Three Minutes Thesis Competition 2021
“Klunting”,
Tiba-tiba group WA Magister Ilmu Susastra 2019
yang relative sepi itu berbunyi. Setelah saya cek, ternyata ibu kaprodi
membagikan selebaran lomba yang, terus terang saja, saya baru dengar saat itu
juga. Lomba tersebut diselenggarakan oleh The School of Strategic and Global Studies (SKSG) UI dan berjudul Three Minutes Thesis Competition. Dari informasi yang tertera dari
brosur, saya menangkap bahwa lomba tersebut merupakan sebuah wadah untuk menyampaikan
ide atau temuan dari penelitian tesis maupun disertasi mahasiswa dalam waktu
tiga menit.
![]() |
Poster TMTC |
Nah, kalau dipikir-pikir, tentu saja hal tersebut
bukan perkara mudah. Tesis yang telah mengalami fase tulis-revisi-stress-revisi-rebahan-gamoodngerjain-revisi-turunlapangan-revisi-dan-seterusnya
selama setahun atau lebih tersebut harus disampaikan hanya dalam waktu tiga
menit! Tidak sampai di situ, karena lomba tersebut juga mempunyai tema, maka
mau tidak mau tesis kita harus disesuaikan dengan tema tersebut. Tema ini tentu
saja juga menjadi alat seleksi awal bagi para peserta lomba.
Tantangan lain
yang juga tidak bisa dianggap enteng adalah bahwa lomba ini terbuka untuk umum.
Maksudnya, siapapun yang ingin menonton lomba ini, baik dari kalangan akademik
maupun bukan, dipersilakan. Selain itu, juri yang berasal dari disiplin ilmu
yang beragam membuat para peserta yang berasal dari berbagai mancam latar
belakang keilmuan harus mampu meramu tulisan mereka dan mempresentasikannya
dalam bahasa yang siap dikunyah. Semakin peserta mampu menyampaikan tesis
dengan cara sederhana, semakin baik pula nilai yang didapatkan. Yes, it’s all about story telling.
Oh iya, pada TMTC (Three Minutes Thesis
Competition) kali ini, panitia mengusung tema Strategic and Global Innovative Research Ideas Towards a Breakthrough
in Global Impact for Society and Environment. Tema tersebut tentunya cukup
menantang terutama untuk disiplin ilmu humaniora, seperti saya ini. “Mungkin tema-tema ini akan lebih mengena
pada bidang hard science”, pikir saya saat itu. Namun, level kompetisi yang terbuka untuk mahasiswa magister di Universitas
Asia, membuat saya antara iseng dan tertantang akhirnya mengirimkan abstrak
untuk kompetsisi ini. Yah, hitung-hitung penutupan masa studi juga, kan?
Selang beberapa hari, saya cukup terkejut ketika
dihubungi panitia TMTC 2021. Panitia mengabarkan bahwa akan diadakan seleksi
awal dari abstrak yang sudah terpilih. Iya, ternyata abstrak saya termasuk
salah satu abstrak yang terpilih dari 40-an abstrak yang terkumpul. Saat saya
tanyakan tentang seleksi yang akan dilakukan, panitia menjawab bahwa seleksi
via zoom tersebut sekadar interview dalam bahasa Inggris dan berlangsung singkat
saja. “Hanya untuk mengetes kemampuan verbal peserta”, begitu jawaban panitia.
Otomatis, saya tidak mempersiapkan apapun.
![]() |
Flyer dengan wajah peserta |
Nah, saat seleksi tersebut berlangsung, saya cukup
gelagapan karena ternyata kami diminta untuk presentasi tentang tesis dalam
waktu satu sampai tiga menit. Saya yang tidak mempersiapkan diri untuk hal itu
akhirnya hanya mencoba mengorelasikan tema besar dari lomba dan tesis saya
dengan mengatakan bahwa tulisan saya berusaha menganalisa ketimpangan kebijakan
yang diambil pemerintah untuk menyelesaikan persoalan tradisi yang ada di
Tulungagung. Tradisi yang kebetulan menjadi penelitian saya adalah ritual ulur-ulur, sebuah ritual agraris yang telah bertahun-tahun
teruji menjadi penyeimbang antara manusia, alam, dan dunia spiritual.
Sedikit cerita saja, dalam setiap pelaksanaannya ritual ini mampu
menarik banyak penonton dan bisa dikatakan berhasil menjadi salah satu ikon
budaya Tulungagung. Namun di balik itu, ritual yang
berasal dari Desa Sawo
tersebut tengah dirundung bermacam masalah yang sebenarnya membuat posisinya
terancam. Sayangnya, sejauh yang saya dapatkan dari penelitian,
persoalan-persoalan tersebut hanya diterjemahkan oleh pemerintah kabupaten
dengan mengalokasikan dana yang semakin besar dalam setiap perhelatan ritual. Tentu
saja, hal tersebut tidak cukup mampu untuk menjawab tantangan yang lebih bersifat ideologis tersebut.
Namun, yah, itulah yang terjadi saat ini.
By
the way, saya sebenarnya
punya keyakinan bahwa persoalan serupa (persoalan ritual, keberpihakan
pemerintah, serta kebijakan yang kurang tepat) juga sedang dialami oleh daerah
lain. Hal ini terjadi mungkin karena mereka yang duduk di dinas kebudayaan bukanlah
orang-orang yang memang berlatarbelakang kebudayaan, atau punya concern serius terhadap isu kebudayaan.
Okay, balik lagi ke materi. Saya lantas memperlebar studi kasus tersebut dengan melihat konteks
Indonesia. Bila saja di setiap daerah, ritual atau kearifan lokal yang senada
dengan Ulur-ulur dapat dikelola
dengan baik, tentu saja ritual-ritual, atau kearifan lokal tersebut bisa
menjadi jawaban untuk persoalan global yang tengah melilit kita saat ini,
seperti environmental degradation, atau
climate change.
Memang persoalan climate change merupakan persoalan kompleks dan multidimensi. Namun
setidaknya, jawaban akan hal ini sebenarnya, menurut saya, sudah ada didalam
sistem kebudayaan kita yang sangat menghargai alam. Namun sayangnya solusi tersebut masih dipandang sebelah mata, dan
sering kali harus rela dikalahkan oleh kepentingan yang lain.
Singkat cerita, ternyata abstrak saya diterima dan
masuk ke final. Bersama dengan 14 peserta lain dari empat negara, saya
dimasukkan ke dalam group WA finalis TMTC 2021. Saya masih belum merasa ndredeg saat itu karena teman-teman yang
ada di dalam grup tersebut tidak begitu “agresif”. Pun, dalam sesi briefing via zoom maupun sesi yang lain, mereka
termasuk sangat “sopan” alias tidak banyak bertanya-tanya, heheu.
Namun, panitia TMTC ternyata diam-diam menyimpan
kejutan. Mereka ternyata membuat abstract
book dan akan menyebarkannya di saat acara. Selain itu, mereka juga membuat
flayer yang berisi wajah-wajah kami, yang harus kami sirkulasikan ke grup-grup
yang ada untuk menjaring sebanyak mungkin audiens. Tidak sampai di situ,
panitia ternyata juga mengundang supervisor,
kaprodi, dekan fakultas, Rektor UI, hingga Menteri Pendidikan RI untuk hadir
dalam lomba virtual tersebut! damn! The guests and judges
Tentu saja hal tersebut membuat saya langsung ndredeg. Bagi saya ikut lomba itu biasa.
Saya akan lebih menikmati bila lomba tersebut tidak diekspose atau diketahui
orang lain. Tetapi kalau lomba ini disaksikan oleh banyak orang, dan seolah-olah
mewakili prodi atau fakultas, tentu beda ceritanya.
Setelah mengetahui hal tersebut, segera saya
mempersiapkan keperluan lomba agar tidak malu-maluin
diri sendiri dan orang lain. Tapi ternyata, membuat slide dan teks untuk
berbicara selama tiga menit untuk tesis yang lumayan tebal benar-benar bukan
persoalan gampang. Analisa yang dituntut runut dan mendalam pada tesis dipaksa
didangkalkan agar dalam tiga menit penonton dan juri mampu menangkap inti dari persoalan yang
ingin diangkat.
Beberapa kali saya harus revisi tulisan saya
sendiri untuk sampai pada tiga menit waktu yang diminta. Lomba yang pertama
kali diadakan di Australia, tepatnya di University of Queensland, dan secara
cepat diduplikasi oleh banyak kampus top dunia ini benar-benar cukup menantang.
Namun, kesempatan ini memang sangat diperlukan karena sebagaimana jamak
diketahui, riset yang capek-capek
kita tulis biasanya hanya akan dibaca oleh penulis, penguji, atau beberapa
orang yang kebetulan mencari daftar pustaka.
Kebanyakan hanya mengendap dalam ruangan tugas
akhir yang gloomy dan terkesan
angker. Karena itulah, menyampaikan penelitian dalam waktu tiga menit dengan
bahasa sesederhana mungkin, atau juga menulis dengan lebih simpel di media masa
merupakan wujud dari usaha desiminasi riset yang lebih inklusif dan dapat menyentuh
lebih banyak khalayak.
Beberapa hari kemudaian, perhelatan TMTC akhirnya digelar. Partisipan dengan latar
belakang keilmuan yang beragam mencoba mengubah penelitian njlimet mereka menjadi “sajian siap santap”. Perspektif dan
keilmuan yang beragam membuat kami saling mengisi. Dipandu oleh moderator yang
juga capable serta tim IT yang keren,
TMTC tahun ini banjir pujian dari para juri dari luar negeri yang mengatakan
bahwa penyelenggaraan TMTC 2021 jauh lebih baik dari tahun lalu.
![]() |
Peserta TMTC 2021 |
Singkat cerita, TMTC tahun ini akhirnya
dimenangkan oleh peserta dari Malaysia yang mengangkat isu plastik yang memang
menjadi kecemasan global saat ini. Sementara itu juara dua dimenangkan oleh Mahasiswi UI
dengan mengambil tema no money no worries
yang memperbincangkan persoalan Covid serta kohesi sosial di wilayah
penelitiannya. Selanjutnya, juara
tiga dimenangkan lagi oleh mahasiswi dari Malaysia yang mengusung penelitian
tentang kanker prostat. Terakhir, juara favorit diraih oleh mahasiswi UI.
Meskipun tidak menang, namun saya cukup bersyukur
bisa berpartisipasi dalam kompetisi ini. Diam-diam saya jadi membayangkan bila
saja setiap prodi atau fakultas mengadakan lomba semacam ini, atau mulai
mewajibkan penelitian mereka ditulisakan dalam media masa, saya rasa hasil
penelitian mahasiswa, baik skripsi, tesis, maupun disertasi akan bisa lebih
menggema di masyarakat. Atmosfir akademik yang hidup, serta tuntutan untuk
membahasakan tulisan mereka dengan sederhana tentu akan lebih banyak menyentuh
banyak kalangan, dan pada gilirannya memberikan impact yang lebih besar.
Semoga saja.
P.S. Terima kasih untuk teman-teman yang sempat
mendukung saya pada TMTC 2021 kemarin, kepada pembimbing dan penguji tesis,
terima kasih telah “membentur-benturkan” gagasan hingga tesis ini bisa
terbentuk. Tulisan pertama setelah absen beberapa lama karena tesis.
Comments
Post a Comment