Kotoran Burung
Sobri adalah
gabungan antara karakter pasir yang sangat mudah menyerap air, dan tanah
lempung yang mampu mengikatnya dalam waktu yang relative lama. Apa saja yang
masuk ke dalam hidupnya, entah itu nasehat, pertanda, symbol, omongan,
gunjingan dan bahkan semilir angin yang tidak biasapun, akan dia tangkap dan
mengendap dalam pikirannya. Lalu dengan proses itu, ia membawa Sobri kepada
level kesadaran yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Pernah
suatu kali, saat ia tengah berjalan santai menuju sepetak sawah garapannya,
tepat di sebelah belokan warung lik Sali,
segumpal kotoran burung mendarat tepat di kepalanya. Sontak dia yang kaget
dengan kejadian itu meraba kepalanya, lalu dengan jemarinya mengulik gumpalan
yang masih hangat tersebut. Tidak sampai disitu, ia lalu memastikan ‘hakikat’
benda tersebut dengan menciumnya. Seketika itu pula dia sadar bahwa dia tengah
diberikan pertanda. Isi kepalanya merangkak-rangkak ke berbagai sudut untuk
merangkul kemungkinan dari makna pertanda tersebut. Otaknya mulai
menggelitikinya dengan berbagai pertanyaan tentang kotoran tadi; kenapa, dari
sekian banyak manusia yang lalu lalang di jalan ini, dia yang dipilih untuk ‘merasakan’
kotoran tersebut? Lalu berkembang ke pertanyaan; kenapa harus pagi ini? Selanjutnya
menjadi; kenapa harus kepalanya? Lantas berubah lagi menjadi; kenapa harus saat
dia berjalan ke sawahnya? Kenapa harus kotoran burung? Dan kenapa-kenapa
lainnya yang membuat kepalanya menggembung dengan pertanyaan.
Sobri
selalu yakin, bahwa tidak ada yang kebetulan dalam jagad ini. Dan karena prinsip
itulah dia selalu mencari dan mencari apa saja yang dia anggap pertanda. Mencari
sesuatu dari hal-hal yang mungkin bagi kebanyakan orang dianggap biasa.
Pada kesempatan
lain, ia bahkan pernah terkena sakit Tifus karena pertanyaan yang tiba-tiba
muncul dari mulut sahabatnya, Solikin. Sahabatnya yang lugu itu melemparkan
keluhan tentang hidup orang Jawa yang saat ini menurutnya semakin tercerabut dari
akarnya. Entah bagaimana dua kata kunci dari kalimat Solikin tersebut seolah
membuka pintu kerisauannya. “Jawa” dan “saat ini”. Dia tidak lagi mendengarkan
keluh kesah Solikin, dia tertarik pada pusaran pertanyaan yang kini muncul dari
perkawinan dua kata tersebut.
Dua
kata itu kemudaian meresap dan menjadi pertanyaan identitas dan momentum. Kenapa
dia dilahirkan dari Rahim wanita Jawa? Dan kenapa dia dilahirkan dalam rentang
waktu yang memungkinkannya menjumpai berbagai persoalan terhadap identitas
kulturalnya? Pertanyaan tadi bagi Sobri bukanlah angin lalu. Ia lebih mirip
benalu yang menghisap energinya. Dia terus merenung sejak saat itu tentang
kenapa dia dijadikan orang Jawa, kenapa dia dilahirkan dalam rentang waktu saat
ini. Ini pula yang membuatnya tidak bisa tidur dan makan. Dia gusar. Dia ibarat
potongan puzzle yang mencoba mengidentifikasi dan memetakan perannya sendiri
dalam sebuah gambar raksasa yang tentu saja dia juga tidak tahu bentuk
gambarnya.
Sobri adalah
fenomena. Ia seringkali menganggap dirinya sendiri menerima kutukan
lewat sifatnya tersebut. Akan tetapi di sisi lain, sensitifitasnya itulah yang
membuatnya memiliki kemampuan penghayatan yang luar biasa. Dan karena itulah
dia akhirnya jatuh sakit selama seminggu!
---------------------
Hal diatas pula
yang membuatnya mendadak mematung bisu pagi ini; saat wanita yang sangat dia
kenal, yang diam-diam ia kagumi selama ini, dengan sangat mendadak mengungkapkan
isi hatinya kepadanya. Diluar sangkaanya, dia tidak bisa menjawab karena dadanya
seolah sesak oleh bunga-bunga, sehingga ia khawatir kalau-kalau hanya bunga
yang manis dan harum sajalah yang keluar dari mulutnya –bukan kemurnian hatinya
yang tak jarang menawarkan keruwetan dan kegetiran.
Comments
Post a Comment