Bonsai
#jurnal perjalanan 2.
Perjalanan kali ini saya ditemani Endgamenya pak Gita Wirjawan. Endgame merupakan salah satu siniar favorit saya. Bukan tanpa alasan, Endgame menawarkan perbincangan yang mendalam pada topik-topik yang sangat diverse. Pembicara yang diundang dalam acara tersebut juga merupakan orang-orang yang mumpuni di bidangnya, sehingga mendengarkan obrolan tersebut seolah mengkonsumsi daging yang penuh gizi.
Perjalanan Bojong Gede - UPNVJ kali ini, saya mendengarkan obrolan yang cukup menarik, antara pak Gita dan Haryadi Gunawi, sedikit dari orang Indonesia yang menjadi Profesor di US dalam bidang computer science. Secara template, obrolan tersebut dimulai dari cerita latar belakang atau masa kecil tamu dan dilanjut dengan pengalaman serta concern yang dihadapinya.
Di antara panjangnya obrolan mereka berdua, ada satu potongan yang cukup mengena bagi saya. Bagian tersebut adalah saat Haryadi mengutip pernyataan penerima nobel UMKM dari Pakistan. Ia mulai dengan menanyakan tentang mengapa pohon bonsai itu tumbuh kerdil. Jawabannya bukan karena kualitas pohon yang buruk, namun karena ‘pot’ di mana pohon tersebut diletakkan. Haryadi memberikan analogi bahwa bibit terbaik dari hutan manapun akan tetap tumbuh kerdil apabila bibit tersebut diletakkan di pot kecil. ‘Pot’ yang terbatas itu pada gilirannya akan membatasi pertumbuhan tanaman, dan membuatnya tumbuh secara tidak maksimal. Singkatnya, ia akan tumbuh kerdil karena ‘pot’ (lingkungan). Karena ekosistem.
Hal ini juga berlaku untuk manusia. Seorang individu membutuhkan ekosistem yang baik untuk bisa tumbuh optimal. Ekosistem ini cukup beragam, bisa berupa keluarga, sekolah, atau tempat tinggal. Sehingga kita juga bisa menduga, bahwa apabila seorang individu tidak tumbuh optimal, menjadi kerdil secara mental, atau mempunyai pemikiran yang stunting, ekosistem tempat individu tumbuh inilah yang patut dipertanyakan bahkan dievaluasi, karena besar kemungkinan bahwa “pot” (lingkungan) itulah yang menghambat pertumbuhan “benih” potensial yang ada dalam setiap individu.
Bonsai (Pixabay) |
Saat mendengarkan hal tersebut, pikiran saya menjalar ke segala penjuru. Saya mulai mengingat-ingat banyak hal, mulai dari kondisi lingkungan terdekat saya, kondisi kerja saya, hingga sejarah dan kondisi negara ini. Pertanyaannya sama. Apakah “pot” yang tersedia atau “disediakan” di lingkungan saya, di circle saya, sudah cukup memadai untuk menumbuhkembangkan “biji-biji” yang potensial?
Atau, alih-alih menumbuhkembangkan, pot-pot yang tersedia saat ini malah “membonsai” potensi individu yang ada? Saya lantas teringat dengan keluh kesah teman-teman dosen yang menjerit-jerit ditimpa beban administrasi yang bejibun. Beban administrasi yang membuat mereka kehabisan waktu untuk bisa melakukan riset dan mengembangkan kemampuan akademiknya.
Alih-alih pekerjaan intelektual, dosen layaknya admin sebuah perusahaan yang habis waktu dan energinya untuk bisa kerja-kerja administratif yang membonsai potensi akademisnya. Tidak hanya itu, upah yang tidak layak memaksa para dosen untuk ‘ngamen’ ke sana-sini, nyambi kerja dan mengajar di lebih dari satu tempat. Insentif publikasi pada akhirnya menjadi alternatif untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Namun bak simalakama, aturan ini membuat banyak dosen terjebak pada praktik-praktik publikasi yang mengesampingkan etika. Inilah yang kemudian membuat para dosen yang ada di Indonesia engap-engapan dan seolah berada di “pot” yang kurang tepat.
Sejurus kemudian, tiba-tiba kepala saya penuh sesak dengan pertanyaan. Bagaimana agar “pot” yang membelenggu ini bisa diubah? bagaimana membuat sistem yang begitu rumit menjadi terang benderang? bagaimana mengatur ulang sistem upah dosen? Apakah seorang individu tanpa kuasa seperti saya mampu berbuat sesuatu untuk “pot” yang lebih baik? Apakah…..
“Kiri, pak!” teriakan ibu-ibu di sebelah saya seketika membuyarkan lamunan saya.
Comments
Post a Comment