Punokawan
Jujur, aku tidak begitu suka kopi. Bila tersedia,
aku akan lebih memilih teh atau minuman hangat lainnya. Aku hanya menikmati
kopi di momen tertentu saja; saat berada di gunung sambil menunggu sang fajar
yang baru terbangun, saat mengerjakan tugas hingga larut malam, atau saat tidak
ada minuman lain selain kopi. Kopi, bagiku, memang minuman sakral yang hanya boleh dinikmati saat-saat
tertentu saja.
Malam ini aku putuskan untuk menikmati kopi. Deadline
transkrip wawancara penelitian memaksaku untuk terjaga. Ini adalah pekerjaan
yang cukup menguras tenaga. Detail kata harus ditulis persis dengan apa yang
diucapkan narasumber. Terkadang untuk satu kata saja, aku harus memutar ulang
rekaman tersebut beberapa kali. Hal ini ditambah dengan narasumber yang
berbahasa Jawa kromo Inggil, yang
kadang aku kurang mengerti maksudnya. Walhasil, proses transkrip ini memakan
waktu yang cukup lama, dan karena itulah kopi pun menjadi teman lembur yang
tepat untuk malam ini.
Aku selalu yakin bahwa pelajaran itu bisa datang
dari mana saja. Seperti malam ini, ditengah proses transkrip wawancara, aku
mendapatkan pelajaran yang cukup berkesan. Pelajaran yang membuatku berfikir lagi
tentang pengorbanan.
***
Punokawan adalah empat tokoh wayang yang selalu
ada dalam tiap pementasan wayang di negeri ini. Gareng, Petruk, Bagong dan
Semar sebagai pentolannya. Keempat tokoh tersebut adalah buah karya asli para
pujangga negeri ini. Dalam setiap pementasan, peran keempat tokoh ini cukup
signifikan. Mereka adalah pendamping, pengasuh dan guru bagi Pandawa. Tentu saja
ini sangat berbeda dari kisah pewayangan di India.
Melalui Semar dengan badan gendut yang penuh nilai
filosofis, Petruk dengan tubuhnya yang tinggi dan kurus, Bagong dengan wajah
yang sangat buruk dan gareng dengan segala keunikannya, pujangga kuno kita
telah menciptakan sebuah pelajaran berharga dari cara berpakaian para punokawan
ini.
“Bu1,
Punokawan dalam pewayangan Jawa adalah
pendamping, pengasuh dan guru Pandawa. Mungkin bisa
dikatakan bahwa mereka adalah “orang tua” para Pandawa. Bila kita lihat,
mereka, para Punokawan, tidak ada yang memakai baju.” ucap
sesepuh desa yang menjadi informan wawancara tersebut.
“Ketelanjangan
punokawan tersebut sebenarnya memberikan kita semua pelajaran yang mendalam.
Bahwa sebagai Orang Tua, Guru, atau Pejabat yang “mengasuh” orang banyak, kita
harus siap “telanjang” demi melihat anak atau murid yang kita ajar sukses –kita
harus siap berkorban- ” ucapnya
serius.
“Sama seperti apa yang
diperbuat Punokawan, mereka rela telanjang demi melihat Pandawa berhasil mereka
rela berkorban demi kesuksesan Anak-anaknya.” Tambah
lelaki yang dari suaranya ku taksir berusia 70 tahun itu.
“Bu, Dalam Sanepan Jawa (Javanese
Proverb) ada istilah bahwa “URIP IKU URUP” hidup itu nyala. Dalam hidup, kita
harus mampu menjadi lentera untuk orang lain, lentera untuk kehidupan. Dan
ketika kita bisa menjadi “URUP” untuk orang lain, disitu kita baru bisa disebut
“URIP”, dan salah satu cara menjadi URUP adalah Berkorban” Suaranya yang tenang membuat ucapannya mudah
meresap dalam ingatan.
Tanganku berhenti menulis ketika cerita ini
dituturkan oleh sesepuh tersebut. Aku mencoba mendengarkan nasehat itu dengan kitmad.
Sesuatu yang aneh menjalar di pikiranku. Tentang bagaimana para Punokawan
tersebut berkorban -Tentang bagaimana pahlawan berperilaku-
Aku menghentikan sebentar rekaman wawancara
tersebut, melepaskan headset yang
sedari tadi menancap di kedua telingaku, lalu menyeruput kopi yang agak pahit
yang aku buat sebelumnya. Aku merenung membayangkan
sesuatu. Kelebatan orang-orang yang
telah berjasa dalam hidupku seakan hilir-mudik di kepalaku. Guru-guruku dari
TK hingga Kuliah, sahabat-sahabatku yang menjadi motivasi, keluargaku_ terutama
orang tua yang luar biasa sabar dan bijak_, dan semua orang yang pernah
terlintas dalam kehidupan yang mendidikku hingga saat ini. Merekalah “Punokawan”
dalam hidupku, pahlawan yang mau berkorban demi orang lain.
***
Dalam kisah pewayangan, Pandawa adalah tokoh
sentral yang menjadi pusat cerita. Namun aku yakin, dibelakang semua itu, saat
ini, Punokawan_Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong_ sedang menikmati kopi panas sambil
bercakap dan tersenyum bangga melihat anak-anak didiknya yang telah berhasil. Itulah
makna pahlawan sejati, tak perlu begitu disorot, namun begitu berarti.
Let’s be hero, let's be selfless
1
Potongan wawancara ini adalah penelitian oleh dosen, tentang rahasia
keharmonisan masyarakat desa lokal dan gunung Kelud. Oleh karena itu, informan
memanggilnya “bu”.
_tambahan dan pengurangan cerita dilakukan_
Mas, kalo latte gak pahit kok
ReplyDelete(beda fokus)
iya yun... kopi susu juga gak pahit :v
ReplyDelete