Memori

 “Sebaiknya kamu mulai menulis, coba journaling, untuk mengawetkan & menjaring keberkahan yang hadir dalam hidupmu.” Ucap istri saya setelah obrolan panjang malam itu.  

***

Saya biasa mendiskusikan berbagai macam hal dengan istri saya, dari hal remeh-temeh seperti makanan, pengalaman konyol, atau perbedaan dialek di antara kami, hingga hal-hal yang ndakik-ndakik seperti buku yang kami baca, pendidikan, kesenjangan sosial, atau kebudayaan. 

Waktu untuk berdiskusi bisa kapan saja, namun biasanya saat menjelang tidurlah waktu yang paling sering dialokasikan untuk berdiskusi. Beberapa waktu belakangan, topik diskusi yang kami obrolkan adalah tentang memori saya yang super pendek. Saya mengeluhkan ketidakmampuan saya dalam mengingat sesuatu. Memori saya benar-benar terbatas, dan buram pada banyak hal yang telah terjadi atau berlalu di hidup saya. Seringkali, untuk mengingat sesuatu, saya harus berjuang terlebih dahulu, seperti seseorang yang sedang bermain puzzle



Saya juga sering kali kesulitan mengingat momen-moment masa kecil saya. Misalnya momen dengan Bapak. Memang bapak telah tiada sejak saya berusia empat tahun. Tapi saya benar-benar tidak ada ingatan yang jelas terhadap sosok bapak. Tidak berhenti di situ, saya kadang juga merasa payah dalam mengingat kenangan dengan ibu atau anggota keluarga yang lain. Padahal banyak orang berkata bahwa core memory terbentuk saat seseorang masih kecil. Namun hal tersebut sepertinya tidak sepenuhnya terjadi pada saya. Saya merasa bahwa banyak memori saya yang benar-benar hilang bak ditelan Tsunami. 

Hal ini berkebalikan dengan istri saya yang daya ingatnya cukup kuat. (Apalagi kalau terkait dengan kesalahan-kesalahan saya, detail, tajam dan presisi!). Ia bisa bercerita detail tentang masa kecilnya, nama panjang teman-teman SDnya, nomor absen mereka, hingga ulang tahun mereka. Ia juga bisa bercerita tentang masa kecilnya dengan detail. Tentang kenangan dengan almarhum pamannya yang super baik, tentang kenangan dengan kakak dan adiknya yang beragam. Semua kenangan, baik yang manis maupun getir, masih tersimpan rapih di kepalanya. 

Hal ini berimbas pada kepribadian kami. Istri saya, dengan cerita yang mengendap di kepalanya, menjadi sosok yang sangat dalam pada relasi-relasi yang ia jalin, relasi dengan teman, keluarga, atau koleganya. Sementara saya yang kesulitan untuk mengingat ini tidak mempunyai kedalaman yang berarti terhadap banyak hal. Saking tidak adanya kedalaman ini, beberapa kali istri saya menganggap saya ini attachless. Mungkin semacam panci anti lengket yang tidak membiarkan dirinya ditempeli dengan apapun. Metafora lain yang sering saya pakai adalah tempat sampah yang bawahnya berlubang. Jadi “sampah” apapun yang masuk ke dalamnya tidak akan membuat tempat sampah tersebut penuh sesak.  

Di satu sisi saya bersyukur dengan kondisi ini. Harus saya akui bahwa hal ini membuat saya lebih ringan. Ketidakmelekatan ini membuat saya menjadi lebih bebas dan tidak terikat dengan banyak hal. Saya tidak banyak ambil pusing dengan hal-hal di sekitar saya, yang barangkali bagi orang lain cukup membelenggu. Bisa jadi, inilah yang membuat mbak-mbak saya menganggap saya terlampau cuek terhadap banyak hal. Teman-teman di kantor saya juga menganggap saya sebagai sosok yang lempeng-lempeng saja. Saya juga memvalidasi apa yang saya rasakan ini lewat stoicism atau tiga lingkar pengaruh yang disebutkan oleh Sabrang. 

Namun belakangan, saya mulai merasa ada yang tidak benar dengan hal ini. Dalam diskusi dengan istri, saya beberapa kali mengeluhkan kondisi attachless ini. Saya merasa ketiadaan memori yang dalam membuat saya seolah sendirian dan kesepian. Saya bahkan diam-diam merasa was-was dengan apa yang saya rasakan. Saya takut bahwa ketiadaan attachment yang extreme membuat empati saya tumpul. Bahkan saya takut bahwa saya tidak menangis apabila ada teman atau bahkan keluarga saya yang meninggal dunia! 

Istri saya paham betul ketakutan saya ini. Ia menyarankan saya untuk mulai journaling, tepat seperti potongan dialog di awal tulisan ini. Mulai menulis lagi hal-hal yang saya alami sehari-hari. Hal ini bertujuan untuk mengikat memori. Merekam momen yang terjadi di hidup agar tidak lewat begitu saja. Menulis juga bisa membuat kita lebih pandai bersyukur terhadap banyak hal, dan memaknai peristiwa dengan lebih dalam. 

Saya tentu saja setuju dengan hal ini, menulis merupakan salah satu hal yang sangat saya sukai. Menulis membuat saya merasakan sesuatu dengan lebih dalam, dan membuat pikiran saya menjadi lebih liar dan bebas. Menulis juga membuka kesempatan saya untuk mengingat-ingat perjalanan dan pelajaran yang saya dapatkan selama hidup.

Tentu saja, menulis bukan persoalan yang mudah. Beberapa kali saya berjanji pada diri saya untuk bisa menulis dengan konsisten. Namun, kejadian yang sudah-sudah, saya selalu mengingkari komitmen tersebut. Menulis hanya beberapa hari, lantas rasa malas menelan semua gairah. 

Namun saya yakin bahwa hal-hal baik dan besar tidak datang dengan cara yang mudah. Dan mungkin menulis, seperti perkataan istri saya, adalah cara yang paling efektif untuk menjaring keberkahan-keberkahan yang hadir dalam hidup. 

 

Comments

Post a Comment

Popular Posts