"Tulodho"nya mana?
"ING NGARSO SUNG TULODHO, ING MADYO MANGUN KARSO, TUT WURI HANDAYANI"
Slogan luhur yang menjadi moto dunia pendidikan Indonesia ini sudah lama dan jamak kita
ketahui. Namun aplikasi slogan yang, kata orang, sangat komperhensif tersebut
mungkin masih patut kita pertanyakan. Kalau kita lihat, ada tiga, paling tidak, klausa yang mengkonstruksi slogan tersebut, yakni: Ing ngarso sung tulodho, Ing
madyo mangun karsa, dan Tut wuri handayani. Setiap klausa memiliki makna otonom yang mampu berdiri sendiri. Sehingga kalaupun toh dipisah
dan disusun secara random lagi, klausa tersebut masih bisa dipahami.
Sedikit cerita
saja, saya sering memikirkan bagaimana proses penemuan dan perumusan banyak hal
yang kita miliki sekarang ini, mulai dari bahasa, adat, sistem pemerintahan, mata
uang, politik, budaya, aksara hingga tentang cinta. Bagaimana hal-hal tersebut
bertunas, berkembang dan berbuah hingga akhirnya buah tersebut dinikmati dan menjadi
sesuatu yang disepakati untuk digunakan dalam sistem sosial. Juga, saya sering
berpikir hal apa yang melatarbelakangi kelahirannya, dan peristiwa sejarah apa
yang menjadi trigger munculnya
hal-hal tersebut. Pertanyaan yang sama juga meluncur kepada slogan karya Ki
Hajar Dewantara diatas, terutama tentang arrangement
dari klausa tersebut. Mengapa dulu Ki Hajar Dewantara meletakkan klausa tersebut dari Ngarso (Depan), lalu Madyo (Tengah), lantas Wuri (belakang). Kenapa tidak
sebaliknya? Misal dari Wuri (belakang),
lantas Madyo (tengah), dan terakhir Ngarso (depan)? Apakah hanya karena nilai
estetika saja? Atau karena nilai kultural? Atau mungkin hanya kebetulan saja? Ah,
saya kok ragu semisal manusia
sekaliber Pak Dewantara ini alpa dalam melakukan kontemplasi mendalam sebelum
menginisiatori lahirnya frasa tersebut.
Jujur, saya belum
membaca banyak tentang beliau, tentang kehidupan dan dan juga tentang cita-cita
besarnya terhadap negeri yang bersinonim dengan kata ‘konon’ ini. Iya,
bersinonim dengan kata konon, karena keindahan dan kekayaan negeri ini dulu
hanya mampu dilukisakan dengan imajinasi saja. Baik, kembali ke masalah awal,
tentang peletakan klausa. Klausa pertama Ing
ngarso sung tulodo, dalam intepretasi sempit saya (yang mungkin juga sudah
bertebaran pemaknaan serupa), tak beda
dengan lokomotif kereta api. Ia adalah penggerak gerbong-gerbong elemen pendidikan
lainnya. Apa penggerak tersebut? Simply Tulodho
atau Teladan. Teladan yang pastinya harus diasosiasikan dengan tindakan bukan perkataan. Karena kekuatan
seribu kata akan lebur oleh satu tindakan atau contoh nyata. Nah apabila
lokomotifnya baik, teladannya baik, hampir bisa di pastikan bahwa
gerbong-gerbong di belakangnya akan mampu berjalan lancar; yang tengah bisa
memberikan bimbingan (Ing mandyo mangun
karsa), dan yang belakang bisa memberikan sokongan (tut wuri handayani). Sehingga
edukasi yang paling mengena adalah teladan itu sendiri. Tentu saja hal ini bisa
diaplikasikan ke lingkup pendidikan yang lebih luas, misalnya pendidikan kebudayaan,
pendidikan berpolitik, pendidikan agama, hingga pendidikan bernegara. Semua harus
mempunyai sosok yang bisa dicontoh untuk mastikan jalannya ‘gerbong’ dibelakangnya.
Saya jadi
berfikir, mungkin ini pula yang membuat Islam mengatur sedemikian rupa shof dalam sholat berjamaah, dimana
anak-anak “ditaruh” di belakang barisan orang dewasa. Mungkin agar mereka bisa
mencontoh gerakan dan apa saja yang dilakukan oleh orang yang lebih tua di
depannya. Lebih jauh lagi, bukankah Kanjeng Nabi oleh Tuhan juga dilabeli
dengan gelar Uswatun Khasanah,
teladan yang baik? Kalau saya tidak salah juga, bukankah output utama dari
agama itu akhlak, tindak-tanduk yang baik?
Lantas pertanyaan sekarang adalah, bagaimana
dengan pendidikan kita saat ini? Bukan dalam arti pendidikan yang sempit (sekolah
formal), namun pendidikan yang luas, seperti yang saya sebutkan diatas. Apakah kita
punya “Lokomotif” yang patut diteladani? Apakah Orang tua kita, Guru-Guru kita
di sekolah, Ustadz-ustadz kita, Pemimpin, baik Lurah, Bupati, Gubernur, atau
Presiden kita layak ditiru? Saya yakin bahwa kita tidak kekurangan sosok inspiratif
yang punya kapasitas untuk di teladani, namun tendensi dari (kebanyakan) media
yang suka mengekspos hal-hal yang sebenarnya mubazir telah menutupi mutiara-mutiara
tersebut, sehingga makanan yang kita konsumsi setiap hari adalah barang basi
yang tidak menyehatkan tubuh dan pikiran......
Eh, sebentar,
bagaiamana dengan diri kita sendiri?
Apakah kita
juga sudah bisa dan layak ditiru? 😁
SELAMAT
HARI PENDIDIKAN NASIONAL
Comments
Post a Comment