Skripsi, dapat apa?
Apabila ditanya pertanyaan semacam ini, "Nulis skripsi, apa yang kamu dapat?"
Aku akan mengklasterkan jawaban dari
pertanyaan ini kedalam dua kategori. Yang pertama adalah jawaban akademis yang
pasti akan aku kait-kaitkan dengan objek materil ku. Dan yang kedua adalah
jawaban humanis yang lebih mengena kedalam diriku sendiri. jawaban yang
didasarakan oleh penghayatan yang dalam atau kontemplasi #lebay.
Well, tugas akhir yang baru aku
rampungkan adalah sebuah penelitian tentang ritual meminta hujan yang dilakukan
oleh masyarakat petani desa Pelem, Tulungagung. Penelitianku lebih berfokus
kepada makna-makna dari setiap simbol yang tertuang dalam sesaji yang digunakan
dalam ritual. Aku menggunakan teori semiotika dari Barthes yang
menginterpretasikan sesuatu dengan tiga tahap, yakni Denotasi, Konotasi dan Mitologi.
Singkatnya, Denotasi adalah interpretasi yang di dasarkan oleh penjabaran dari
panca indra yang dimiliki oleh seseorang, sehingga deskripsinya akan cukup
dangkal. Sedangkan Konotasi adalah cara pandang sesuatu yang didasarkan oleh nilai kultural yang melekat
pada simbol tersebut dan Mitologi adalah tahap akhir dari interpretasi yang
mengambil filosofi atau ideologi dari simbol-simbol atau dalam konteks ini
nilai atau hikmah yang bisa diambil dari sebuah simbol atau pertanda.
Untuk jawaban pertama yang terkesan
akademis, bila ditanya dengan pertanyaan diatas, aku pasti menjawab bahwa
penelitian ini membuatku lebih mengenal budaya, meningkatkan rasa cinta
terhadap budaya, atau memberikan dorongan untuk melakukan penelitian yang lebih
dalam tentang budaya atau simbol. Ya sebuah jawaban klasik yang mungkin sedikit
terdengar berlebihan.
Namun, untuk jawaban yang kedua,
jawaban yang lebih persoal adalah bahwa secara pribadi, aku mengakui bahwa
penelitian ini sedikit banyak telah merubah cara pandangku dalam melihat
sesuatu. Aku terbiasa dengan cara pandang denotatif atau cara pandang kulit,
tanpa mempedulikan daging, tulang apalagi sumsum. Setiap sesuatu yang terjadi,
apapun itu, akan dengan mudah aku maknai dengan apa yang aku rasakan saat itu. Ya semacam take something for granted.
Tanpa mau berfikir jauh tentang apa yang ada dibalik kejadian itu, tanpa
memperdulikan sisi konotasi atau mitologinya. Sebuah cara pandang yang sangat
dangkal dan membuat kita secara psikis mudah sekali diterpa stress... padahal
belum tentu apa yang tidak mengenakkan hati, atau yang membuat kita besusah
adalah musibah, bisa jadi itu adalah berkah yang cuman belum bisa kita
terjemahkan secara proporsional saja. Perhatikan analogi dari cerita ini;
***
Konon, ada
sebuah kerajaan dengan rajanya yang sangat gemar
berburu. Suatu saat ketika sang raja tersebut pergi ke sebuah
wilayah yang jauh dari istananya, dia menemukan sebuah gubug reyot yang dihuni
oleh seorang janda tua dan cucunya yang masih kecil. Tepat di sebelah gubuk
itulah, ada sebuah kandang kuda dengan satu kuda yang sangat bagus. Kudanya
tinggi kekar, dengan warna putih bersih tanpa cacat. Kuda ini berhasil membuat
sang raja jatuh hati, dan dengan segala tawarannya, dia meminta kepada janda
itu untuk menyerahkan kuda tersebut ke tangannya. Namun janda tersebut menolak,
dia tidak ingin mengganti kuda tersebut dengan tawaran macam apapun.
Seketika itu pula, berita penolakan tawaran raja itu menyebar ke seantero
negeri, tetangga desa mendatanginya dan mencoba menasehatinya agar ia tidak
menolak berkah tersebut. Namun janda itu tetap diam dan tak bergeming. Setelah
itu, selang beberapa minggu, kuda putih tersebut hilang entah kemana, dan
lagi-lagi berita itu dengan mudah menyebar ke telinga penduduk desa. Mereka
berduyun-duyun datang ke wanita tua tersebut dan memberikan nasehat yang
intinya adalah memintanya bersabar akan musibah itu. Sekali lagi wanita itu
diam tak bereaksi dengan hal tersebut. Satu bulan berselang, di suatu pagi,
wanita tua itu terbangun dari tidurnya oleh suara ringkikan kuda yang terdengar
ramai. Dia menoleh kandangnya, dan menemukan kuda putih tersebut telah
kembali ke kandangnya. Dan dia membawa banyak kuda yang lain yang kemungkinan berasal
dari hutan yang ada di daerah tersebut. Seperti biasa, berita itu menyebar dan
membuat masyarakat daerah tersebut berbondong-bondong ke rumah wanita tua itu.
Mereka berbicara dan memberikan selamat bahwa kuda itu membawa berkah.
Namun seperti biasa pula, wanita itu hanya tersenyum dan diam. Singkat kata,
kuda-kuda itupun dijual kecuali kuda putih tersebut. Selang berapa waktu, cucu
dari wanita itu tumbuh besar dan ingin belajar menunggangi kuda. Karena itu
adalah pertama kali baginya serta karena kurang berhati-hati, dia jatuh dari
kuda itu dan menyebabkan kakinya patah. Seketika itu berita menyebar. Penduduk
datang dan mengutuk kuda itu sebagai sumber musibah. Sebagaimana biasa, wanita
itu hanya diam dan tersenyum. Selang beberapa waktu kemudian kemudian, kerajaan tersebut diserang oleh
kerajaan lain. Dan, karena kurannya pasukan, semua lelaki bakik tua maupun muda
di paksa untuk terjun ke medan perang.
Cucu dari wanita tersebut, karena cacat, tidak diminta untuk bergabung
dengan pasukan. Penduduk desa bersedih, karena sudah dapat dipastikan bahwa
perang ini akan membawa kekalahan, dan kematian pada pasukan karena memang
kerajaan telah lama hidup dalam kenyamanan, tanpa peperangan. Mereka mendatangi
wanita tua itu sambil menangis dan berkata bahwa kuda itu membawa keberkahan
kepada cucu dan wanita tua itu. Akhirnya, kali ini wanita itu membuka mulutnya
dan berujar,
“Memang sulit berbicara dengan kalian, yang terlalu melihat kulit dari
sesuatu.” Ucap wanita itu.
“Apa saja yang membuat kalian senang, kalian anggap sebagai berkah, dan
yang membuat kalian sedih kalian labeli dengan musibah.” Wanita itu mengambil
nafas sebelum melanjutkan ucapannya.
“Hidup itu seperti buku, kalian tidak akan pernah tau buku apa yang sedang
kalian baca hanya dengan membaca satu halamannya saja. Bacalah seluruhnya baru
berkomentar. Jangan terlalu dini menyimpulkan sesuatu, dan jangan terlalu
sempit dalam memandang sesuatu. Bukalah dengan hati-hati lembaran buku itu satu
persatu, jangan terdiam dalam satu halaman saja, dan dengan begitulah kamu akan
mengerti kesejatian hidup.” Wanita itu berkata panjang lebar.
Penduduk desa tersebut kali ini terdiam dan mencoba memaknai perkataan
janda tua yang selama ini dianggapnya kurang dalam hal apa saja tersebut.
***
Penduduk desa tersebut adalah
representasi dari diriku sendiri yang memandang sesuatu secara dangkal. Melihat
sesuatu dari kulit saja, cara pikir denotatif. Namun wanita tua tersebut adalah
representasi dari cara pandang konotasi dan mitologi.
Sebenarnya, apabila kita mau mengorek
lebih dalam tentang cara pandang ini, dalam Islampun dijelaskan pembagian cara
pandang manusia. Bahkan dalam islam, ada empat tingkatan klasifikasi ini. Ada Ulil Absor, yang mirip dengan Denotasi,
memandang bentuk, lalu Ulil Nuha yang melihat sesuatu secara kultural,
kemudian Ulil Albab yang memandang
sesuatu dari hakekat atau fungsi dan terakhir Ulil Ilmi yang melihat sesuatu secara makrifat. Bahkan Allah pun
sebenarnya juga telah mendidik kita berkenaan dengan hal ini, lihat saja Al
Baqoroh (2 : 216)
“Diwajibkan
atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu, Allah mengetahui,
sedangkan kamu tidak mengetahui”
Tuhan secara implisit mengajak kita
berfikir lebih dalam terhadap sesuatu. Boleh saja kejadian yang selama ini kita
labeli sebagai musibah adalah sesuatu yang amat baik bagi kita, dan sebaliknya!
Kita tidak mengetahui, Tuhanlah yang paling tahu. Tapi paling tidak, marilah
mencoba berpikir lebih dalam terhadap sesuatu tanpa menghakimi dan melabelinya
dengan “baik” dan “buruk” terlebih dahulu.
Bayangkan saja bila kita mempunyai
cara pandang sedalam konotasi, mitologi, atau Ulili Ilmi bahkan. Mungkin kita tidak akan menjadi cengeng, kita
akan menjadi manusia bermental kuat, manusia yang tidak mudah tumbang oleh
sebuah peristiwa! Sekarang pertanyaanya adalah, maukah kita?
Dapat A dong mas...
ReplyDelete