Puncak Wilis (Catatan Wilis 5)

Sebagaimana namanya, Watu Godek ini merupakan pos yang ditandai dengan sebongkah batu raksasa yang bersimpuh di sisi jalan. Dari warna, bentuk, serta lumut-lumut yang menyelimutinya, usia batuan ini tentu tidak muda. Saya yang mengira bahwa jalan menuju puncak berada di balik Watu Godek ini langung merayap ke atas untuk mencari jalan di baliknya. Alih-alih jalan yang saya temukan, pemandangan yang menyesakkan malah terpampang di hadapan saya. Beragam coretan berhasil menutup hampir sekujur batu besar tersebut. Berbagai nama dan kata bertebaran di batu tua itu.

di Rammang-rammang

Walupun merasa miris, entah bagimana saya merasa geli sendiri. Hal ini karena pikiran saya sekonyong-konyong terbang pada dinding-dinding goa di Marros, Pangkep, Sulawesi Selatan. Di sana terdapat lukisan-lukisan purba atau biasa disebut art rock dalam dunia arkeologi. 

Bersama bapack debbay

Sayangnya, saya belum sempat mengunjungi goa bersejarah ini saat berkunjung ke Sulawesi Selatan setahun yang lalu. Saya dan teman-teman dari UNHAS memang mengunjungi Marros, namun saat itu destinasi kami adalah Rammang-Rammang yang tak kalah cantiknya.

Jalan menuju Rammang-rammang

Di sana, Marros, terdapat lukisan-lukisan purba atau rock art yang beraneka ragam, mulai dari cap tangan, hingga gambar perburuan. Entah bagaimana pikiran saya berseloroh dan menebak-nebak bahwa bakat vandalisme ternyata memang sudah diturunkan dari jaman purba, hehe. Bedanya, kalau mungkin dulu rock art digunakan untuk kepentingan religious atau kepentingan yang lebih serius lainnya, saat ini, vandalisme semacam yang saya temui di watu godek ini sebatas manifestasi dari dorongan eksistensialisme yang menggebu-gebu saja. Oh iya, saya sebenarnya juga cukup penasaran dengan keberadaan batu besar ini mengingat di sepanjang jalan yang kami lalui, tidak ada batuan-batuan semacam ini. Hal ini berbeda dengan Arjuno, misalnya, yang sepanjang jalan, dari awal hingga puncaknya seolah ditaburi dengan bebatuan berbagai ukuran.  

Jalan ke Goa Berlian Rammang-rammang

_______

Setelah beberapa jepretan, kami akhirnya melanjutkan perjalanan. Dari Watu Godek, jalanan relatif sama. Jurang di kanan-kiri siap menangkap kami yang tidak konsentrasi. Tumbuhan juga semakin padat. Reranting dan dedaunan seolah bahu-membahu menghalau sinar matahari menerobos lantai hutan. Semakin jauh berjalan, semakin menanjak perjalanan. Track landai atau biasa kami sebut bonus, jarang sekali kami temukan. Hanya ada jalan setapak sempit yang terus meninggi. Kira-kira sore hari, kabut mulai turun. Suasana hutan yang sudah gelap karena pepohonan kini bertambah suram. Kami harus berhati-hati karena selain lantai hutan yang licin, kondisi yang gelap, serta binatang liar bisa jadi ancaman tersendiri di perjalanan ini.

Kabut Wilis

Menjelang magrib, formasi sudah tidak beraturan lagi. Saya yang memanggul tas berisi tenda dan beberapa botol air, mulai terengah-engah. Setiap beberapa langkah, saya harus berhenti sejenak untuk mengatur nafas. Hal ini persis saat saya mendaki Semeru beberapa tahun yang lalu. Saat itu, di tengah udara dingin yang membuat gigi gemeratakan, saya harus berjalan untuk menghindari kantuk yang luar biasa. Rasa lelah membawa istirahat sedikit saja ke alam mimpi. Hal ini tentu saja berbahaya, sebab udara yang menusuk kulit berpotensi mengundang hipotermia.

Tenda kami

Vakum mendaki beberapa lama nyatanya membuat fisik jauh menurun. Belum lama berjalan, kaki mulai pegal linu, paha menjadi tegang, dan jantung seperti dipompa sewenang-wenang. Keringat pun bercucuran deras. Beban di tas ini benar-benar menguras nasi bungus lauk bekicot tadi. Rasanya gunung yang tidak terlampau tinggi ini benar-benar gengsi untuk saya daki. Dulu saya menganggap bahwa ke-sangar-an sebuah gunung ditentukan oleh ketinggiannya. Bahwa semakin tinggi gunung, semakin besar pula tantangannya. Namun semakin kesini, saya semakin menyadari bahwa hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Terkadang, gunung-gunung dibawah 3.000 MDPL juga tidak kalah membuat ngos-ngosannya. Terlebih, kerena tidak begitu populer terkadang jalur pendakian gunung jenis ini juga jauh lebih alami dan menantang! Seperti gunung Wilis ini.

Punggungan Wilis

Ngomong-ngomong, saya mempunyai trik jitu, untuk mengatasi rasa payah. Biasanya, saat kaki mulai protes dan menuntut beristirahat, atau saya mulai ragu untuk melanjutkan perjalanan. Saya mengumpat pada diri sendiri. “Anjir, masa gini aja ga kuat?!”, “jangan berhenti! Malu-maluin aja.” Atau yang paling ampuh, “Ayo, semeru aja bisa, kok, masa ini ga bisa!” Biasanya, setelah kata-kata tersebut saya lotarkan, semangat saya kembali meninggi. Energi seolah mulai mengalir ke urat-urat kaki saya. Jantung semakain terasa terpacu, adrenalin juga tambah membuncah. Selanjutnya, akumulasi dari hal tersebut, mulut jadi merancu tak jelas, lantas nafas tiba-tiba memburu dan membuat mata merem-melek. Mendesah………..  *Eh, lha kok gini yak?

Namun tetap saja, faktor “U” tidak bisa dibohongi. Fisik yang jarang digunakan untuk berolahraga mulai berteriak meminta jeda. Apa daya, akhirnya berjalanan malam ini pun menjadi lebih lambat. Rasa capek ternyata tidak hanya mendera saya. Syahrul yang berbadan gempal, ternyata juga sudah pucat sedari tadi. Tas yang dia gendong bahkan dia titipkan ke Sayit karena tidak kuat. Ia juga sering meminta break di sepanjang jalan.

Ayik dan Syahrul

Perjalanan malam mendaki ini cukup melelahkan. Kelenjar keringat seolah tak habis-habisnya diperas. Selain itu, karena tiada seorang pun dari kami yang pernah mendaki gunung ini, perjalanan ini juga seolah tidak ada ujungnya. 2.563 MDPL yang penuh pertanyaan. Sering kali kami berhenti di tengah perjalanan. Headlamp, senter, dan Hp menjadi senjata untuk mengoyak pekat malam. Suara binatang asing yang berlomba dengan degub jantung kami tak berhenti barang sedetik pun.

Semakin ke atas, jalanan makin ditutupi oleh semak-semak berduri. Semak ini menjulang tinggi menutupi pandangan kami. Semak-semak ini tentu saja membuat kami was-was. Selain itu, bagi saya, pikiran liar akibat menonoton film horor juga mulai berkecambah. “bagaimana bila ada babi ngepet di sela semak itu?”, “bagaimana kalau tiba-tiba ada (trio) macan menerkam dari balik pepohonan?”, “Bagaimana kalau ada keong racun atau penyanyi dangdut lainnya?” pertanyaan ini mungkin juga sedang menyelimuti anggota yang lain, yang semakin bungkam.

Singkat cerita, kami tiba di perbatasan. Hal ini ditandai dengan vegetasi yang berubah. Pepohonan besar telah terlewati dan kini jalan didominasi dengan semak-semak (lagi). Kami yang berencana untuk mendirikan tenda di sekitar puncak, mau tak mau harus menebas semak tersebut untuk mencari jalan. Tulisan puncak sudah terlihat, tapi jalan menuju kesana tidak tampak. Gelap malam dan belukar seperti berkonspirasi melumat jalanan. Tidak ada pilihan lain. Tembus! Giliran saya memimpin jalan. Dengan parang di tangan, saya tebas semak yang tingginya lebih dari saya untuk membuat jalan. Udara yang dingin, dan embun yang menempel pada dedaunan semak, membuat basah tubuh saya. Semakin lama berjalan, perasaan was-was semakin lebat. “bagaimana bila ada muda-mudi menyeruak dibalik semak-semak?” ah bangsat! pikiran apa ini!? Hanya ada semak dan semak dan semak. Mungkin tidak bijak untuk terus maju ditengah ketidak tahuan ini. Setelah berembuk sebentar, kami akhirnya balik badan, dan memutuskan untuk mendirikan tenda di luar area semak-semak yang lebatnya melebihi kumis Adam Suseno.

Setelah beberapa saat, tenda pun berdiri. Udara malam yang menggigit membuat kami menggigil. kami langsung masuk ke tenda, dan bersembunyi dalam sleeping bag yang sudah kami persiapkan. Hafidz, Danis, dan Faisal bertugas memasak Mie dan Kopi. Sementara saya dan sayit bercerita soal kenangan kuliah dulu. Bercakap tentang teman-teman kontrakan, dan hal konyol yang sangat menyegarkan. Waktu seolah berputar. Masa-masa kuliah dulu terpampang. Saya mengenang wajah-wajah yang telah lama tak terlihat. Lalu bertanya-tanya, sedang apa mereka sekarang, ya? Dan diikuti lirih, “semoga apapun yang sedang mereka kerjakan, selalu diberikan kelancaran.”

Waktu larut dan saya hanyut dalam percakapan, hingga Hafidz berteriak. “Ayolo, wayah e wayah e”. Makan malam telah siap. Segera kami menyantap mie instan dengan irisan sosis tersebut. Ditengah kepungan angin wilis yang sangat dingin, rasa mie instant ini menjadi jauuuuuuuh lebih nikmat. Sembari menikmati mie, kami berkelarar soal ini-itu. Bercanda hingga piring dan gelas kami bersih. Semua nyaman hingga kami menyadari satu hal; bahwa tenda ini berkapasitas lebih kecil dari jumlah kami. Hadeh. Tenda yang dibawa Syahrul hanya berkapasitas empat, padahal jumlah kami ada delapan! Jadilah kami tidur berdesak-desakan, dengan posisi badan yang serba menekuk dan tidak nyaman. Ya sudahlah. Suara angin diluar tenda semakin nyaring. Udara gunung memaksa masuk dari sela-sela tenda. Rasa dingin terasa seperti jarum yang ditusuk-tusukkan pada kulit. Posisi yang serba menekuk menambah derita malam ini. Namun rasa payah yang mendera tubuh, serta obrolan tentang hal-hal acak tentang masa lalu berhasil mengantarkan saya ke alam mimpi juga.

____

                Saya dibangunkan oleh rasa dingin yang membuat selangkangan kesemutan. Mau tidak mau, ditengah dingin yang menjadi-jadi, saya keluar tenda untuk membuang air yang berlebihan ini. Saat saya membuka tenda, barulah saya sadari bahwa lokasi tenda yang kami pilih tepat menghadap punggungan Wilis yang lain. Elok sekali. Gunung yang masih perawan, ditutupi oleh rimbunnya pohon selalu bisa membuat saya tersenyum. Saat itu mentari masih malu-malu untuk muncul namun langit sudah dicoreti semburat jingga yang aduhai. Di sisi tenda lainnya, di jalan menuju arah ke puncak yang semalam kami coba terobos, semak menjulang. Pagi hari pun, jalanan puncak masih tak nampak. Selesai buang air, saya bermaksud kembali ke tenda untuk menuntaskan kantuk yang masih melekat. Posisi tenda yang kurang strategis memang tidak memungkinkan saya untuk melihat sunrise. Satu-satunya pemandangan hanyalah punggungan gunung yang menjadi background pipis pagi ini.

Habis pipis

                Namun, saat hendak masuk tenda, semak-semak tadi mulai bergerak-gerak. Saya yang penasaran berhenti untuk mengamati. Tidak ada angin, tapi semak tersebut semakin keras gerakannya. Saya makin waspada. Tanpa saya sadari, teflon telah saya genggam erat. Berjaga-jaga untuk segala kemungkinan. Babi Hutan? Macan kumbang? Pemuda-pemudi? Trio macan? Atau apa? Pikiranku semakin liar menebak. Semak tersebut bergerak menuju ke arah saya. Semaki mendekat, semakin saya membuat deg-degan. Saat teflon sudah siap saya lempar. Semak tersebut membelah dan memunculkan wajah Sayit yang sayu. Ah, hampir saja teflon melayang. Ternyata Sayit sudah lebih dulu survey lokasi. Dia mengatakan bahwa memang jalur puncak harus menerobos semak ini.

Menembus semak

                Saya tidak jadi tidur. Bersama Sayit, saya kembali menelusuri lebatnya semak. Memang semak ini sangat tinggi. Semakin masuk ke dalam, semakin tinggi semak tersebut. Tak jarang, semak itu juga mengandung duri. Hal ini membuat saya berpikir bahwa keputusan untuk berhenti semalam adalah keputusan yang cukup baik. Udara yang masih dingin, kontur tanah yang naik turun, membuat nafas saya semakin berkejaran. Saya ambil break sejenak untuk foto-foto, sembari mengambil nafas. Pemandangan yang selangka ini tidak boleh tidak diabadikan. Pepohonan tua yang kehilangan dedaunan, rumput hijau yang diselimuti kabut, udara dingin yang tak mau pergi serta secerca sinar matahari yang mulai merayap menjadikan pagi ini begitu sedap. Saya bagaikan berada di tengah negeri dongeng yang serba indah dan misterius.

Sedikit lagi puncak

                “Itu lo, Man, kelihatan, ndak?” Sayit memekik. Seketika itu pula saya mendongakkan kepala. Bendera Merah Putih terlihat di kejauhan. Puncak sudah tinggal sejengkal. Semangat untuk mencapai puncak memacu kaki saya untuk semakin giat melangkah. Rasa pegal yang tadi menggelendoti kaki rontok ketika akhirnya tangan bisa memegang bendera merah putih itu. Ahh lega. Akhirnya puncak!

Tugu puncak yang sederhana

                Puncak Wilis mungkin mirip dengan puncak Panderman di Batu Malang. Karena tidak terlalu tinggi, masih ada pohon pinus yang mengepung puncaknya. Puncak ini ditandai dengan tumpukan batu, plang bertuliskan Puncak Wilis, dan Bendera Merah Putih. Beberapa botol minyak wangi juga tercecer di sekitar bebatuan puncak, bekas ritual. Saya mengedarkan pandangan ke sekitar, punggungan Wilis yang lain tampak berjajar memamerkan kemolekannya. Awan putih bak permen kapas mulai berarakan menutupi sela punggungan. Matahari yang mulai menggeliat mengusir dingin yang sejak semalam menyiksa kami. Setelah beberapa foto, kami kembali ke tenda untuk membangunkan teman-teman kami, dan sekali lagi bersama-sama menuju puncak.

akhirnya tiba

____

Sekitar pukul empat sore, kami tiba di sungai dekat rumah Pak Pri. Sepanjang perjalanan pulang, hujan mengguyur kami, dan di sungai itulah kami membersihkan diri. Saat tiba di rumah Pak Pri, kami bergegas membereskan peralatan mendaki. Memisahkan mana saja yang barang sewaan dan yang bukan. Langit yang makin gelap memaksa kami untuk tidak berlama-lama tinggal di sana dan mengobrol dengan sosok ramah tersebut. 

crew

Setelah mengucapkan banyak terima kasih, kami segera meninggalkan lokasi. Di atas motor yang membelah jalan cor sendang, saya tersenyum mengingat perjalanan yang baru saja saya selesaikan. Sosok Pak Pri dan keluarganya yang bersahaja, serta kecantikan Wilis yang tak pernah habis, memperkuat alasan saya untuk tidak pernah lelah berkeliling, naik-turun menjelajahi negeri permai ini.

 

 

 

 

 

 

Comments

Post a Comment

Popular Posts