa mendengar komentar pembawa berita tentang salah satu suku di
pedalaman Papua”, ucapnya membuka topik baru.
“Emang kenapa bro?” tanyaku santai
sambil menyeruput kopi yang mulai mendingin “apa kata berita itu?” tanyaku
lagi.
“Di berita itu, dengan sangat percaya
diri masyarakat adat tersebut dipanggil suku primitif!”, jawabnya sambil
memandangi hujan. Rokoknya yang tinggal setengah diletakkannya di asbak. Tanda
dia akan berbicara sesuatu yang penting.
“Terus masalahnya apa?” tanyaku heran.
“bukankah mereka memang suku primitif yang belum tersentuh moderenisasi?”
lanjutku.
Dia tersenyum penuh arti, mengambil
kopinya lalu menyeruputnya sebelum menjawab pertanyaanku.
“Bro, sadar gak sih, kalau kita ini
terlalu naif dalam melihat dan menilai sesuatu?” dia berhenti sejenak, seolah
menunggu responku.
“Maksudmu apa bro?” tanyaku heran.
“Ya kayak komen berita yang baru aku
omongin tadi” jawabnya sambil mematikan rokoknya.
Aku hanya mengerutkan dahi. Mencoba
menebak apa yang akan kawanku ini katakan.
“Coba kamu pikir, apa makna primitif
itu?” tangannya mulai mengambil cangir kopi, lagi, dan kini meminumnya sampai
tuntas.
simbol keprimitifan?
“Ya kayak suku-suku tadi, masih belum
sekolah, belum punya gadget, belum berpakaian dan bla-bla-bla” jawabku
sekenanya.
“Nah itu dia” jawabnya bersemangat,
seolah umpannya baru saja disambut ikan. “standart apa yang kamu pakai? Barat?
Kekinian? Atau standart yang kamu bahkan tak tau itu produk siapa?” timpalnya
lancar.
Sebelum sempat menjawab, temanku itu
langsung berujar lagi
“Gini bro, kalau standart yang kita
gunakan cuman itu-itu saja, orang yang kamu bilang primitif itu sebenarnya jauh
lebih beradab dari kita sekarang”
Aku semakin bingung dengan temanku
yang satu ini.
“Coba lihat, bila ukurannya gejet, apa
yang bisa gejet perbuat? Gak ada! Cuman memperlebar jarak antara sesama. Lihat
temanmu di kampus, mereka lebih suka chating di medsos daripada bersua sapa
secara langsung! Coba pikir, sedangkan orang yang kamu labeli primitif itu,
dengan jarak selebar apapun mereka tetap mau menyambangi langsung tetangga
mereka” ceocosnya lancar.
“Lah bro, itu kan karena mereka gak
ada cara lain selain itu?” sangkalku tak mau kalah.
“Benar, tapi mana yang lebih baik? Tahu
keadaan secara langsung atau cuman tahu dengan cara seperti itu? well, kamu
boleh saja tetap menyangkal, tapi walaupun secara kasat mata gadget dengan
segala fiturnya membuat kita lebih dekat, sebenarnya jarak batin kita semakin
melebar. Sekarang lihat, perumahan dibangun sedemikian rupa. Tembok mereka
berdampingan hampir tak meninggalkan sekat, tapi banyak diantara sesama
penduduk tetap tidak kenal satu sama lain!” Dia berhenti sejenak sebelum
meneruskan penjelasannya.
“Aku berani taruhan, kalau kamu datang
ke desa adat yang mereka bilang primitif itu, sejauh apapun tetangga mereka,
mereka pasti masih bisa hafal nama saudara mereka diluar kepala” ucapnya yakin.
“Sekarang” dia melanjutkan lagi “kalau
yang dipersoalkan pakaian, primitifan mana orang yang memang hanya punya
pilihan pakaian demikian, atau mereka yang punya pilihan untuk berpakaian
sopan, dan dididik nilai kesopanan di bangku sekolah, namun tetap saja memilih
berpakaian minim yang memamerkan paha, dada dan udel mereka?” dia melempar
pandangannya ke hujan lagi. Seolah hujan adalah sumber inspirasinya dalam topik
ini.
“Bro, kamu harus ingat, bagi mereka
pakaian memang seperti itu. mereka tidak punya pilihan lain, dan standart
kesopanan mereka memang seperti itu. beda dengan mereka yang dididik nilai kesopanan
namun tetap suka memilih pakaian adiknya yang kekecilan untuk dipakai! Lihat
walaupun orang yang mereka bilang primitif itu berpakaian sedemikian rupa,
TIDAK ADA PERKOSAAN disana. Itu semua karena mereka patuh dan tunduk dengan
hukum mereka sendiri” kini dia berhenti dan sekali lagi menyulut rokoknya.
“Pendidikan huh?” lanjutnya sambil
terus memandangi dan menikmati hujan serta rokoknya, “apa yang dihasilkan
pendidikan sekarang ini? cuman orang pinter yang suka mbodohin orang bodoh saja, orang korup yang kerjaannya tidur kalau
ada rapat, orang buncit yang kalau rapat suka anarkhi huh!” dia tersenyum kecut
“lalu mana yang lebih primitif bro?”
Aku hanya terdiam saja mendengar
celotehan temanku itu, sambil sesekali melempar pandanganku ke hujan yang mulai
lebat. Berharap ide juga datang ke kepalaku dari hujan itu.
“Aku kadang berfikir bro, kita seharusnya
belajar pada orang seperti mereka”. Imbuhnya.
“Dalam hal-hal yang kamu jelaskan tadi
bro?”. Potongku.
Tatapannya kini dialihkan ke aku
sekilas, lalu melemparnya lagi ke hujan, sambil tersenyum dia melanjutkan,
“iya, ditambah nilai yang mereka
pegang. Lihat, mereka mampu untuk hidup harmonis dengan alam, mereka tidak
merusaknya karena mereka tahu merusak alam hanya akan mendatangkan bencana.
Tidak seperti kita yang merusaknya untuk keuntungan sesaat! Kita juga harus
belajar dari mereka, mereka mengambil dan menyimpan tidak lebih dari yang
mereka butuhkan. Tidak seperti sekarang yang tetap merasa kurang berapapun yang
kita dapatkan” Dia menghisap lagi rokoknya, dan melanjutkan.
“Bro peradaban yang aneh seperti
sekarang ini, tingkah polah yang aneh seperti free sex, tukar pasangan, atau
yang lebih menjijikkan lagi, peyakit aneh yang menyerang penduduk bumi, model
pakaian yang aneh, hukum yang aneh, cara bekerja aneh yang saling ‘membunuh’, tingkat
stress yang semakin meningkat, pembunuhan dan pengusiaran yang hanya
dikarenakan paham yang berbeda, hingga kerusakan bumi dan ozon yang diprediksi
akan menjadi penyebab kiamat itu adalah hasil dari tangan orang-orang masa
kini. Orang-orang yang menyebut mereka sendiri sebagai masyarakat beradab! Lantas
siapa yang lebih primitif atau lebih beradab? Kita atau mereka?” ujarnya.
Ia lantas menghembuskan nafas panjang,
seolah lega telah menyampaikan sesuatu yang mengganjal di pikirannya selama ini.
Rokok kedua yang disulutnyapun sudah memendek habis.
Udara semakin dingin diluar, hujan
yang sedari tadi mengguyur bumipun mereda. Menghasilkan langit jernih dengan
jutaan bintangnya. Kini aku mengerti apa yang dimaksud kawanku ini. dia resah
dan jengah dengan kondisi saat ini. mungkin lebih dari itu. dia MUAK!
Setelah membayar pesanan masing-masing, kami bersalaman dan berpisah menuju tempat tinggal masing-masing. Obrolan itupun berakhir - berakhir dengan pertanyaan dan pandangan baru di kepalaku. Tentang;
inspiratif, tidak memandang sesuatu hanya dari satu sisi saja :D
ReplyDeletehehe yap.. plus minus itu selalu ada (kayak debat aja nih haha) tinggal kita mau ambil yang mana.. :v
ReplyDelete