Obrolan dengan Bule


Tanpa niat khusus, pagi ini aku membuka e-mailku. Diantara tumpukan info loker yang melimpah ruah dari penyedia jasa pekerjaan yang memang aku ikuti, aku menemukan satu email yang menarik. Bukan dari penyedia jasa pekerjaan, atau biro jodoh.

Singkat kata, setelah kubuka, satu kalimat singkat tertera dalam body email tersebut. “Hello, my friend, how are you?” Bukan kalimat yang sepesial tentu saja, namun nama dari pengirim surat tersebut membuatku meringis, dan mengingatkanku pada perjalanan mendaki Lawu beberapa waktu yang lalu.

Sudah lama sebenarnya aku tidak berbalas Email dengan bule Ini, dan meskipun sekarang sudah ada bermacam media sosial, Email masih menjadi sarana bertukar kabar yang kami pilih. Bagiku pribadi, Email terasa lebih privat, dan menyenangkan –mungkin karena terasa lebih tradisional. Hehe.

______

“Are you going up?” tanyaku sok akrab.
“I am”, jawab si Bule.
“Get ready, it’s pretty hot up there. By the way, where are you from?” timpalku lagi.
“Thank you. I’m from France”, si Bule tersenyum.

Dan begitulah percakapan itu dimulai. Aku yang sedang berjalan menuruni Gunung Lawu, tanpa sengaja berpapasan dengan seorang Bule dari Perancis yang sedang dalam perjalanan naik keatas. Saat itu dia sedang beristirahat dan bercakap dengan pendaki lain yang mengerumuninya penasaran. Aku yang waktu itu turun bersama temanku, Debbay, memutuskan untuk beristirahat terlebih dahulu dan bergabung dengan kerumunan tersebut.

Setelah bercakap ringan, dia mulai memperkenalkan dirinya. Namanya Tristan, asal Perancis. Pria berperawakan tinggi dengan rambut jarang tersebut mendaki sendiri tanpa teman dari negaranya. Menurut pengakuannya, dia memang sedang bersolo travelling di Jawa, untuk menemukan kedamaian. Berbekal motor sewaan, ia nekat mengelilingi Jawa demi keinginannya tersebut.

“So actually I was here 17 years ago, when I was pretty young. Ummm probably when I was as handsome as you are. Kata si Bule melanjutkan perkenalannya.

Wadaw! Sontak saja mendengar ucapan tersebut aku langsung curiga. Pikiranku berputar-putar mempertanyakan keaslian jakun Bule itu.

Namun setelah ucapan tadi, tidak ada lagi obrolan yang patut dicurigai dari bule berkulit putih ini. Aman! Dan akupun membuang batu yang tadi sempat kugenggam erat. Percakapanpun berlanjut.

“Well, seventeen years isn’t a short period of time. What takes you so long to be back to Indonesia?” Aku bertanya, setelah memastikan dia bukan golongan Omnivora.
“A lot of things happened.” Jawabnya singkat sambil tersenyum.

Tentu saja, biarpun kami berasal latar belakang kultural yang berbeda, sebagai sesama lelaki, kami paham bahwa dengan jawaban seperti itu, ada hal yang enggan ia ceritakan. Setelah itu, dengan sedikit pertanyaan stimulus lainnya, obrolan kami mengalir selancar aliran kali Brantas.

Cerita Tristan mulai memenuhi udara lereng Lawu. Banyak ia berbicara tentang pengalamannya mengunjungi beberapa negara, entah negara muslim atau bukan. Ia juga bercerita tentang bagaimana dia berinteraksi dengan berbagai manusia dengan latar belakang yang berbeda. Tak lupa, pria paruh baya ini juga bercerita tentang kesannya terhadap Nusantara ini. Matanya berbinar saat ia berceloteh tentang Indonesia, serta alasannya kembali ke negeri ini setelah tujuh belas tahun meninggalkannya.  

“Aku suka berada di Indonesia, karena aku merasa aman disini.” Tuturnya tenang. “Aku sering tiduran di masjid dan mushola kecil yang ada di kota dan daerah di Jawa yang aku lalui. Ada rasa damai disana yang sulit aku deskripsikan dan rasakan di tempat lain.”

Bule yang tinggal di daerah Avallon ini cukup paham dengan Islam, walaupun dia mengaku belum sampai pada tahap memeluk Islam itu sendiri. Dia tahu Imam Gazali, Rumi, mengenal tasawuf (mystic) mengenal cukup banyak hal, dan juga cukup cerdas membandingkan berbagai wajah Islam di berbagai negara yang pernah ia kunjungi.  

Di berkisah banyak, tentang bagaimana budaya, kondisi geografis, hingga keadaan politik mempengaruhi karakter Islam di berbagai belahan dunia. Dia sempat ke Senegal (kalau tidak salah), dan menemukan bahwa kebudayaan lokal masih kental sekali disana, dan berbaur mesra dengan Islam. Dia juga pernah ke Saudi, dimana islam cukup berbeda dari yang dia temukan di Senegal. Dia bercerita tentang kehidupan sufistik dan membandingkannya dengan beberapa tempat yang menggambarkan Islam dengan sangat kaku. Aku cukup kagum dengan kecakapannya dalam menjelaskan apa yang ada dalam kepalanya.

Disaat menyinggung tentang Indonesia, aku yang memang tertarik dengan isu kebudayaan, tentu saja menimpali argument dan menjawab pertanyaan dari si bule traveler ini. Aku sok-sokan mengatakan (opini ini mengutip dari salah seorang figur) bahwa meskipun Islam tidak diturunkan di Indonesia, namun embrio dari islam sudah jauh tertanam dalam kebudayaan tua di Nusantara. Itulah mengapa, proses transisi agama menuju islam bisa berjalan dengan tanpa kekerasan. 

Tristan adalah sosok yang sangat terbuka, dan mau mendengarkan opini dari kami, manusia bau kecur dalam hal pengalaman dan pengetahuan. Kami asyik mengobrol ngalor-ngidul tentang kebudayaan, tentang gunung, tentang negara dan juga pengalaman kami masing-masing. Obrolan itu cukup menghanyutkan, hingga kami tidak sadar bahwa waktu telah berteriak meminta kami untuk segera turun dan melanjutkan perjalanan pulang.

Sebelum berpamitan dan berjabat tangan, kami bertukar alamat e-mail dan bersepakat untuk saling mengabarkan kondisi dan perkembangan apa saja dari lingkungan kami. 

Dalam sebuah emailnya, dia menjelaskan bagaimana dia jatuh hati terhadap tanah ini. Berikut potongan ceritanya yang dia tulis dengan cukup indah;

“How are you ? It'a quiet difficult for me to write about Indonesia, even more surrounded by friends and family who cannot understand what the experience of traveling in your country represented for me. It's not only that I "loved" this land, Indonesia gave me more that I could expected in a very personal way, and specifically what I needed. I came there a bit lost and confused, and slowly, facing the wonder of nature, the curiosity and the kindness of people, I progressively let myself be absorbed by the land. The generous distance and subtleness of people created a great sense of security, and slowly always more things became possible. The attitude of Indonesian people was like an opening or an invitation to enter a different world. Animated by respect, and following what I was seeing, I ended up expecting nothing, just letting myself be driven by whatever would happen. And this state of peace brought me to abandon the idea of will and ego, allowing me to get closer to greater things than personal satisfaction. It was like to disappear, to abandon a huge number of problems which suddenly meant nothing anymore. That's where the experience started. And it became really amazing………….”


Dalam emalinya yang lain, dia sering kali mengatakan betapa inginnya dia kembali ke Jawa-Indonesia, dan merasakan lagi apa yang tidak bisa dia rasakan di negaranya.

“…………..But I often think about Central Java, our friendship and the possibility of coming back. I definitely let you know when I'll ………………”


Tristan adalah salah satu dari banyak manusia petualang yang berhenti, mengendap, dan akhirnya mencintai ibu pertiwi, Indonesia. Pengalamannya dalam menjelajah telah membuatnya mampu secara jernih membandingkan plus minus berbagai macam tempat. Dan kejernihan itu pula yang pada akhirnya membuatnya tanpa ragu mencintai Tanah Air ini. 

mengintip fajar dari Lawu

Comments

  1. Dibandingkan yang dulu-dulu, makin enak cara bertuturnya dan makin "anteb". I enjoyed this one so much! Lanjutken!

    ReplyDelete
  2. That is pretty great chief. I really enjoyed to read and you make your reader to be in your position at that moment hahah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank you, suf. I wish I can read your story of travelling around the world. Please start writing, suf :)

      Delete

Post a Comment

Popular Posts