Penyakit Rakyat

Aku terkadang cukup risih dengan beberapa kosa kata yang sering kali digunakan oleh para pembaca berita di media masa. Mereka menciptakan kata-kata dan mendistribusikannya kepada semua masyarakat dengan se-enak mereka. Semua tahu, kata sangat mempengaruhi banyak aspek dalam kehidupan. Semakin banyak kosa kata, semakin banyak pula aktifitas yang terdeskripsikan dengan baik.

Satu kata yang menurutku sangat-sangat tidak adil adalah kata (atau lebih tepatnya frasa) ’penyakit masyarakat’. Frasa ini seringkali digunakan untuk menyebut tindakan kriminal yang seolah hanya dilakukan oleh kelas “rakyat”. Kriminalitas kelas kampung seperti perjudian, miras, prostitusi dan hal lain selalu di asosiasikan dengan masyarakat. Kata masyarakat ini tentunya juga harus jadi soroatan, karena memang sasaran frasa ini adalah masyarakat level bawah, masyararakat kere! Tiap kali ada operasi ke gang-gang kecil, ke lokalisasi, ke perkampungan kumuh, frase ini selalu muncul menjadi pendamping setia pelengkap narasi dari kegiatan yang dilakukan oleh petugas negara.


Aku cukup risih dengan frasa tersebut, karena pertama, kejahatan yang direpresentasikan oleh frasa ini bukan melulu bagian dari masyarakat kelas bawah. Mereka yang ditingkat atas sangat dan sangat jauh lebih leluasa dan mempunyai akses berlebih untuk melakukan tindakan berlabel ‘penyakit masyarakat’ itu. Bedanya, mereka melakukan itu dengan lebih sistematis dan korporatif saja. Mereka menyewa jasa pemuas nafsu dengan lebih canggih, tanpa mendatangi mereka di tempat mangkal. Sehingga transaksi “daging beberapa ons” tersebut luput dari sorotan petugas. Mereka bisa saja bertemu di hotel berbintang yang pastinya penegak hukum pun butuh “ijin” untuk menggeledah tempat tersebut. Ketika berjudi, dimensi perjudian mereka lebih luas. Dari memperjudikan diri mereka sendiri, uang negara, hingga nasib rakyat yang ada dalam tanggung jawab mereka. Korupsi? Tidak hanya daging sapi, bahkan kitab suci pun dijadikan proyek untuk bagi-bagi! Miras? Narkoba? Lihat saja bisnis narkoba di balik jeruji. Bukankah secara akal sehat, tidak mungkin ada bisnis sedemikian besar tanpa diketahui petugas?   


Bila masyarakat hanya mampu mengganggu lingkungan kanan kirinya saat, katakanlah, mereka melakukan “penyakit masyarakat” tersebut, maka “penyakit masyarakat golongan atas” ini dapat mengganggu stabilitas negara yang berimplikasi pada banyak sektor; ekonomi, politik, sosial, budaya dan sebagainya. Sehingga kata penyakit masyarakatpun nampaknya perlu di ucapkan sebagai narasi dalam proses penangkapan pejabat yang korup, PNS yang ngeluyur di jam kerja, atau mereka yang menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadinya sendiri. Well, kalau memang mereka tidak berkenan dimasukkan ke golongan ‘masyarakat biasa’, paling tidak marilah ahli bahasa kita menciptakan istilah tandingan, misalkan; penyakit pejabat, penyakit konglomerat, atau penyakit keparat!! Fair enough, right?

Comments

Popular Posts