"Langit Biru Yang Jernih"

Saya tidak begitu ingat perkataan lengkapnya, namun yang menempel di kepala saya kira-kira begini, “Saya selalu percaya bahwa manusia seperti langit biru yang jernih.” Perkataan tersebut meluncur dari mulut Dee Lestari yang sedang diwawancarai oleh Daniel Manata di kanal You Tubenya. Wawancara tersebut memperbincangkan bagaimana Dee Lestari menghadapi kehilangan sosok Reza Gunawan yang telah menjadi bagian terpenting dalam hidupnya beberapa tahun terakhir. Pada suatu titik, kalimat tersebut keluar dari mulut penulis novel Supernova itu. Kalimat yang jernih dan, bagi saya, cukup menyadarkan.

Saya sependapat dengan Dee Lestari, bahwa “Manusia seperti langit biru yang jernih”. Dan memang semestinya demikian. Awan mendung yang menggantung, hujan petir yang menyeramkan, badai, hingga senja yang begitu cantik merupakan selingan yang hanya mampir secara temporer saja. Seperti tirai, semua “lukisan sementara” tersebut akan hilang saat disibak. Dan saat disibak pula, langit yang biru nan jernih akan kembali muncul.

Sumber: Pixabay

Kita barangkali sering mengasosiasikan personalitas kita dengan sifat-sifat temporer yang diibaratkan sebagai cuaca di atas. Marah, kecewa, sebal, dendam, sombong dan sebagainya adalah “cuaca” yang hanya temporer saja. Kita bisa jadi, dengan memakai analogi Dee Lestari di atas, sering terjebak dengan penghakiman yang didasarkan pada cuaca. Bahwa di balik semua warna-warni cuaca tersebut, dari cuaca yang gelap dan nampak menyeramkan hingga cuaca yang indah memikat itu, kita lupa bahwa masih ada langit biru jernih yang merupakan hakikat dasar dari semua manusia. 

Comments

Popular Posts