Paspor dan Burung Besi #Catatan Sri Lanka 1
“Berape Bang harganye?”
Tanyaku dengan logat Betawi yang aku paksakan.
“Hah? No,
no”, jawab sopir tersebut sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Berape Bang? Ini ghuweh keburu telat!” Timpalku dengan logat yang sama namun kali
ini lebih aku paksakan sehingga kata gue
seolah terdengar ‘Ghuweh’ hasil perkawinan lidah Jawa Timuran dan aksen Betawi
yang terperkosa.
“Two hundreds”, jawab
sopir itu dengan masih menggelengkan kepala.
Wah sok banget deh sopir ini, sok bahasa Inggris pula jawabnya. Ucapku dalam hati.
“Here it
is”, jawabku sambil memberikan uang
dua ratus perak ke sopir itu.
“What is this,
sir?” Jawab sopir berkuliat hitam
itu sambil tetap menggelengkan kepalanya dan dahi yang mengkerut.
“Two
hundreds Rupee, sir!” Jawabnya lagi sambil masih menggelengkan kepala
“Rupee?” Jawabku agak kaget.
Seketika itu pula aku sadar, bahwa aku tidak
sedang di Tebet, Jakarta, dan juga tidak sedang ngobrol sama sopir Bajaj
keturunan Betawi. Aku, saat ini, sedang berbicara dengan seorang sopir Tuk-Tuk, kendaraan mirip Bajaj,
keturunan etnis Sinhala, etnis terbesar di Sri Lanka.
****
dok. pribadi |
Tahun 2015 kemarin merupakan tahun yang cukup
memberikan kenangan. Dari sekian banyak cerita yang tertuang dalam lembaran
hari-hari di tahun ber shio kambing kayu itu, ada satu cerita yang sepertinya
tak akan pernah bisa aku lupakan. Pengalaman pertama ku keluar negeri, ke Sri Lanka.
Tepat satu hari setelah lebaran tahun kemarin, aku
mendapat kesempatan untuk mengikuti konferensi internasional di Sri Lanka. Aku tidak
sendirian disana, ada Gilang sahabatku, Dosen pembimbing yang luar biasa, Ibu
Hermin, dan putrinya, mbak Wresti. Kami pergi kesana dengan bekal materi
presentasi kami masing-masing, karena memang kami akan menjadi pemateri disana.
Well, tenang ya, tulisan ini gak bakal ngebahas materi presentasi tiap
peserta yang ada disana kok. Sesama
(mantan) mahasiswa, apalagi mahasiswa tingkat akhir, tau lah kalo ngomongin penelitian (SKRIPSI) itu
adalah sesuatu yang tabu dan tak layak diperbincangkan.
Oke, kembali ke masalah awal, pengalaman pergi ke
tempat baru itu selalu memberikan kesan berbeda, apalagi pergi ke negara baru,
dengan budaya baru, manusia baru, dan mata uang baru (pasangan baru?).
Benar-benar sesuatu yang luar biasa (bagiku sih, yang belum perah ke luar
negeri sebelumnya), karena aku gak tau
apa yang bakal aku liat disana nanti.
Walaupun sempet browsing-browsing
info tentang negeri nun jauh disana itu, tetep
aja rasa gugup itu masih mekar bak
bunga Sakura di musim semi, secara ini adalah pengalaman pertamaku naik pesawat
juga.
Pergi ke luar negeri juga memberikanku pengalaman
baru yang cukup menarik (disamping naik pesawat loh ya), yakni pengalaman
mengurus pasport. Well, honestly, aku gak pernah ngebayangin gimana “asyiknya”
ngurus pasport itu. Harus bolak balik ke kantor Imigrasi Blitar, pulang pergi
Malang-Blitar-Tulungagung-Blitar-Malang dalam sehari, kehujanan sepanjang
jalan, ngebut gak jelas karena takut kantor Imigrasi keburu tutup dan banyak
hal lain. Tapi pengalaman ini membuatku berfikir bahwa mereka yang pernah
keluar negeri, apalagi TKI/TKW memang orang yang pantas diacungi jempol.
Proses pembuatan pasport ini memakan waktu sekitar
satu minggu dengan bolak-balik selama tiga kali ke kantor imigrasi. Tapi
alhamdulillah, akhirnya setelah pergerakan perjuangan yang berdarah-darah
(*lebay) akhirnya semua telah sampai pada saat yang berbahagia dimana, sebuah
buku kecil berwarna hijau dengan gambar gagah Burung Garuda berhasil ghuweh genggam. I’ve got my own pasport!
Selain itu, hal baru lain yang juga memberikan
kesan adalah pengalaman pertama naik pesawat terbang. Jujur, sebagai anak desa,
salah satu mimpi yang ada di kepalaku adalah naik pesawat. Aku sering kali
bertanya pada orang yang pernah naik pesawat, seperti apa rasanya naik pesawat
itu. Dan semenjak itu aku bermimpi suatu saat bisa naik pesawat! Sempat suatu
waktu aku hampir bisa naik pesawat saat mantan bosku di Bogor menawariku
pekerjaan singkat di Makassar. Namun nampaknya saat itu memang belum waktunya untuk
dapat mendaratkan pantatku di kursi empuk pesawat terbang. Tuhan sepertinya
masih menunda momen berharga ini, hingga aku bisa bisa benar-benar menikmati
empuknya kursi pesawat di momen yang sangat spesial, seperti perjalanan ini.
Berhubung naik pesawat adalah pengalaman pertama
bagiku, tentu saja memasuki bandara adalah pengalaman pertama pula bagiku. Aku
agak ngah-ngoh juga pas liat bagian
dalemnya bandara, apalagi bandara interasional, ternyata gede banget, rek. Hehe ya maklum lah ya, taunya kan
selama ini terminal angkot, bus ato,
paling pol, ya stasiun kereta api. Jadi wajar lah kalok agak takjub liat bandara
yang gede itu. Selain bangunanya, yang bikin bandara lebih njlimet adalah waktu
terbang sama cari jalan ke tempat pesawatnya, hemm sumpah deh, mbingungin! Apalagi
ditambah harus nyocokin sama waktu terbangnya. Duh udah deh, bisa lari-lari
akhirnya. Tapi semua itu pantes kok
sama pengalaman yang didapet pas ngelihat keluar jendela dari atas pesawat
terbang. Ngelihat rumah-rumah menciut kecil, jalan-jalan serta sungai yang
berubah seperti ular yang meliuk-liuk, perkampungan dan perkotaan padat yang
sedikit demi sedikit nemudar tertelan luasnya dataran hijau, sampai pada
akhirnya melihat pucuk-pucuk bukit, lantas gunung dan pada akhirnya sejajar
dengan awan. Putih, biru, menenangkan....fiuuhhh.. begini rasanya terbang
ternyata......
dok pribadi |
bersambung.......
Comments
Post a Comment