Bawang Merah & Menulis
Dalam salah
satu edisi kumpulan tulisan sebuah gerakan non profit, ada satu hal menarik
yang diuraikan oleh salah satu kontributor penulisnya. Bukan tentang indahnya
tempat atau budaya masyarakat, atau tentang nakalnya anak-anak di lokasi
pengabdian, melainkan tentang kejenuhan dan rasa frustasinya selama berada di
lokasi pengabdian yang membuatnya takut untuk menulis. Dia mengatakan bahwa dia
enggan menulis karena takut bahwa apa yang akan dia tulis nantinya adalah
sesuatu yang palsu. Dia khawatir kalau-kalau tulisan yang ia tulis bukanlah
representasi dari dirinya sendiri; dia hanya menulis untuk menyenangkan orang
lain yang mau dan sempat membaca tulisannya saja.
Saat membaca
curhatan singkat dari Pengajar Muda tersebut, jujur saja aku merasa tergelitik.
Ada sedikit rasa tidak nyaman yang tiba-tiba berkecambah. Curhatan pendek
tersebut seakan-akan mengingatkanku pada tulisan yang sempat aku tulis, yang belum
bisa mewakili ‘aku’ didalamnya. Dan ini pulalah yang sebenarnya sering membuat
jariku malas untuk mengetik. Sebuah kekawatiran akan “Produk Palsu” yang
terlahir dalam tulisan tersebut - kekhawatiran atas pertanyaan; is it really me?
Keraguan itu tidak
jarang menjelma menjadi tembok yang susah untuk dilewati. Membuat beberapa
waktu menjadi kering tanpa tulisan-mandul. Namun keraguan itu sedikit demi
sedikit tergerus dengan pemahaman baru yang entah benar atau tidak tentang konsep diri.
Begini, dengan kedangkalan
ilmu yang ku miliki, aku ingin sedikit berhipotesa tentang lapisan-lapisan
karakter yang membentuk pribadi kita secara utuh. Aku mulai curiga bahwa diri
kita sebenarnya tidak jauh berbeda dengan bawang merah. Iya BAWANG MERAH. Saat
kita mengiris Bawang Merah, kita akan melihat lapisan-lapisan yang sangat
banyak, sangat kompleks yang saling terkait dan menyusun dirinya sendiri
menjadi satu kesatuan utuh dan membentuk entitas bernama Bawang Merah. Rasa-rasanya
aku juga mulai menduga bahwa kita sebagai manusia juga terdiri dari
lapisan-lapisan semacam itu. Kita terdiri dari bermacam lapisan yang sangat
banyak yang membungkus inti dari kita sendiri. Mungkin saja di lapisan yang
paling luar kita menemukan ‘aku’ yang biasa kita lihat di keseharian kita,
sedangkan di lapisan yang lebih dalam, kita menemukan karakter ‘aku’ yang
sedikit berbeda. Pun di lapisan-lapisan yang lain kita akan bertemu ‘aku-aku’
yang tidak serupa. Dan layaknya bawang merah, ketika lapisan-lapisan itu terus
menerus kita kupas, kita akan menemukan inti dari ‘aku’ tersebut-menemukan ‘aku yang sejati’.
![]() |
source: google image |
Kita mungkin
belum mengenal karakter-karakter kita yang lain, kita merasa asing dan merasa
bahwa itu bukanlah bagian dari kita. Kita terdominasi oleh ‘lapisan luar’ yang
kita kenal selama ini. Kita memarjinalkan sebagian diri kita, menguncinya dalam
ruang yang sangat dalam, dan meletakkannya jauh diluar area kesadaran kita.
Oleh karenanya, suara-suara atau karakter yang terkunci tersebut tidak pernah
mendapatkan ruang untuk menunjukkan dirinya ke permukaan, karena memang dia
selalu ditekan terus-menerus.
Namun kadang
kala, karakter atau lapisan yang terkuci rapat itu bisa menyeruak ke permukaan
dalam bentuk atau medium yang tak terduga-duga. Dan, salah satu mediumnya aku
rasa adalah lewat tulisan. Sangat mungkin sebenarnya bahwa ketika kita menulis,
dan tulisan yang kita hasilkan
itu agak berbeda dengan ‘kita’ yang kita kenal selama ini, sebenarnya pada saat
itu kita menulis bagian dari ‘diri kita yang lebih dalam’. Menulis ‘aku’ dalam versi
yang lebih dekat dengan inti, yang lebih orisinil. Tulisan yang merepresentasikan
diri kita yang lebih murni, mewakili suara yang selama ini tertimbun jauh
didalam. Terimbun oleh lapisan kulit yang lain.
Paralel dengan
uraian diatas, ada sebuah ungkapan yang sangat mahsyur yang mengatakan bahwa writing is an escape, menulis adalah
sebuah upaya untuk melarikan diri. Dulu aku berpendapat bahwa ungkapan ini
hanya pas apabila diasosiasikan dengan orang-orang introvert yang tidak mampu
berkomunikasi secara verbal dengan baik. Sehingga mereka memerlukan medium
untuk dapat menyalurkan uneg-unegnya. Oleh karenanya, untuk mereka, menulis
merupakan sebuah upaya ‘pelarian diri’ dari ketidakmampuannya berkomunikasi
secara lancar. Sebatas itu saja dulu fikiranku.
Namun sedikit
demi sedikit aku mulai menyadari bahwa makna kalimat tersebut tidak sebatas dan
sedangkal itu saja. Menulis adalah medium untuk mengenal diri kita pribadi
dengan lebih baik. Writing makes us
understand ourselves better. Mungkin dalam beberapa tulisan kita yang belum
bisa kita implementasikan secara komperhensif, secara utuh, yang bahkan kita
sendiri heran dengan hasil tulisan yang sangat berbeda dengan niat awal menulis
kita, disitu terdapat suara-suara minor dari diri kita yang mengalir dan muncul ke permukaan. Ketika
kita menulis sebenarnya kita menyalurkan energi yang ada dalam diri kita
sendiri. Kita memberikan akses agar suara yang selama ini tersudutkan oleh diri
kita yang lain, diri kita yang lebih dominan, dapat keluar dengan bebas.
Terkadang
dengan menulis, kita mulai menemukan kebaruan-kebaruan, kesegaran dalam sudut
pandang, dalam diksi atau apapun yang tidak terfikirkan sebelumnya. Ketika
membaca lagi draf tulisan pertama yang masih acak-adut dan membandingkannya dengan tulisan akhir, kita
terheran-heran dengan apa yang kita tulis. Kita tidak menyangka bahwa kita
mungkin bisa sangat romantis dalam tulisan kita, bisa menjadi santun, menjadi galak, liar, super
nakal, dan kejutan-kejutan aneh lainnya yang barang kali sangat berbeda dengan
‘kita’ versi keseharian.
Namun keanehan
yang tertuang dalam tulisan tersebut kadang malah membuat kita relief-lega. Membuat kita plong. Mungkin
memang inilah asyik dan seninya menulis. Bagaimana suara yang terperangkap
akhirnya menemukan jalan keluarnya. Menemukan udara untuk dapat bernafas
setelah lama terkurung tak dipedulikan. Dia keluar tidak melalui perkataan, namun melalui
jemari yang dengan telaten menari-nari di atas symbol rumit yang disebut huruf.
Mereka keluar untuk menuntut dan mengingatkan si empunya bahwa dia ada, dan dia
ingin juga didengarkan, dipahami dan dipelajari. Dan karena itulah
menulis adalah jalan melarikan diri – untuk suara yang tersisih, menulis adalah
upaya memahami diri kita dengan lebih baik…..
You may decide now, if, let’s say your writing is different from ‘well-recognized
version of you’, is it a fake writing, or is it an inner truth?
Comments
Post a Comment