Widjojo Koesoemo
Sebuah tim ekspedisi yang
dipimpin oleh seorang ilmuan berkepala dingin bernama Dr. Jack Byron, ditugaskan
untuk mencari sebuah bunga langka di pedalaman hutan Borneo. Bunga langka
berwarna merah ini hanya mekar sekali dalam tujuh tahun, dan dipercaya
mempunyai zat kimia yang memungkinkan sel beregenerasi dengan cepat sehingga membuat
siapapun yang mengonsumsinya awet muda.
Inilah mengapa perusahaan farmasi
Amerika kepincut dan mengirimkan tim ekspedisi tersebut. Mereka, tim ekspedisi,
dalam waktu yang sangat terbatas (masa
mekar bunga langka tersebut tersisa dua minggu) harus masuk kedalam hutan tropis
Borneo yang penuh misteri, berjibaku dengan waktu untuk mendapatkan bunga
tersebut. Tim ini pada akhirnya harus berhadapan dengan makhluk penjaga hutan:
ular Anaconda raksasa.
Jati Wesi diceritakan mempunyai
penciuman yang sangat tajam. Dia bahkan dijuluki Si Hidung Tikus karena
kemampuan hidungnya yang diluar logika. Dia bisa mendeteksi banyak hal dengan
hidungnya. Dia bahkan sempat menemukan bangkai ditengah gunungan sampah Bantar
Gebang. Itulah keistimewaan Jati Wesi. Karena kemampuan ini pula, dia dipinang
seorang herbalist kenamaan untuk
bergabung menjadi tim ekspedisi guna menemukan bunga misterius bernama Puspa
Karsa yang hanya dapat ditemukan lewat penciuman. Bunga ini diyakini menyimpan
kekuatan dasyat dan bisa mengendalikan manusia. Jati Wesi, bersama tim
ekspedisi pada akhirnya pergi menerobos pekatnya misteri Gunung Lawu.
_____
Kedua penggalan cerita tersebut seketika
terbayang di kepalaku setelah membaca tuilsan berjudul “Widjojo Koesoemo between Tradition and Science, 1830-1939”. Penggalan
cerita pertama adalah potongan film berjudul Anacondas: The Hunt for The Blood Orchid, sedangkan cerita kedua
berkisah tentang novel garapan Dee Lestari yang cukup tebal namun ringan dibaca,
Aroma Karsa. Seperti yang ditulis diatas, Puspa Karsa hanya bisa ditemukan oleh
indra penciuman. Bunga ini terletak di dimensi lain di sudut Gunung Lawu. Dua
karya tersebut mempunyai kemiripan, dimana keduanya bercerita tentang ekspedisi
pencarian bunga misterius dengan kekuatan supranatural.
Tulisan yang baru rampung aku
baca, Widjojo Koesoemo between Tradition
and Science, 1830-1939”, juga bercerita tentang perburuan bunga. Bedanya,
tulisan ini adalah tulisan non fiksi. Tradisi yang coba direkonstruksi dalam
tulisan ini adalah tradisi kuno Kasunanan Surakarta. Data dari Belanda dan Keraton
digunakan untuk merampungkan penelitian ini. Tentunya, karena lokus penelitian
ini adalah Surakarta dan sekitarnya, maka kebudayaan yang melingkupinya adalah
Budaya Jawa.
Budaya Jawa sarat akan simbol. Makna,
harapan, dan doa sering kali dibungkus dan direpresentasikan dengan objek materil.
Bunga salah satunya. Dalam berbagai macam kegiatan adat, bunga seolah menempati
posisi primer. Upacara pra-kelahiran, pernikahan, hingga kematian selalu
menyertakan bunga. Bunga memang sangat kental maknanya bagi manusia Jawa. Bunga
atau sekar adalah bahasa paling sederhana dari sebuah harapan atas pesona, keindahan,
keharuman, atau kecantikan. Sehingga tidak berlebihan bila dikatakan bahwa
manusia Jawa tidak bisa lepas dari Bunga.
Baik, kembali ke pembahasan soal
tim ekspedisi Keraton tadi. Gamal, lewat tulisannya yang cukup enak dibaca,
mencoba menelusuri the forgotten
tradition dari Kasunanan Surakarta. Ia mengawali tulisannya dengan laporan
Koran Belanda yang mengabarkan kedatangan utusan Keraton Surakarta dari Sunan
Pakubuwono XI (Raja Surakarta 1939-1945) di Cilacap, Pantai Selatan Jawa. Tim
tersebut adalah tim yang diperintahkan untuk menemukan bunga sakral Widjojo Koesoemo, di Nusa (Pulau) Bandung.
Bunga ini adalah salah satu prasyarat untuk menjadi raja baru di Kasunanan
Surakarta. Ditinjau dari asal katanya, Widjojo Koesoemo terdiri dari dua kata, yaitu Widjojo yang berarti Kemenangan, dan Koesoemo yang bermakna Bunga. Sehingga secara bahasa, Widjojo Koesoemo bisa diartikan Sebagai Bunga Kemenangan.
Terkait bunga Widjojo Koesoemo itu sendiri, ada
beberapa versi yang muncul sebagai upaya untuk memahami dan mendefinisikan
bunga primadona Kasunanan tersebut. Referensi pertama menyebutkan bahwa bunga
ini muncul dan berasal dari mitologi Jawa Kuno dan tradisi lama Keraton. Tidak
ada gambaran fisik yang spesifik tentang bunga ini. Berdasarkan kamus Jawa Kuna
karangan Zoetmoelder, bunga ini dideskripsikan sebagai bunga misterius dengan
kekuatan supranatural. Deskripsi ini mengarah pada cerita Bharatayuddha yang
menyebutkan bahwa bunga ini adalah milik Wisnu sebelum pada akhirnya diberikan
kepada Kresna sebagai pusaka. Salah satu kekuatan dari bunga ini menurut cerita
Kakawin adalah kemampuannya untuk menghidupkan yang mati.
Referensi kedua dan ketiga lebih
mengarah pada penafsiran yang lebih ilmiah. penafsiran kedua mengatakan bahwa
bunga Widjojo Koesoemo ini adalah
spesies bunga yang bernama latin Pisonia
Sylvestris. Klasifikasi ini dilakukan oleh seorang ahli botani dari
Belanda, Teysmann dan Binnendijk, pada pertengahan abad 19 setelah klaim atas
penemuan bunga tersebut. Sedangkan penafsiran terakhir adalah penafsiran
kontemporer yang lebih jamak. Bunga ini disebut Wijaya Kusuma, yang mengarah
pada definisi latin “Ephyphillim Anguliger”. Hingga saat ini, belum ada kejelasan
pasti akan bunga Widjojo Koesoemo yang
senantiasa dicari oleh Kasunanan Surakarta tersebut.
Bila bunga The Blood Orchid dalam film Anacondas
tersebut hanya bisa ditemukan di pedalaman hutan Borneo, dan Puspa Karsa di
Gunung Lawu, Widjojo Koesoemo itu
sendiri hanya dapat ditemukan di Pulau Bandung. Pulau ini kabarnya dilindungi oleh
ombak yang cukup ganas dan lokasi tepatnya juga masih simpang siur. Babad Kraton tidak menyebutkan secara
spesifik lokasi pulau ini. Sumber ini hanya mengungkapkan bahwasanya Ki Pranantaka,
utusan dari Sunan Amangkurat II, mencari bunga Widjojo Koesoemo di Wasigit Watu (nama kuno dari Goa Masigit Sela)
di Donan (Saat ini area Cilacap), di pulau Brambang (Nama kuno dari Nusa
Kambangan). Dalam perjalanannya ke Donan, Ki Pranantaka memasuki daerah Toyamas
(Banyumas). Babad Tanah Jawi, sebagai salah satu buku babon tentang Jawa, juga
tidak menyebutkan lokasi spesifik dari pulau ini. Hal ini dapat dipahami karena
memang tradisi ini adalah tradisi yang cukup eksklusif dan tertutup. Sehingga
lokasi pulau ini tentunya juga ‘sengaja’ ditutupi.
Selain berdasarkan babad, upaya
menemukan lokasi Pulau Bandung juga bisa ditelusuri dari sumber Belanda. Namun
tetap saja, usaha tersebut belum bisa dikatakan berhasil. Pada awal tahun 1838,
misalnya, Tijdschrift voor Netherlandsch Indie dengan sangat
spekulatif menyebutkan lokasi pulau Bandung yang disebutnya pulau Pandan.
Dijelaskan bahwa pulau ini adalah pulau terbesar dari pulau-pulau yang ada di
tenggara pulau Nusa Kambangan. Pulau ini tidak bisa dicapai karena terhalang
oleh ombak ganas yang melindunginya.
Tahun 1847, seorang naturalist dari Belanda juga mencoba
memaparkan kondisi dari Pulau Bandung tersebut berdasarkan informasi yang
didapat dari, yang dia sebut, trusted
Javanese informant. Dia menjelaskan bahwa Pulau Bandung adalah pulau karang
yang hanya dapat ditemukan saat ombak sedang jinak dan hanya bisa ditempuh
dengan menggunakan perahu kecil. Ada dua pulau Bandung menurut informan
tersebut. Pulau Bandung yang berkarakter Feminim (menumbuhkan jenis tanaman
yang feminim pula) dan Pulau maskulin yang menumbuhkan jenis bunga maskulin.
Sama halnya dengan tim ekspedisi
pencarian bunga The Blood Orchid dan
Puspa Karsa yang terdiri dari berbagai macam latar belakang, pencarian Widjojo Koesoemo juga melibatkan tim
yang bermacam-macam. Tim ini disebut Utusan
yang terdiri dari; Abdi dalem Juru
Suranata: Bupati Anom dan pengawalnya; 2. Abdi
dalem Yogaswara (Reh Pangulon): Khatib dan Modin; 3. Orang Keraton lainnya
seperti abdi dalem ngajengan, kabayan, dan prajurit. Tidak ada jumlah pasti Utusan ini. Namun, unsur terpenting dari tim ini adalah Abdi dalem Juru Suranata dan Abdi dalem Yogaswara.
Karena sifatnya yang sakral, pencarian
bunga ini tentu saja harus mengikuti aturan adat yang sangat rumit dan ketat. Catatan
detail tentang berbagai ritual yang harus dilaksanakan oleh tim pencari bunga
ini bisa ditemukan dari tulisan Hardjapradata atau Bratadiningrat, salah
seorang anggota Keraton. Dia menuliskan bahwa pertama, ketika tim memasuki
Gumelem (Banjarnegara) tim ekspedisi harus melakukan ziarah ke makam Kyai Kasan
Besari I (Kyai Ageng Giring) dari Pesantren Tegalsari. Disitu, tim ekspedisi
memberikan uang kepada Juru Kunci. Lantas bersama dengan Juru Kunci, mereka
beranjak ke Cilacap. Setibanya di Cilacap mereka berhenti di kantor Bupati dan
melakukan mumule (berdoa kepada nabi,
wali, leluhur Sunan).
Selanjutnya, mereka meneruskan nenepi di beberapa situs suci/keramat di
Cilacap sesuai dengan petunjuk dari Juru Kunci tadi. Pertama, mereka menuju
masjid Sela (Wasingit Watu) di Nusa Kambangan. Sepanjang perjalanan menuju
Masjid Sela, mereka membagikan uang kepada siapa saja yang berpapasan dengan
mereka. Utusan tersebut menghabiskan malam dengan bertafakur/meditasi di Masjid
Sela. Di hari berikutnya, mereka melanjutkan berziarah ke makam Kyai Ageng
Majalangu dan Makam Panembahan Tlecer. Kedua makam tersebut terletak di Nusa Kambangan.
Selepas dari dua makam tersebut, tim baru bisa meluncur ke Pulau Bandung.
Menurut Hardjapradata (1890), sebelum
memasuki pulau Bandung, Para utusan Keraton tersebut harus berganti pakaian
dengan pakaian seba putih. Hanya Juru Suranata dan Khatib yang boleh masuk ke
Pulau Bandung ini. Sedangkan yang lain, tinggal di pantai Cilacap. Saat hendak
memasuki Ujung Sapuregel, mereka menebar uang, beras kuning dan potongan kain
dengan berbagai warna. Setelah itu mereka berganti kapal kecil dan bergegas menuju
Pulau Bandung. Sesaat setelah memasuki Pulau, Juru Kunci akan membakar dupa,
sedangkan yang lain melakukan Ratiban. Beberapa
waktu kemudian, bunga Widjojo Koesoemo
muncul menampakkan dirinya. Kaliwon Suranata kemudian memetik bunga tersebut
dan meletakkanya didalam cupu.
Tradisi ini pada akhirnya juga
menarik perhatian Belanda. Publikasi pemerintah kolonial Belanda yang menyebutkan
tentang Widjojo Koesoemo muncul pada tahun 1695-1865. Pada tahun 1844, Statistike beschrijiving der Afdeeling Tjilatjap
mencoba mendeskripsikan bunga ini. Disana dijabarkan bahwa bunga ini
berdiameter satu kaki, dan biasa dimakan oleh ratu dan raja untuk menjamin
kelangsungan keturunan mereka nanti sebagai raja. Disini dijelaskan bahwa bunga
Widjojo Koesoemo berperan sebagai
obat dengan kekuatan supranatural.
Rasa penasaran Belanda terhadap
Bunga ini seperti arus sungai yang tidak bisa dibendung. Untuk memenuhi rasa
penasarannya, Belanda mencoba mendapatkan informasi dari orang Jawa Asli. Akan
tetapi, detail lokasi dari Pulau Bandung juga belum dapat dipastikan. Sang
informan bahkan mengemukakan bahwa hanya keluarga Keratonlah yang tahu persis
lokasi Pulau Bandung tersebut. Lepas dari informan satu, Belanda berpindah ke
informan lain, yakni pangeran Soerianingrat. Dari informan ini, pihak Belanda
diyakinkan bahwa Widjojo Koesoemo
berbeda dengan bunga Patma (Rafflesia Patma) yang dicurigai sebagai bunga Widjojo Koesoemo. Sampai disini, misteri
tentang bunga ini belum juga dipecahkan.
Upaya pencarian bunga ini
ternyata belum berhenti. Pada tahun 1847, seorang Jawa memberikan bunga
tersebut kepada pihak Belanda. Menurut F.W. Junghuhn, “seorang Jawa yang
terpercaya” memberikan bunga tersebut. Namun sayangnya, specimen ini hilang
sebelum dites dan diklasifikasi. Pada tahun 1854, Residen Banyumas H.C. Van der
Wijk mengirimkan beberapa potong “Widjojo
Koesoemo” ke Buitenzorg Botanical Garden (saat ini Kebun Raya Bogor). Potongan
dari tanaman ini menjadi objek dari J.E Teysmann untuk diuji. Pada akhrinya, sample ini diklasifikasikan sebagai Pisonia Sylvestris, family dari Nyctaginea, sebuah tanaman yang jamak
ditemukan di kepulauan Bali dan dikenal sebagai Dagdagseh dan di Karimun Jawa
disebut Sentollong. Melalui temuan ini, Teysimann mengklaim telah berhasil
mengobrak-abrik mistis Jawa (Demystification) dengan sains modern.
_______
Lantas, apakah dengan penemuan
ini tradisi pencarian bunga tersebut berhenti? Tidak. Keraton Surakarta tetap
menjalankan tradisi ini hingga tahun 1939. Mereka seolah tidak peduli dengan
upaya demystification dari pihak
Belanda tersebut. Belanda dan Surakarta melihat Bunga Widjojo Koeseoemo dengan kacamata yang berbeda. Bagi Keraton
Surakarta, Widjojo Koesoemo adalah
pusaka yang berkaitan dengan leluhur mereka. Di kalangan Keraton sendiri, hanya
Sunan dan anggota tim ekspedisi yang tahu bentuk fisik dari bunga Widjojo Koesoemo tersebut.
Sementara itu kepentingan Belanda
hanya sebatas mengetahui bentuk fisik dari bunga tersebut. Ketika Belanda
mengklaim penemuan bunga Widjojo Koesoemo,
tidak ada sikap dan tanggapan resmi dari Keraton. Banyak kalangan beranggapan
bahwa Pisonia Sylvestris, sebagaimana
yang dikemukakan oleh Belanda, bukanlah Widjojo
Koesoemo versi Keraton.
Belanda dan Jawa seolah dua kutub yang berseberangan. Keduanya mempunyai
keyakinan yang berbeda tentang alam. Bagi sebagian orang Jawa, ada alam yang
hanya bisa dipenetrasi atau dijamah lewat laku spiritual. Karena itu mereka
melakukan bermacam prosedur spiritual sebelum mendapatkan Widjojo Koesoemo. Sedangkan bagi Belanda, alam dapat diukur
dengan ilmu pengetahuan, dan bahwa kehidupan spiritual tidak ada kaitannya
dengan dunia materi.
Jadi, apakah Belanda benar-benar berhasil men-demystify tradisi Jawa?
Jadi, apakah Belanda benar-benar berhasil men-demystify tradisi Jawa?
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete