Mengonsumsi Konotasi
"Mengonsumsi Konotasi"
Itulah salah satu kutipan
favoritku dari Dosen Teori Sastra, Bapak Tommy Christommy. Beliau sering kali
menjelaskan fenomena sosial saat ini dengan dua kata tersebut. Ungkapan tadi
digunakan untuk mendeskripsikan bagaimana manusia modern sering kali terjebak
dalam paradigma Konotasi dengan memaksakan sesuatu pada diri mereka agar
seolah-olah menjadi bagian dari sesuatu yang diada-adakan tersebut.
Sebelum masuk terlampau jauh
tentang “Mengonsumsi Konotasi”, ada baiknya kita memahami dulu apa itu
Konotasi. Singkatnya, ada paling tidak dua cara untuk memaknai sesuatu. Yang
pertama adalah pemaknaan Denotasi, dan yang kedua adalah pemaknaan Konotasi.
Denotasi merupakan pemaknaan “lugu” yang mengacu pada deskripsi literal atau kamus. Pemaknaan ini juga didasarkan pada apa
yang ditangkap oleh panca indera. Contohnya, kata “Merah”. Bila dimaknai secara
Denotasi, tentu kata ini merujuk pada salah satu warna dengan gradasi tertentu
sesuai dengan konvensi sosial di masyarakat tertentu pula. Begitulah pemaknaan
Denotasi bekerja. Contoh yang lain, kata “Kopi” misalnya. Pemaknaan Denotasi
akan menghasilkan deskripsi tentang salah satu tanaman yang tumbuh pada
ketinggian tertentu yang biji buahnya bisa dijadikan minuman hangat yang jamak
dinikmati oleh sobat senja sambil menulis lirik-lirik cinta #halah.
Namun, bila dilihat dari kaca
mata Konotasi, dua kata tersebut, Merah dan Kopi, menyimpan makna yang berlapis.
Pemaknaan Konotasi bisa dikaitkan dengan aspek kultural, politik, sosial, hingga
sejarah. Konotasi memberikan ruang bagi kita untuk lebih eksploratif dalam memaknai
sesuatu. Singkatnya, Konotasi adalah extended
meaning. Dengan begitu kita bisa memaknai kata “Merah” dengan misalnya
simbol sifat berani, darah, keberuntungan (dalam budaya masyarakat Tiongkok),
gerakan politik, red scare, atau
ideologi tertentu. Sementara itu, kopi bisa dimaknai dengan keakraban, kelas
sosial, sejarah kolonialisme, kapitalisme, persaingan industri, atau
eksklusifitas.
Baik, mari kembali ke
perbincangan awal soal “mengonsumsi konotasi” tadi. Sebenarnya, hampir semua
objek di masyarakat memiliki konotasinya sendiri. Konotasi itu sengaja
dikonstruksi oleh masyarakat dan kelas-kelas sosial tertentu untuk menegaskan
dan mempertahankan kelasnya sendiri. Agar lebih jelas, mari kita
bahas tentang kopi lagi. Kopi, dikalangan akar rumput biasa disuguhkan untuk
menyambut tamu, sebagai perekat sosial dan penegas komunalitas. Namun untuk
kalangan tertentu, kopi tidak sesederhana itu. Kopi juga berarti penanda kelas.
Di kafe-kafe tertentu yang disetting sedemikian rupa, yang dilengkapi dengan alunan musik Jazz, lampu-lampu yang sendu, dan aroma ruangan yang memanjakan indra penciuman, kopi menjadi barang eksklusif yang mungkin akan membuat menjerit kantong-kantong sobat misqueen (kayak saya ini). Kopi dengan nama-nama yang sulit diucapkan, bertransformasi dari sekadar minuman menjadi sebuah penanda kelas.
Di kafe-kafe tertentu yang disetting sedemikian rupa, yang dilengkapi dengan alunan musik Jazz, lampu-lampu yang sendu, dan aroma ruangan yang memanjakan indra penciuman, kopi menjadi barang eksklusif yang mungkin akan membuat menjerit kantong-kantong sobat misqueen (kayak saya ini). Kopi dengan nama-nama yang sulit diucapkan, bertransformasi dari sekadar minuman menjadi sebuah penanda kelas.
Karena fungsinya yang sudah berubah, cara menikmati secangkir kopi tersebut pun ikut berubah. Misalnya, walaupun toh kita mempunyai uang
yang cukup untuk membeli secangkir kopi di kedai-kedai eksklusif tersebut,
nyatanya, kita harus tetap mempersiapkan banyak hal sebelum bisa meneguk kopi
itu. Kita harus, misalnya, mengenakan pakaian yang “layak” untuk masuk kafe
tersebut, laptop yang harus bermerek tertentu, hingga bahan obrolan atau bahasa
standart yang seolah-olah menjadi prasyarat turunan untuk bisa menikmati secangkir
kopi di tempat itu.
Tentu sah-sah saja semisal kita dengan cuek ingin mendobrak pakem-pakem tak tertulis tersebut. Misalnya
datang ke kafe-kafe itu dengan memakai sarung, kaos compang-camping, muka kumal,
atau membayar dengan uang receh. Kita tetap saja akan bisa menikmati kopi
disana. Akan tetapi, kita akan merasa tersisihkan. Merasa tidak setara dengan
yang lain, dan merasa bukan bagian dari kelas mereka. Kita merasa
termarginalkan karena tidak memenuhi prasarat turunan untuk menikmati kopi
disana. Dan pada gilirannya, kita merasa apa yang biasa disebut aleniasi.
Terkait tentang bagaimana makanan
bertransformasi menjadi sebuah simbol kelas tertentu sebenarnya juga sudah dibongkar
oleh seorang Antropolog Amerika. Sahlins, dalam tulisannya yang berjudul food as symbolic code, membongkar struktur tersembunyi yang
ada dibalik makanan steak.
Mulanya, ia mengklasifikasikan makanan di Amerika menjadi dua katagori yaitu edible and inedible. Kelompok hewan yang inedible adalah anjing, kucing, dan kuda. Masyarakat Amerika menganggap anjing adalah kerabat mereka. Maka dari itu, di rumah-rumah Amerika, anjing bisa kita lihat duduk-duduk di sofa atau tempat tidur si pemilik. Hal ini menggambarkan kedekatan masyarakat Amerika dengan anjing.
Mulanya, ia mengklasifikasikan makanan di Amerika menjadi dua katagori yaitu edible and inedible. Kelompok hewan yang inedible adalah anjing, kucing, dan kuda. Masyarakat Amerika menganggap anjing adalah kerabat mereka. Maka dari itu, di rumah-rumah Amerika, anjing bisa kita lihat duduk-duduk di sofa atau tempat tidur si pemilik. Hal ini menggambarkan kedekatan masyarakat Amerika dengan anjing.
Adapun dengan kuda, masyarakat Amerika
menganggap bahwa kuda adalah hewan tunggangan yang berjasa dan patut
mendapatkan kasih sayang. Oleh karena itu, saat imbauan untuk makan daging kuda
beredar (saat Amerika mengalami krisis daging sapi) gelombang protes merebak
dipenjuru Amerika. Orang Amerika menganggap bahwa melahap daging kuda adalah
perbuatan yang sangat tabu.
Kategori kedua adalah daging-daging
yang edible. Daging yang masuk di
kategori ini cukup beragam, mostly
daging dari hewan ternak seperti ayam, babi, dan sapi. Diantara ketiga hewan
tersebut, sapi menempati strata tertinggi dalam dunia perdagingan. Di dalam
daging sapi itupun, terdapat klasifikasi lagi yang lebih njelimet. Bagian daging tertentu hanya diperuntukkan untuk kalangan
kaya-Borjuis. Sehingga, walaupun toh daging sapi melimpah, harga daging bagian
tertentu tersebut tetap saja mahal. Padahal apabila dilihat dari nilai nutrisi
yang dikandung, daging tersebut tidak berbeda dengan daging lain. Namun sekali
lagi permainan makna simbolis membuat harga daging bagian tertentu tersebut
mahal dan tidak bisa digapai orang-orang kimsin (miskin). Bagian tersebut
sering kali dimasak menjadi steak.
Sehingga steak secara konotasi
bermakna kelas sosial dan eksklusifitas. Teruntuk orang-orang miskin, mereka hanya
berhak memakan bagian lain yang lebih rendah dari sapi, seperti jeroan, isi
perut, dan sejenisnya.
Penulis yang juga menentang
perang Vietnam tersebut beranggapan bahwa dengan menganalisis daging sapi, ia
dapat menguraikan struktur masyarakat Amerika. Ia juga menemukan fakta bahwa
kaum-kaum borjuis dan pemegang kekuasaan berusaha memegang kendali atas
aturan-aturan yang berlaku di masyarakat, termasuk dalam makanan. Ada struktur
sosial yang ingin dipertahankan disana. Ada kelas-kelas yang sengaja diuri-uri agar tidak mati. Hal tersebut
dilakukan dengan cara memasukkan makna dalam simbol makanan. Itulah mengapa harga steak selalu mahal. Itulah mengapa
ketika anda masuk ke rumah makan steak anda harus punya table manner yang baik,
itulah mengapa dengan memakan steak anda secara ilusif menjadi bagian orang
eksklusif. Begitu pula dengan kopi-kopi yang ada di kafe eksklusif yang sempat
kita bahas di awal tadi.
_______
Kasus-kasus seperti ini
sebenarnya tersebar di banyak aspek kehidupan kita saat ini. Banyak sekali
makanan, pakaian, aksesoris yang berharga “tidak normal”. Tas, sepatu, dan
makanan yang berharga selangit, yang sebenarnya secara fungsi sama saja dengan
yang berharga rendah sengaja diciptakan untuk menegaskan perbedaan kelas.
Barang tersebut diadakan sebagai pembeda antara si pemakai dan orang kebanyakan.
Sayangnya, seringkali kita
terjebak hal semu semacam itu. Kita, demi memberi makan gengsi, rela membeli
barang-barang mahal tersebut. Mengonsumsi sesuatu hanya karena ingin terlihat
keren, dan mendapat social acceptance yang palsu. Kita bersusah payah mengenyangkan ilusi yang nyatanya tidak akan pernah kenyang. Singkatnya, kita sering kali terjebak dalam pola "Konsumsi Konotasi".
Disclaimer: sebuah curcol seorang yang ngga pernah makan steak, atau minum kopi seharga 50rb an.
Disclaimer: sebuah curcol seorang yang ngga pernah makan steak, atau minum kopi seharga 50rb an.
inspiratif, suka mengonsumsi tulisannya
ReplyDeleteWih, sungkem dulu ke suhu Ardi.
Delete