Nyoba Durian Pertama Kali
“What is the most resilient parasite?
An Idea. Resilient. Highly contagious. Once an idea has taken hold of
the brain, it’s almost impossible to eradicate. An idea that is fully formed,
fully understood, that stick right in here somewhere.”
- Inception
________
Ehemm..
Sudah
cukup keren belum kutipan pembuka diatas? Sengaja sih aku milih kalimat yang
sedikit mewah untuk memulai tulisan receh kali ini. Alasannya jelas, biar
tulisan receh ini nggak jadi receh kuadrat. Oh iya, kali ini aku ingin bercerita tentang DURIAN. Yaps bener banget, DURIAN
atau Duren, yang kata orang rajanya buah. Yang kata orang lagi, rasanya kayak
makan buah Khuldi yang ada di surga. Yang kata orang lagi, kalo ngga suka buah
ini, kayaknya ada korsleting di lidah orang tersebut. Yang kata orang lagi……
hemmm sudah lah, terlalu banyak “kata orang”.
Jadi begini, aku termasuk orang
yang lidahnya terkena korsleting tersebut. Exactly,
karena aku tidak suka dengan Durian. Entah sejak kapan, tapi bagiku, bau Durian
itu sangat menyengat dan rasanya serta teksturnya aneh. Lembek, basah, plus KUNING!
Hemm mengingatkanku pada sungai belakang rumah.
Dikeluargaku pun, sepertinya
Durian juga tidak menempati posisi tertinggi dalam peta politik perbuahan.
Ibuku sekedar suka saja, begitu pula kedua kakakku. Mereka bukan durian addict yang mencium baunya aja sudah
kejang-kejang dan berubah beringas. Biasa saja, ada ya dimakan, ngga ada ya
nggak nyari. Kakak pertamaku bahkan sangat anti dengan Durian. Mencium baunya
saja, dia bisa muntah, seriously!
Dan,
ditengah kondisi keluarga seperti itulah aku dibesarkan.
Mungkin ide tentang durian yang
tertanam dari keluargaku itulah penyebab ketidaksukaanku terhadap buah tropis
ini. Terutama dari kakak pertamaku. Ide tentang durain yang berbau tajam, dan
bla-bla-bla itu akhirnya tertanam dalam kepalaku, menjadi parasit, tumbuh dan
menjadi semacam kebenaran bahwa “Durian
itu ngga asik”. Tepat seperti kutipan diawal tulisan ini. Oleh karena itu,
Durian semontong apapun, belum mampu meruntuhkan imanku.
Namun, pilihan untuk tidak
menyukai Durian ini bukanlah sesuatu yang mudah, loh. Tidak jarang hal ini cukup menyiksa karena di Indonesia,
posisi orang yang tidak suka Durian adalah minoritas. Dan minoritas di
negeri ini masih diperlakukan secara tidak adil. Begini, kita semua tahu,
bahwa orang Indonesia itu sangat baik. kadang terlampau baik. Termasuk dalam
hal Durian ini. Seringkali, walaupun sudah tahu kalau aku tidak suka dengan Durian,
mereka, para penikmat Durian, tetap saja menawari buah berduri itu kepadaku.
Tidak jarang tawaran itu ditambahi dengan adegan yang hiperbola, untuk
menunjukkan padaku betapa nikmatnya durian tersebut. Adegan mulai dari menciumi
aroma Durian sambil melek-merem, menjilati buah dengan slow motion dan dengan melek-merem
juga, hingga menjilati jari-jari mereka yang belepotan sisa daging Durian. Dan
masih dengan merem melek . Ewwww…
Kadang untuk menolak tawaran mereka
aku menggunakan strategi senyum dan menghindar saja. Kadang dikesempatan lain
aku menjawab tawaran mereka dengan kalimat, “Gak suka Duren, suka belahnya
aja!” namun sialnya, sehabis bilang seperti itu, dua hingga tiga Durian
disodorkan kepadaku. “nih tolong belahin!”
Damn!.
_____
Namun, tepat tanggal 20 Juli
yang lalu, lidahku akhirnya bersentuhan langsung dengan buah berdaging padat
dan lembek itu. Ceritanya saat itu aku sedang berada di Jambi mengikuti salah
satu program. Pada saat malam penutupan program, salah satu petinggi dalam
program tersebut membawa buuanyak
sekali buah Durian untuk peserta. Tentu saja aku menepi ketika teman-teman yang
lain sedang asyik belah dan pesta Durian.
Mereka menawariku, tentu saja. Tapi aku belum mau mencicipinya saat itu. Dan
syukurlah, mereka tidak memaksaku untuk mencoba buah mahal tersebut. “Aman,”
pikirku.
Namun sialnya, keesokan harinya,
buah Durian yang aku pikir sudah ludes dalam pesta semalam, ternyata masih
tersisa. Maka sekali lagi, teman-teman yang nampaknya semalam belum puas,
kembali melahap buah tersebut dengan ganas. Melihat aku yang hanya diam saja,
teman-teman yang sedang asyik dengan Durian tersebut menawariku. Mengetahui
bahwa aku tidak doyan Durian, adegan-adegan hiperbola kembali terpampang di
depanku. Tujuannya sama, agar aku mencoba buah tersebut. Aihhhh …
Awalnya aku tidak tergoda dengan
adegan-adegan hiperbola tersebut. Aku tetap pada pendirianku, bahwa Durian itu nggak asik. Namun, semua
berubah saat salah satu senior mengatakan bahwa Durian Jambi jauh lebih nikmat
dari durian Jawa. Walaupun sebelumnya aku juga belum pernah mencicipi durian
Jawa, namun entah bagaimana, rasa penasaranku memuncak dan mendorongku untuk
mencicipi buah berdaging kuning tersebut. Sontak saja teman-teman yang sedari
tadi membujukku untuk mencoba buah Durian bersorak riang, dan goyang itik
bersama-sama, merayakan keberhasilan mereka mempengaruhiku untuk makan Durian.
Langsung
saja, dengan hati berdebar, aku mencubit daging buah itu. Tebal, lembek,
sedikit basah dan kuning. Hemm kembali aku ingat sungai belakang rumah. Namun rasa penasaran mengalahkan raguku.
Cubitan buah tadi akhirnya masuk juga ke dalam mulutku. Butuh beberapa saat
bagi lidahku untuk mengurai rasa yang baru saja masuk mulut itu.
“Eh,
kok Manis?” batinku.
Ragu
dengan sensai rasa tersebut, sekali lagi aku mencubit daging buah itu. Kali ini
dengan cubitan yang lebih besar.
“Eh,
Masih manis!”
Lagi-lagi
aku penasaran, dan mencubit sekali lagi, lagi dan lagi. Daaaannn ternyata beneran manis dan ENAK! Aku nggak
nyangka bahwa durian, yang selama ini kuanggap buah yang wajib dijauhi, yang
baunya tajam, dan mengingatkan aku dengan sungai belakang rumah, ternyata
mempunyai rasa yang cukup enak! Jujur, kalau aku tidak gengsi dengan
teman-temanku, aku pasti sudah melahap habis satu buah Durian itu!
_____
Itulah kali pertama aku bisa menikmati buah Durian dengan nyaman. Parasit yang ada
di kepalaku, tentang durian yang nggak
asyik seketika lumer, selumer daging buah yang sangat montong tersebut. Aku
jadi berpikir, setelah makan Durian itu, bahwa jalan terbaik untuk merubah apa
yang sudah tertanam di dalam kepala kita adalah dengan berhadapan langsung
dengan hal tersebut. Hal ini penting, agar kita bisa merasakan sesuatu secara
personal dan jujur, bukannya termakan asumsi sekitar dalam menyimpulkan
sesuatu.
Selamat
makan Durian,
Selamat
mencabuti satu-persatu parasite dalam kepala kita.
Aku berkali2 mencubit duren dan memakannya. Tapi tetep aja gak suka. Sialnya lagi aku satu2nya orang yg g suka duren di keluargaku. Btw, setuju dgn pencerahan mecabuti parasit dalam kepala.
ReplyDeletehehe lidah anda belum berjodoh sama durian berarti :v
Delete