Uluru

Kemarin, secara tidak sengaja, saya menonton salah satu cuplikan video yang cukup menarik. Potongan video tersebut mengkomparasikan dua tempat sakral dari dua budaya yang berbeda.

Awalnya, si pembicara menyebutkan Uluru, sebuah lanskap batu raksasa yang dianggap sakral oleh etnis Pitjantjatjara, kelompok etnis aborigin yang mendiami lokasi di sekitar Uluru tersebut. Di sekitar lokasi yang juga disebut dengan Ayers Rock tersebut, ditemukan banyak sumber mata air, lubang air, goa, hingga lukisan pra-sejarah. Itulah mungkin salah satu alasan mengapa lokasi ini dianggap sakral oleh suku Pitjantjatjara. Selain pemaknaan yang bersifat teologis, fungsi ekologis yang sangat kuat membuat masyarakat local memproteksi lokasi tersebut dengan kearifan mereka sendiri.

Namun demikian, karena memang lokasi ini sangat atraktif dan berpotensi mendatangkan cuan, pemerintah Australia pun akhirnya menetapkannya sebagai destinasi wisata. Tak pelak, hal ini menarik wisatawan untuk berduyun-duyun membanjiri Uluru. Uluru seolah menjadi gula yang dikerumuni semut. Akibatnya, bisa ditebak, lokasi sakral tersebut menjadi tidak keruan. Tidak semua wisatawan mampu dan mau memahami kepercayaan masyarakat lokal.

Masyarakat lokal yang tidak pernah mendaki lokasi tersebut karena asosiasi spiritual yang lekat di sana dan rasa hormat mereka terhadap situs, harus gigit jari. Jarang wisatawan yang datang di lokasi tersebut mempunyai bekal pengertian dan pemahaman yang baik tentang kepercayaan masyarakat lokal. Mereka, para pendatang yang ingin healing, mulai mendaki situs tersebut. Bahkan pada tahun 2010 beberapa wisatawan melakukan aktivitas yang menciderai kepercayaan masyarakat lokal di sana.

Uluru (Sumber: Pixabay)

Mereka melakukan tari striptease, bermain golf, hingga melakukan praktik nudism di atas situs. Barangkali, bagi mereka, para pelancong, kepercayaan terhadap lokasi sakral tersebut tidak terlalu berdampak bagi mereka. Mungkin juga hal tersebut didorong oleh presepsi mereka yang meletakkan kepercayaan lokal dan masyarakat minoritas di level terbawah dari hirarki agama dan kelas sosial. Atau bisa jadi, hal tersebut simply karena ke-goblog-an si turis itu saja dalam memahami sakralitas.  

Nah, untuk memahami koteks sakralitas ini, dalam video tersebut si pembicara lantas membalikkan posisi. Bagaimana misalnya situs-situs yang disakralkan oleh agama mainstream saat ini, seperti Vatikan, Ka’bah, Tembok Ratapan, atau kuil-kuil suci tiba-tiba didaki oleh seseorang dari antah berantah? Seseorang yang tidak punya pengetahuan mendalam tentang sisi histroris, kulural, hingga religi lokasi-lokasi tersebut? Mereka yang hanya datang karena ingin healing saja. Mereka yang mendaki hanya untuk kesenangan.

Bisa dipastikan, bila hal tersebut terjadi, penganut agama atau kelompok yang percaya tentang sakralitas lokasi tersebut akan mencak-mencak, kebakaran jenggot, mendidih darahnya, hingga siap beperang atau membunuh orang yang melakukan hal tak pantas tersebut pada situs yang mereka percayai sebagai tempat sakral itu.

Nah, bagaimana bila diam-diam masyarakat Pitjantjatjara sebenarnya sedang merasakan hal yang sama saat situs sakral mereka diperlakukan demikian? Bagaiman bila darah mereka sebenarnya mendidih, atau hati mereka tersayat saat situs yang penting untuk mereka tersebut diinjak-injak orang yang tidak mereka kenal?

Uluru & Aborigin (Sumber: Pixabay)

Dan, bagaimana bila mereka nyatanya hanya diam saja karena mereka paham bahwa di mata hukum, atau paradigma masyarakat global, mereka hanyalah etnis marginal yang menempati posisi terendah dalam kehidupan dunia modern?

 

Comments

Popular Posts