Gajah
Bayangkan lima
orang anak, yang sama-sama belum pernah melihat, menyentuh, atau mendengar
tentang gajah sebelumnya, disekap mata mereka dan diarahkan tangan mereka untuk
meraba bagian tertentu dari seekor gajah. Anak A memegang belalai, B mendapat
jatah gading, C kebagian telinga, D ekor, dan E bagian perut gajah.
Setelah selesai,
masing-masing dari mereka kemudian didudukkan dalam satu meja, dan dilepaskan
kain yang menyekap mata mereka. Selanjutnya mereka dipersilahkan menjelaskan
tentang gajah sesuai dengan pengalaman empiris mereka, berdasarkan jatah yang
baru saja mereka dapatkan. Akankah mereka mengungkapkan hal yang sama?
Tentu saja
tidak.
Bagi si A, gajah
mungkin adalah makhluk panjang yang berdiameter tertentu, dengan kulit kasar
namun agak lembek. Sedangkan untuk si B, yang kebetulan mendapatkan jatah
gading, gajah merupakan hewan dingin, keras dan berujung agak lancip. Begitu pula dengan C, D, dan E. Mereka memiliki padangan mereka
sendiri tentang rupa gajah sesuai dengan pemahaman mereka saat itu.
Nah sekarang
pertanyaannya adalah; mana yang benar? atau juga mana yang salah?
Tentu saja,
dengan latar belakang cerita sedemikian rupa, kita tidak akan tega mengatakan
bahwa salah satu dari merekalah yang paling benar, atau salah. Mereka tentu
saja benar dengan kadar dan kesadaran mereka masing-masing, karena memang
mereka sebatas mengungkapkan apa yang mereka ketahui dan alami. Yang kurang tepat adalah saat
masing-masing dari mereka ngotot bahwa gajah versi merekalah yang paling benar.
Lantas dengan keyakinan tersebut, mereka memaksakan pemahaman mereka kepada
orang lain yang mempunyai pendapat berbeda.
Gajah
dan bocah diatas adalah analogi sederhana untuk menggambarkan akar permasalahan
yang mungkin saat ini sering kita alami. Terkadang kita terlalu asyik
bertengkar untuk sesuatu yang sebenarnya kasusnya mirip dengan kasus gajah
diatas. Kita ngeyel dan bersikeras
menganggap bahwa kebenaran versi kita jauh lebih benar daripada versi orang lain.
Dan itu berujung pada konflik dan ketidak nyamanan.
Padahal,
apabila kita mau melihat lebih luas, kita pasti tahu bahwa kebenaran itu sangat luas dan relative. Tergantung konteks dan waktu. Tergantung sudut pandang dan cara kita
menempuh kebenaran tersebut. Maka dari itu, sudah cukuplah kita menjadi bocah
yang suka memaksakan kebenaran kita sendiri. Biarkan mereka, siapa saja,
berpegangan dengan kebenaran versi mereka. Sebagaimana kita berpegangan erat
terhadap kebenaran versi kita sendiri.
Masya Allah , ustad Luqman Hakim. Pantas jadi generasi emas Muhammadiyah
ReplyDelete