Obrolan dua kawan


Tak seperti biasanya, sejak pagi tadi Sobri terlihat murung. Mukanya ditekuk awut-awutan dan sinar dari wajah lucunya yang lugu sedikit memudar. Sangat jarang sekali pemuda tanggung itu berlagak seperti hari ini. Dia adalah sosok manusia yang sangat cerdas dan rajin untuk mencari celah demi menertawakan kehidupan yang makin sesak ini. Giginya yang tongos kelinci dipadu pipinya yang mirip bakpo serta tawanya yang lepas merupakan campuran sempurna yang membuat siapapun yang melihatnya terhibur. Karakter hangat menempel bersama dirinya, hingga semua orang yang susah hatinya pasti akan mencari hiburan dari buruh tani ini.


Namun siapa sangka, pagi ini keceriaan seolah direnggut dari Sobri. Pagi ini Sobri tidak ke sawah, dia hanya cangkruk di warung lik Sali, warung langganannya berhutang. lik Sali yang mencium gelagat tak enak dari langganannya ini hanya diam saja. Dia tidak mau menanyakan gerangan apa yang sedang menghimpit pikiran Sobri. Lelaki berusia senja itu hanya menunaikan kewajibannya melayani tamu yang mampir di warungnya itu, sekalipun dapat dipastikan bahwa tamu yang satu ini pasti akan menambahkan catatan hutang di buku birunya.

“Loh kenapa ndak dines ke sawah, Bri?” Ucap Solikin kencang disertai tepukan di bahu Sobri.

Sobri kaget bukan kepalang, pikirannya yang mengembara entah kemana tiba-tiba melesat memasuki dirinya kembali. Dia sadar dan segera menoleh kebelakang. Dia lihat Solikin berdiri tepat dibelakangnya. Sahabat kentalnya itu tersenyum lebar, menampakkan deretan gigi yang tidak teratur. Dua sahabat ini adalah pasangan serasi, Sobri dan Solikin ibarat sambal terasi dan ikan asin, saling melengkapi dan membuat nasi yang hambar menjadi nikmat.

Sobri melengos tidak antusias. Ia lalu mengaduk Teh hangat yang sedari tadi belum dia cicipi sama sekali. Sesekali terdengar tarikan dalam dan embusan nafas panjang dari Sobri.

“Loh, kenapa to kowe?” Selidik Solikin sambil bergerak duduk di sebelah Sobri.  

           Ndak apa-apa, Sol, jawab Sobri sekenanya sambal memijit ringan pelipisnya, jawaban dan ekspresi yang makin menguatkan Solikin bahwa temanya sedang dijepit masalah.

            Yowis lek ndak mau cerita ndak apa-apa, tapi sawahmu itu loh butuh kamu,” ucap Solikin.

            Tidak ada Jawaban terdengar dari Sobri.

Solikin membenarkan posisi duduknya. Ia mulai mengangkat kaki kirinya, menekuknya sedemikan rupa hingga kini paha kaki yang diangkatnya menempel di dadanya –posisi nangkring favoritnya. Setelah pesan secangkir kopi hitam, Solikin akhirnya memperhatikan wajah sahabatnya itu dengan lebih seksama. Dia menemukan gumpalan awan pekat disana. Menutup sempurna menggulung keceriaan Sobri. Solikin mulai tertawa. Mulanya tawa perlahan dan tertahan, sampai akhirnya tawanya meledak keras.

“Huahahahaha,” tawa Solikin mulai menjadi-jadi.

     Merasa tak ada yang patut ditertawakan, Sobri pun heran dan memprotes tawa Solikin itu.

         “Kenapa kamu ketawa kayak gitu Sol? Ndak onok sing lucu!gugat Sobri tak bersemangat sambil terus menatap gelas berisi teh yang dia aduk sedari tadi.

          Solikin butuh beberapa saat untuk menjawab pertanyan Sobri tersebut. Setelah tawanya berhasil dia rem, dia mulai menjawab, “Aku ketawa karena kamu ini Bri, namamu itu kan Sobri, artinya sabar. Lha kok masih bisa murung kayak gitu, kan lucu!”

             Kowe itu berarti sudah menghianati doa orang tuamu loh Bri, lha orang tuamu pengen kamu jadi orang sabar tapi kowe malah seperti ini,” Solikin mulai memprovokasi.

             Kowe apa ndak malu, ndak sungkan sama orang tuamu?” Imbuh Solikin sembari tangannya mulai mengambil tahu goreng yang masih mengepul asapnya.

          Solikin tahu betul bahwa Sobri adalah tipikal pemikir dan perasa, sehingga perkataan apa saja yang mampir di telinganya, walaupun itu kata-kata ngawur dari seorang Solikin, akan mampu mengendap di hati dan perasaannya. Apalagi kali ini ia dengan sengaja membawa-bawa orang tua Sobri.

Dan benar saja, entah gemuruh apa yang dihasilkan dari perkataan tadi, Sobri mulai membuka diri.
              “Aku lagi mikir tentang lik Samin, Sol,” desah Sobri datar.

        Sobri meneruskan ucapanya, “Kemarin saat aku istirahat selepas dines di sawah, aku mendengar lik Samin berbicara panjang lebar tentang politik ke lik Sam. Kamu tahu kan kapasitas lik Samin seperti apa? Akses informasi yang dia dapatkan ya pasti cuma omongan dari kanan kirinya.”  

        Solikin yang belum menangkap persis apa yang dimaksud Sobri tidak merespon uraian temannya itu. Dia hanya asyik dengan Tahu goreng dan cabe segar yang ada di depannya. Kini tangannya berpindah ke piring yang lain, ke piring bakwan jagung andalan warung lik Sali.

           “Apa yang dikatakan lik Samin itu persis dengan apa yang dikatakan oleh Sodri semalam sebelumnya saat kami kumpul di pos kampling. Aku ada disana semalam itu, mendengarkan mereka mengobrol serius tentang politik. Aku hanya berpikir sederhana, dari mana dan kemana informasi itu bermuara,” sekali lagi hembusan nafas panjang Sobri terdengar.

       Lha memangnya kenapa, ndak masalah kan? bukannya memang wajar seperti itu?” Jawab Solikin yang telah menghabiskan dua bakwan jagung dan separuh kopi yang ada di depannya.

            “Iya memang begitu, Sol. Tapi aku mikir, siapa yang menciptakan berita itu, kepada siapa tendensi hati dan arah politiknya. Apa intensi dari penciptaan dan penyebarannya, lantas aku juga curiga kalau-kalau berita itu sudah tidak murni, tapi dibungkus dan dimodifikasi dengan bumbu-bumbu yang se-sensasional mungkin. kamu pernah ndak membayangkan, Sol, berapa banyak penyunatan atau penambahan bagian tertentu dari berita itu saat ia menyebar dari satu orang ke yang lain, mampir sana-sini hingga tiba ke Sodri, lantas ke lik Samin lalu ke lik Sam, lik Ipul, Soim, dan ribuan orang lain yang mungkin tidak punya akses mencukupi untuk validasi kebenaran berita tersebut. Ngeri saja membayangkan itu semua menyebar dan mengendap di pikiran orang-orang” Ucap Sobri.

           “Hemm aku mulai paham arah omonganmu, Bri, teruskan!” perintah Solikin sambil tangannya sibuk mengelap jarinya yang belepotan minyak gorengan ke bajunya yang kumal.
        
          “Nah, kata orang-orang di Jemuah legi, itu namanya efek domino, satu kartu ambruk, kartu lain juga ikut-ikut ambruk. Ndak perlu usaha keras, cukup memunculkan satu isu, menyebarkannya dan boomm; semua terkena imbas!” Sobri menelan ludah. Kini dia mulai menyambar teh yang sedari tadi ia telantarkan.

Saat tegukan pertama membasahi kerongkongannya, tiba-tiba Degh! Dadanya terasa seperti dipukul palu godam, dia sekonyong-konyong teringat sesuatu yang kali ini semakin membuat pikirannya kusut. Pikiran Sobri melesat ke sebuah film yang belum lama di tontonnya di depan kantor kabupaten. Kantor kabupaten memang punya agenda rutin memutar film setiap satu bulan sekali. Biasanya pemutaran itu diawali dengan pertunjukan seni budaya lokal, lalu diskusi singkat dan ditutup dengan pemutaran film itu sendiri.

Akhir-akhir ini, ditangan pemuda yang progresif, film yang diputar menjadi lebih bervariasi. Tidak melulu film jadul atau film perjuangan kemerdekaan. Tapi film import pun diputar oleh panitia yang kebanyakan masih berusia segar tersebut.

-Inception, film yang tiba-tiba menyesaki pikirannya. Prolog dari film itu benar-benar menohok dan menemukan konteksnya dengan kekhawatirannya saat ini. Dia benar-benar masih ingat dengan kalimat pembuka dari film itu karena dia memang mencatat dan menanyakan makna dari kalimat tersebut ke banyak orang disana; What is the most resilient parasite? An Idea. Resilient. Highly contagious. Once an idea has taken hold of the brain, it’s almost impossible to eradicate. An idea that is fully formed, fully understood, that stick right in here somewhere.”

Jangan kaget dengan pengetahuan Sobri tentang film, Bahasa Asing atau kemampuanya berdialektika dengan hidup. Dia boleh jadi hanya seorang buruh tani. Namun antusiasme dan kegemaranya masuk menyelinap ke “kumpulan orang-orang cerdas” telah membuka pikirannya. Dia sering terlihat di “forum-forum” kajian hidup di pelataran angkringan kecamatan. Kadang dia harus ke kabupaten juga untuk mengikuti forum serupa. Pelataran angkringan ini juga merupakan wadah bersosialisasi dan bertukar pikiran bagi semua kalangan. Semua bebas masuk dan bergabung dengan forum informal ini. Mereka hanya perlu energy ekstra untuk duduk khidmat, dan melawan kantuk, karena memang forum ini dimulai larut malam dan selesai menjelang subuh.  Mereka, para pembicara di forum itu ibarat petani yang menebarkan pupuk di sawah. Mereka menebarkan pemahaman baru kepada siapa saja secara cuma-cuma, tanpa perlu mengenal satu persatu, tanpa mempertimbangkan latar belakang apalagi kondisi ekonominya. Semua saja, asal hati mereka bersih dan betah melek, mendapatkan jatah yang sama dalam menyesapi kaweruh yang bertebaran di atmosfir pelataran angkringan tersebut.

Diantara forum kajian informal itu, Sobri punya hari dan forum favorit, Jemuah legi, dimana para pemikir dari kota-kota yang jauh berdatangan dan berdiskui macam-macam hal. Disana, di forum Jemuah legi itu dia lebih banyak mendengarkan, mencatat dan bertanya ke kiri-kanannya tentang hal yang kurang dia pahami. Beruntung memorinya yang seperti spons sangat bisa diandalkan untuk menyerap semua informasi yang dia dapatkan. Dan disana pulalah, pikiran dan pemahamannya tentang luasnya hidup, berkembang bak parasut.

            “Loh Bri, kenapa diam?” Solikin menyikut lengan kawannya itu.

Kembali Sobri tersadar dari lamunan singkatnya. Dia melemparkan padangannya ke Solikin, lalu lik Sali sebelum akhirnya bersiap melanjutkian kembali penjelasannya.

            “Sol, tempo hari di acara forum jemuah legi, ada satu hal yang mengganggu pikiranku. Salah satu pemateri mengungkapkan sesuatu yang membuatku takjub dan galau secara bersamaan.”

             “Penjelasan apa itu yang membuatmu galau, Bri? Ceritakan padaku!” Pinta Solikin antusias.
                
            Sobri menarik nafas dalam lalu memejamkan mata. Dia tahu bahwa bercerita ke Solikin akan menguras pikiran, karena dia harus menyederhanakan bahasanya hingga ke level paling sederhana agar menjadi informasi yang siap santap. Namun dia tidak punya pilihan lain selain menumpahkan kemelut hatinya ke Solikin karena hanya sahabat kecilnya inilah yang mau mendengarkan dia dengan sungguh-sungguh.

         “Begini Sol, kata pembicara itu, di Jepang, aku lupa tahunnya, ada seorang professor yang berhasil menyingkap salah satu misteri alam ini. Penelitiannya tentang air tersebut telah memberikan justifikasi akan banyakanya model pengobatan tradisional yang tersebar di masyarakat timur, yang kebanyakan pakai medium air,” dia mengambil jeda, dan menatap Solikin. Solikin serius mendengarkan.

           “Professor tersebut, Prof. Emoto namanya, dengan tekun telah melakukan penelitian terhadap beberapa sumber air di dunia ini. Dengan air itu pula dia melakukan treatment paradox yang akhirnya mampu memberikan jawaban atas pencariannya.”

“Pencarian apa, Bri?” Potong Solikin penasaran.

Sobri agak berlama-lama menjawab pertanyaan sahabatnya itu. Dia selalu menikmati momen-momen ini. Momen dimana Solikin tidak sabar meminta penjelasan darinya.

“Bahwa air yang diberi ‘bisikan’ positif ternyata merespon dengan membentuk ikatan Kristal yang luar biasa indah. Sedangkan sebaliknya, air yang diberi ‘bisikan’ negative merespon dengan cara ogah-ogahan membentuk Kristal air yang sama. Bahkan potret air dengan bisikan negative tersebut cenderung rusak dan pecah!”

“Bisikan yang aku maksud disini tidak terbatas pada ucapan saja loh, Sol, bisa juga music.”

“Lebih jauh lagi,” lanjut Sobri, “sebenarnya, hasil penelitian ini dapat ditarik dan diaplikasikan dalam wilayah yang lebih luas. Misalnya bila diasosiasikan dengan manusia. Kamu tahu kan, Sol, kalau lebih dari 50% tubuh manusia itu terdiri dari air. Rincianya 80% ketika kita masih bayi, 70% saat kita beranjak dewasa, dan 50% ketika kita masuk usia senja. Dan uniknya lagi, bagian vital yang ada di dalam tubuh kita tidak luput dari air! Otak, Paru-Paru, Jantung , Darah, bahkan Tulang tak luput dari susunan air. Apa ndak ngeri?”

Lah, ngeri kenapa, Bri?” Solikin mulai kewalahan mengikuti penjelasan sahabatnya itu.

“Ya ngeri dong Sol, bayangkan kalau 70 % dari tubuh kita, yang terdiri dari air itu terpapar bisikan negative misalkan, pastinya akan merusak potensi Kristal air yang ada,kan? 70% air tersebut rusak tidak berbentuk. Dan ingat semua hal negative tersebut terekam dalam setiap sel yang ada di tubuh kita. Ini teori asal asalanku sendiri sih, Sol. Sekarang coba kamu bayangkan penelitian Pak Emoto tadi. Dia harus ‘membisikkan’ kata-kata baik positive atau sebaliknya langsung ke air yang ingin diujinya. Kenapa? Ya karena yang dia hadapi adalah air murni seperti itu.”

“Terus bayangkan saja kalau kasus air murni tadi, diganti manusia, yang kata Gusti Allah diciptakan dalam sebaik-baiknya bentuk, Ihsanutakwim! Kita dilengkapi instrument yang amat sangat komplit. Kita diberi lima indra, yang kata salah satu pembicara dalam forum jemuah legi disebut sebagai Pangrungu, pangroso, panggodo, paningal, dan pangucap. Sehingga posibilitas cara untuk dapat merubah ‘Air’ yang ada di dalam tubuh kita menjadi ikatan-ikatan kirstal menjadi jauh lebih banyak dan luas. Pun sebaliknya, kemungkinan untuk dapat meremukkan ikatan kristal air tersebut juga semakin terbuka. Tidak hanya melalui bisikan, tapi juga melalui keseluruhan potensi indra yang kita miliki tersebut. Mulai dari penglihatan, pendengaran, sentuhan, indra pengecap atau penciuman!”

“Dalam kehidupan sosial, bebrayan, seperti saat ini, yang kebanyakan terwakilkan dengan gadget, akan sangat berbahaya tentunya apabila kita terpapar dengan konsumsi yang tidak sehat. Dari musik yang kita dengar, gambar yang kita lihat, atau berita yang kita baca. Semua pasti mempengaruhi ‘kristal air dalam tubuh’ kita itu.”

“Dan kamu bayangkan apabila informasi yang serupa yang banyak negativenya itulah yang berterbangan di atmosfer pikiran kita, di medsos medsos kita, di media dan dari ucapan kita, di Bawono Ageng dan Bawono Alit cakrawala kita. Tentu saja hal tersebut sangat berbahaya, bukan? Sebagaimana lik Samin yang aku ceritakan tadi. Dan ketika itu sudah menempel diingatan atau sel tubuh mereka, dia akan tumbuh, bertunas dan berakar menjadi sebuah ide, yang kemudian diyakini kebenarannya, lalu kemudian dibekukan kedinamisannya dan menjadi patokan personal, bahkan sosial. Menjadi sangat-sangat sulit diberantas!”

 Ingin sekali Sobri menjelaskan secara langsung keterkaitan eloborasinya dengan kutipan film yang sempat terlintas dalam fikiranya tadi. Dia sejenak menimbang, dan menatap kawannya yang matanya masih berbinar mendengar runtutan cerita dari kawannya tersebut. Sobripun akhirnya melanjutkan.

“Kamu tahu, senjata apa yang paling berbahaya di dunia ini, Sol?” Tanya Sobri.

“Nuklir? Atau yang katamu Antimateri itu? Atau cinta? Ndak paham aku, Bri,” jawab Solikin acak. 

“Ide itu sendiri, Sol”

“Maksudmu?”

“Apa yang membuat orang mau berperang, mengorbankan harta benda dan bahkan nyawanya sendiri?” Sobri kembali bertanya.

 “Apa yang membuat perang dunia I dan II begitu menggelora dan menjadi contoh perang ter akbar dalam sejarah kehidupan manusia?” Sobri berucap dengan penuh semangat, hingga urat di lehernya terlihat mengintip keluar.

              “Ide?” solikin menerka.

              “Tepat sekali, ide!”

“Sebuah ide itu ibarat parasit yang sangat bandel dan mudah tersebar lewat media apa saja. Dia ibarat virus yang sangat mudah menempel dan merasuk di otak manusia. Mempengaruhi sistem kerja otak, masuk dan menyelinap ke aliran darah, lalu melekat ke sel-sel tubuh inangnya. Ide tersebut berubah menjadi semacam gorden, kadang juga kompas! Dia seperti gorden karena dia menutup mata sang inang dari kemungkinan menerima ide yang lain. Dan di sisi lain, dia menjadi kompas yang menunjukkan satu arah saja yang ‘paling benar’ bagi sang inang!”

“Sekali dia melekat, dia akan merubah semuanya!” Cerocos Sobri berapi-api.

“Yang terjadi di perang yang kita pelajari di sekolah dulu, perang melawan Fasis, perang dingin, dan yang lainnya sejatinya adalah peperangan melawan ide! Ketika ide tidak bisa dihentikan, manusianya yang harus di hentikan! Kamu tentu saja masih ingat tragedi yang sempat mencengkeram negara ini bukan? Saat ide komunis sempat hampir menjalar menutupi sendi kehidupan bangsa ini? Aku tidak mengklaim bahwa kemungkinan perang tersebut di pengaruhi oleh factor ekonomi dan materil yang lain, tertutup. Tapi idelah yang mengcover semua sebab-musabab kejadian yang meninggalkan luka menganga itu!”

“Sol, kamu tahu satu rentetan kata yang seolah memuntahkan kekhawatiran di kepalaku dua hari terakhir ini?” Sobri membuat jeda. Dia memerapikan rambutnya kebelakang dengan jemarinya.

“Kata salah satu pembicara di jemuah legi, ide itu awal dari terciptanya peradaban. Semua berawal dari ide, dari pikiran, kemudian berubah menjadi keyakinan, lalu ucapan, lantas tindakan, kebiasaan, kebudayaan dan mengeras menjadi gumpalan peradaban!”

“Jadi kalau kamu mau menciptakan peradaban baru, yang kamu perlu ciptakan adalah ide-ide yang baru. Kamu gempur pemahaman lama, dan perlahan tapi pasti peradaban baru sedang terbentuk!”

Kowe bisa bayangkan kan sekarang, korelasi dari kekawatiranku, sama lik Samin yang tadi aku kisahkan, sama ide dan pera……..” Sobri tidak sempat menuntaskan kalimatnya. Ia menatap sahabatnya, Solikin, dan mendapati temannya itu sedang larut dalam pikirannya sendiri. Dia terlihat memikirkan sesuatu sehingga raut mukanya menggambarkan kegelisahan.

Kowe nyapo, Sol?” Sobri balik bertanya.

Solikin merenung sesaat sebelum akhirnya mengeluarkan kegundahannya.

“Saat kamu menjelaskan tentang air dan Kristal yang terbentuk tadi, tiba-tiba pikiranku melayang ke embun, Bri,” ucap Solikin dengan nada khawatir.

“Embun? Maksudmu?” Sobri mengkerutkan dahi. Kali ini dia yang dibuat penasaran oleh Solikin. Dia meneguk teh nya hingga tuntas, dan memesan satu cangkir kopi karena dia merasa bahwa obrolan ini akan menguras waktu.

“Kamu dari tadi mengelaborasi dan menumpahkan isi kepalamu dengan sangat baik. Aku yang sebelumnya ketawa karena mendapati mukamu yang tertekuk, yang tidak cocok dengan nama yang kamu gendong, menjadi ikut sedikit merasakan apa yang kamu rasa.”

“Kamu bisa mengaitkan air, dengan bisikan luar yang pada ujungnya menciptakan Kristal air. Kamu juga mencoba berhipotesa dengan menggunakan manusia, dan itu masuk akal menurutku. Nah penjelasanmu tadi berhasil menghidupkan tombol penasaran di pikiranku,” ujar Solikin pelan.

“Kamu tahu embun kan, Bri? Dia terbuat dari apa?”

“Air!” jawab Sobri cepat.

“Nah betul, dia adalah air. Ini berarti bahwa, diluar manusia yang kita bahas sedari tadi, ada air juga di semesta ini. Di udara yang kita hirup, di embun, di atmosfer kita, di dalam perut bumi kita, di tumbuhan-tumbuhan, dalam hewan dalam apa saja yang ada di planet ini, aku rasa terkandung air. Entah seberapapun kadarnya!”

“Ini masih terkaanku pribadi, Sol. Tapi bagaimana semisal saat kita membisikkan sesuatu, baik itu keras maupun tidak, dengan intensi tertentu maupun asal ceplos, sebenarnya tidak hanya air dalam tubuh kita yang bereaksi tapi juga semua potensi yang ada di semesta ini?” ucap Solikin pelan dengan penekanan yang menusuk di ujung kalimatnya.

Bulu kuduk Sobri berdiri mendengar ucapan kawannya ini, dia teringat sesuatu.

“Bagaimana apabila semesta ternyata merekam dan mencatat apa saja yang kita perbuat? Bagaimana apabila kristal-kristal air yang membungkus dunia kita selama ini juga bereaksi berbanding lurus dengan tingkah polah kita? Bagaimana bila semesta pada hakekatnya bergetar dan merespons semua yang ada?”

Sobri mengambil satu lagi gorengan. Kali ini rondho royal – tape goreng. Dia tidak segera menyantap jajanan penuh karbohidrat tersebut. Dia menatapnya dan berkata lirih.

“Bagaimana, Bri, semisal dengan mekanisme yang aku pungut dengan serampangan tadi, kita ini sebenarnya ‘diawasi’ semesta? Dan, bagaimana pula suatu saat, entah kapan, akumulasi catatan semesta itu kembali kepada kita lagi?” bisik Solikin disertai tatapan tajam ke arah Sobri.

Solikin berhenti berbicara, kemudian melahap rondho royalnya. Mulutnya sibuk mengunyah namun pikirannya melayang-layang ke sudut-sudut yang asing. Dia menerka-nerka berbagai kemungkinan sekarang. Begitu pula Sobri. Dengan cangkir kopi di tangannya, kini pikirannya diselimuti oleh berbagai letupan. 

Senyap.

---------------------

Keduanya diam dalam waktu yang cukup lama, menari dalam pikiran masing-masing, hingga lik Sali, sang pemilik warung berkata lirih,

“ini kalian ngutang lagi, kan?”    









Comments

Popular Posts