Filosofi lesung


Sekali lagi, ditemani dengan jeruk dingin dan sepiring rujak cingur, aku berdiskusi dengan orang yang cukup aku hormati. Orang yang sudah cukup sepuh dalam usia dan pengalaman. Seorang pemerhati budaya yang sekaligus dosenku. Awalnya, beberapa topik ringan kami bahas, dari masalah kampus, penelitian yang sedang beliau kerjakan, hingga pengalaman masa mudanya. Aku yang memang cukup senang mendengar cerita, tentu saja antusias mendengarnya. Sesekali pertanyaan ringan meluncur lancar dari mulutku untuk lebih menghidupkan percakapan non formal saat itu. 
Kini topik yang kami bahas meloncat ke ranah budaya jawa. Sebuah ajaran filosofis tinggi yang sebenarnya merupakan “aset” yang terlupa. Harta tersembunyi yang ironisnya malah disadari oleh bangsa lain. 

“Man, Tradisi Jawa itu mempunyai banyak sekali nilai filosofis yang sangat tinggi yang direfleksikan dari setiap aspek kehidupannya” ujar beliau memulai.

“Bahkan”, lanjutnya, “Hingga lesung pun mempunyai nilai filosofis luar biasa.”

Aku yang masih belum mengerti saat itu hanya menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

“Lesung buat numbuk padi itu buk?” tanyaku dengan nada penuh keheranan.

“Iya benar” jawab beliau lagi.

“Loh kok bisa buk?” jawabku makin penasaran.

“Iya, jadi begini, bila diperhatikan lebih jauh, ketika para ibu menumbuk gabah, ada hal unik yang mereka lakukan untuk menghindari hancurnya beras yang mereka tumbuk.” ujar beliau.

“Ketika menumbuk gabah, mereka melakukannya tidak secara vertikal, tetapi menumbuknya dengan miring. Hal ini membuat padi terpisah dengan ‘bajunya’ secara sempuna tanpa merusak isinya”. Tambah beliau. 

“Oh begitu ya bu,” jawabku sambil mengangguk-anggukkan kepalaku.

“Bila dihubungkan dengan kehidupan, hal bersebut merupakan simbol dan pelajaran tersembunyi yang menarik.” beliau berhenti sejenak, sebelum meneruskan penjelasannya, 

“Bila kita ingin mengajar, atau mengkritisi sesuatu, alangkah baiknya kita melakukannya secara ‘miring’, tidak secara kasar dan langsung yang mungkin malah menghancurkannya”

“hemmm,” jawabku yang mulai paham.


      “Dengan cara menumbuk seperti itu, beras yang kita tumbuk menjadi putih dan siap di masak. Begitu pula dengan mengajari orang. Dengan cara demikian orang Jawa percaya bahwa orang yang kita didik akan bisa menjadi seputih beras dan bisa bermanfaat bagi orang lain.” jelas beliau.

Aku mulai paham sekarang, bahwa memang benar, budaya yang kita miliki ini sangat berharga. Terbungkus dengan cantik dalam setiap ‘tindak-tanduk’ yang sebenarnya kita lakukan setiap saat. Terlupa karena silau dengan budaya Barat yang selau dianggap lebih ‘modern’.

Comments

Popular Posts