Nothing comes for nothing, right?
Tulisan ini adalah coretan kedua dari rangkaian
tantangan menulis mingguan yang digagas oleh teman-temanku. Dan, minggu ini kami harus mengupas “masalah” dari sudut pandang kami masing-masing. Tulisan ini
sebenarnya terhitung terlambat, sehingga statusnya bergeser sedikit menjadi
hutang. But one thing for sure, yang namanya hutang, hutang apapun, termasuk
hutang tulisan, harus
dilunasi, iya toh?.
Okay then, to
begin with, aku yakin bahwa semua manusia yang ada di planet bumi ini
mempunyai masalah mereka sendiri-sendiri. Kapasitas dan intensitas masalah yang
dihadapi juga pasti sangat variatif tergantung dengan kualitas individu.
Mungkin sebagian dari kita bermasalah dengan lemak berlebih yang menempel di
perut, pipi atau bagian tubuh lainnya, sebagian lagi bermasalah dengan jerawat yang
nongol dengan semena-mena di bagian-bagian terlarang, sebagian lagi dengan
rambut yang salah lokasi tumbuhnya (di ketek tumbuh secara excessive, misalnya),
atau masalah yang lebih kompleks, seperti masalah nuklir Korea Utara yang tak
kunjung rampung, neraca perdagangan Negara yang terus defisit atau isu radikalisasi yang makin
menjadi dan bla-bla-bla lainnya...
Semua
punya masalah....
Tapi pernah
tidak kita berfikir sejenak, menarik nafas panjang dan bertanya, “kenapa sih muncul masalah?”, Atau merenung, “Apa
sih sebenarnya masalah itu?”
Baik, mari
kita elaborasi sedikit disini. Sebagai manusia, tentu saja kita mempunyai
keinginan untuk berbuat sesuatu yang lebih. Kita selalu ingin berkembang,
karena memang kita diberkahi akal pikiran yang mendorong kita untuk selalu
begerak maju. Kita ingin lebih baik dari sebelumnya, lebih baik dari segi
penampilan, pendapatan, sosial, budaya dan lain-sebagainya. Kita mempunyai keadaan
ideal yang menggantung di pikiran kita. Nah, hanya saja keadaan ideal yang kita
bayangkan itu terkadang dan mostly
berbenturan dengan realita yang ada di hadapan kita sekarang. Gap antara keinginan dan kenyaataan
inilah sebenarnya tempat yang subur dimana tumbuhnya masalah. Singkatnya adalah,
bahwa masalah merupakan jarak antara realita dan impian sehingga kalau difikir,
sangat wajar bahwa manusia memiliki masalah. Bahkan sebaliknya, bukan sesuatu
yang normal apabila manusia yang diberkahi akal pikiran ini tidak mempunyai
masalah.
Masih
perpanjangan dari elaborasi tadi, beberapa waktu yang lalu, disela-sela ba’dan lebaran, aku sempat ngobrol
dengan salah seorang kawan tentang impian. Kami berbicara tentang karir impian,
destinasi wisata impian, hingga rumah tangga impian (((..Damn, Rumah Tangga..))). Kami berbicara
banyak hal disana, dan tentunya, seperti biasa, diskusi cair itu melebar
kemana-mana. Termasuk ke obrolan tentang masalah atau rintangan yang kami
masing-masing hadapi untuk mewujudkan impian tersebut. Satu hal yang aku
tangkap dari oborlan tersebut adalah saat dia berkata dengan jujur bahwa dia
adalah orang yang selow, santai. Dia
tipikal orang yang memilih berjalan daripada tergesa berlari dalam menggapai
mimpinya. Namun dia menambahi bahwa terkadang masalah membuatnya meninggalkn habit berjalan tersebut. Dia kadang
harus melompat, berlari, merunduk, merayap atau apapun itu dalam menghadapi
masalah yang dia sedang hadapi. “Problem
makes me run, faster. Even faster than I could imagine”, ucapnya saat itu.
Aku juga masih
ingat bahwa salah satu sahabatku, teman kontrakan jaman kuliah dulu, ketika
ditinggalkan oleh kekasihnya secara tiba-tiba, sempat sangat depresi. Dia
selalu murung dan tidak mau tersenyum. Semua yang ada di sekitarnya terlular
aura negatif yang dihasilkannya. Mukanya selalu tertekuk. Senyumnya hilang. Dan
parahnya dia jadi sering ngutang dan jarang mandi. Namun masalah yang dia
hadapi tersebut, di satu sisi, membuatnya jauh lebih religius, jauh lebih
sublim dalam menghadap Tuhan. Dia selalu mengaji, dan mendengarkan murotal
Quran di kamarnya. Dan as time goes by,
dia bisa berdamai dengan dirinya sendiri, menerima apa yang terjadi pada
dirinya sebagai a part of his growth. Gradually
dia kembali menjadi dirinya yang dulu, yang penuh canda dan ceria. Namun dengan
satu catatan berbeda, bahwa kini dia lebih kuat dan berpikiran lebih luas.
Cerita yang
sedikit berbeda terjadi pada temanku yang lain, yang kali ini bahkan sudah
hampir tunangan. Entah ada angin apa, tiba-tiba pertengkaran yang puncaknya
menjadikan mereka berpisah di tengah jalan, terjadi juga. Aku sempat mendengar
keluhnya. Bagaimana dia menangis hampir setiap saat, bagaimana keluarganya
bingung mencarikan solusi, dan bagaimana dia ingin lari keluar kota untuk
melupakan sisa-sisa kenangan tentang kekasihnya. Namun kekecewaan dan masalah
itulah yang mendorongnya melesat jauh, jauh sekali. Hingga saat ini dia sudah
mendirikan restoran yang cukup besar di kota kelahirannya. Bisa jadi apabila
dia tidak mengalami kenyataan pahit tersebut, dia tidak akan pernah mampu
membangun bisnis kulinernya seperti saat ini, bahkan mungkin berfikirpun tidak.
Itulah
masalah....
Dari
percakapan tadi, kita bisa tafsirkan bahwa masalah membuat kita lebih “sehat” karena
kita dipaksa berlari. Membuat kita lebih cerdas karena kita di paksa untuk
lebih kreatif dalam berfikir. Membuat kita lebih berfikrian luas dan berjiwa
besar karena kita melihat hidup tidak sekedar hitam-putih saja. Kita dipaksa
untuk bergerak dengan adanya masalah. Kata yang lebih kasar adalah, “kita
dipaksa memakai otak dan hati kita” saat kita memiliki masalah.
Aku sempat
membaca sebuah artikel menarik tentang usaha nelayan Jepang dalam menjaga ikan
tangkapannya agar tetap fresh saat
tiba di tempat pelelangan, sebab dengan begitu, ikan tersebut akan bernilai
tinggi. Setelah berfikir, singkatnya, nelayan tersebut akhirnya menemukan ide
untuk memasukkan ikan hiu kecil kedalam wadah hasil tangkapan ikan untuk
memaksa ikan tersebut terus bergerak sehingga membuat dagingnya tetap segar dan
bernilai tinggi. Tulisan tersebut ditutup dengan kalimat sederhana yang
menerangkan analogi bahwa Ikan hiu itu adalah masalah, dan ikan tangkapan
nelayan itu adalah kita. Kita membutuhkan masalah untuk dapat hidup dan
mempunyai “nilai tinggi”.
Aku yakin
bahwa orang-orang besar, para pelakon sejarah yang kita kenal lewat buku-buku
sekolahan, bukanlah mereka yang hidup dalam keadaan serba cukup dan enak.
Mereka adalah orang-orang yang dibesarkan dan dirawat dengan masalah, dengan
himpitan yang membuat mereka senantiasa berfikir lebih keras dari pada mereka
yang tidak mengalami kondisi yang sama. Mereka kenyang akan problem. Dan pada
akhirnya mereka seolah khatam dengan solusinya. Mereka memberdayakan apa saja
piranti yang mereka miliki, benturan-benturan masalah tersebut menjadikan
mereka manusia yang kuat, yang berjiwa besar.
Oleh sebab
itulah, apabila kita mempunyai masalah, lebih baik kita mulai berfikir terbalik
dengan bersukur. Kenapa? Karena pada dasarnya kita masih diberikan kesempatan
untuk bergerak. Kita masih diberikan kesempatan untuk berfikir. Justru semisal
tidak ada masalah dalam kehidupan kita, hidup lempeng-lempeng saja, tidak ada,
meminjam istilahnya Bung Karno, up and down,
kita boleh curiga; Apa yang salah? Apakah kita berhenti bergerak? bukankah buku
atau novel yang bagus, yang mampu membuat berdebar pembacanya juga merupakan
buku yang banyak konfliknya? Yang banyak kejutan dan masalah di dalamnya?
Let’s learn not to hate problems.
Everytime problem hits us, always remember
this; that nothing comes for Nothing...
Comments
Post a Comment