Writing As a Daily Meditation

Judul di atas adalah salah satu postingan yang saya temukan di media sosial Instagram beberapa waktu yang lalu. Jujur saat saya melihat postingan ini, walaupun hanya sekilas, pikiran saya terlempar ke mana-mana. Saya, misalnya, teringat oborlan di salah satu edisi podcast Endgame yang mengatakan bahwa menulis adalah sebuah cara untuk mengenali diri sendiri. Karena pada dasarnya we are struggling to understand ourselves better. Pikiran saya juga terbang pada salah satu diskusi Maiyah, yang gemar saya dengarkan. Saat itu, Noe Letto, atau Sabrang, berbicara bahwa menulis adalah salah satu cara untuk berkomunikasi dengan diri sendiri. Iya, tidak salah, berkomunikasi dengan diri sendiri.

Berkomunikasi dengan diri sendiri adalah sebuah ritual yang cukup penting di tengah era yang semakin ramai dengan beragam hal. Kita sama-sama menyadari bahwa dunia saat ini semakin berisik. Berbagai hal dari yang tidak penting hingga hal yang super tidak penting seolah berebut ruang untuk didengar dan diproses oleh manusia. Hal inilah yang membuat kita kadang kala gagal menangkap suara-suara yang hadir dari dalam. Suara-suara yang barang kali bisa menjadi kompas dalam mengarungi era yang penuh dengan sampah informasi ini.

Tak berhenti di situ, bisa jadi, misalnya, walaupun kita sudah mendapatkan kesempatan untuk berdiam diri dan secara sadar mencoba mendengarkan percakapan dalam diri lewat self-talk, kita hanya akan mendapatkan hal-hal yang sama, dan mungkin berisi hal-hal negative (misalnya self-doubt, self-discouragement, dan negativitas yang lain). Inilah yang mungkin dirasakan oleh beberapa dari kita dan membuat kita enggan untuk duduk berdiam diri untuk menggali dan mendengarkan apa yang sedang berkecamuk dalam diri.

Di tengah kondisi di atas, menulis kemudian bisa diartikan sebagai semacam kanal baru yang membuat informasi yang lebih dalam mampu untuk keluar ke permukaan. Di sini, saya membayangkan bahwa menulis seperti jalur MRT, atau kereta cepat, sementara self-talk yang bermuatan negativitas adalah jalan raya yang penuh sesak dengan kendaraan bermotor dan asap yang menyesakkan (asap dan kendaraan tersebut adalah analogi dari negativitas yang kita sering tangkap dari dalam).

Sehingga, menulis sebagai meditasi sehari-hari berarti memberikan jalur khusus bagi pemikiran-pemikiran atau hasil permenungan yang ingin keluar dari dalam. Dengan media tersebut (menulis) kita bisa menangkap dan memahami gejolak internal yang barang kali kita sendiri kesulitan untuk mencernanya.

Menulis sebagai meditasi sehari-hari bermakna menulis dengan sangat natural. Menulis laksana aliran air yang jernih yang memberikan kehidupan bagi sekitarnya. Saya rasa di tengah kompleksitas hidup dan pikiran kita yang semakin carut-marut dengan beragamnya informasi yang beredar di luar, meluangkan waktu maksimal 30 menit untuk hening bermeditasi lewat tulisan merupakan salah satu cara yang cukup ampuh untuk tidak hanya memahami diri sendiri, namun juga untuk menjaga kewarasan kita.

Ruang instruktur, UPT Bahasa

Pondok Labu, 26/09/2023

Comments

Popular Posts