Puncak
“Jadi apa sih yang kamu dapat dari naik gunung
itu? apa sih yang puncak sunyi dan dingin itu tawarkan ke kamu?” Salah seorang
sahabat dekat Jamil bertanya dengan nada dan ekspresi muka yang tidak
benar-benar ingin tahu.
“Ya seperti
biasa bro, Jawabnya ya cabe dan pedas itu,” jawab Jamil cuek.
“Ah, gedabrus, coba kamu elaborasi jawaban
kamu, jangan melulu pake analogi kuno itu!” Tantang sahabat Jamil itu.
Jamil memang sering
ditanya tentang sensai apa yang membuatnya suka sekali dengan gunung. Apa yang
membuat lelaki berusia 20 tahun itu terobsesi dengan puncak, hingga tidak
jarang meninggalkan banyak hal, termasuk urusan kuliah dan pekerjaannya. “Memangnya
kasurmu kurang empuk? Kok lebih seneng klayapan di gunung?”, "Emangnya istrimu nggak marah kamu tinggal terus? oh iya, kamu kan belum punya istri? lha wong pacar aja ndak gablek! muehehe" itu sindiran
standart yang biasanya Jamil dapatkan.
Jamil yang
selalu saja mati kutu ketika ditanya tentang pertanyaan itu, biasanya menjawab
dengan analogi cabe dan pedas. Bagi Jamil, menanyakan sensai apa yang puncak
gunung tawarkan itu ibarat menanyakan bagaimana rasa "pedas” itu. Tentu
saja Jamil malas mendeskripsikan “pedas” kepada mereka. Akan lebih ringkas
apabila mereka langsung menjejali mulut mereka dengan cabe, mengunyahnya dan
menemukan sendiri apa itu “pedas”. Naik gunung pun sama. Lebih baik mereka naik
gunung dulu baru menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu.
Namun kali
ini, dia merasa tertantang untuk menjelaskan alasannya. Sesaat setelah berfikir, dia berujar, “yang ditawarkan, yang katamu puncak sunyi itu ya puncak-puncak yang
lain."
“Maksudmu?”
tanya temannya dengan dahi sedikit berkerut.
“Kamu
hanya bisa merasakannya ketika kamu sudah berada di atas sana, di puncak.
menikmati dingin dan sunyi yang menusuk kesadaran, menatap lukisan Tuhan yang
kental dengan tanda-tanda kuasaNya, serta merasa ciut di depan cakrawala yang
entah bagaimana berhasil mengubek-ubek perasaanmu.” Jamil berhenti sejenak lantas mencomot pisang goreng yang ada di depannya.
“Kamu
tahu? Puncak bisu itu ternyata punya daya magis yang menanamkan rasa rindu yang
aneh kepada orang yang dipilihnya. Tidak ada yang tahu kapan tangan-tangan tak
terlihat itu berhasil menancapkan pohon-pohon rindu di hati.” Ucap pemuda
semester tua itu dengan mulut terisi pisang goreng.
“Satu
yang pasti, tanpa kita sadari, pohon itu telah mengakar kuat, menusuk, berbunga
dan bahkan bertunas di dalam hati. Dan ketika kamu jengah dengan hidup ala-ala
sekarang ini, pohon itu berhembus dan membisikkan kalimat-kalimat rindu yang
menggetarkan jiwamu. Dia mencoba mengingatkanmu terhadap puncak-puncak sunyi
nan damai yang sudah lama kamu tinggal itu.”
“Sekali
lagi, kamu diajak ke puncak-puncak yang menawarkan kekosongan yang berisi, serta keheningan yang mengejutkanmu!”
“Namun
yang aneh adalah, puncak-puncak itu tidak menawarkan dirnya lagi untuk
dikunjungi. Dia membisikkan hati kita untuk terus berjalan mengunjungi
puncak-puncak yang lain, yang jauh disana yang siap dengan pelajaran mereka
masing-masing,” Jamil menghela nafas sebentar, bersiap meneruskan.
![]() |
“Namun,
bak wanita matang yang tidak mau main-main dengan pasangannya, Dia sangat
selektif dengan orang-orang yang mendekatinya. Dia hanya memilih orang-orang
tertentu untuk diperbolehkan menjamah puncak-puncak mereka. Sekali lagi,
semesta yang paling tahu, hati siapa yang paling pantas dan siap ditanami pohon-pohon
rindu itu.” cerocos Jamil bertubi-tubi.
Ketika selesai berbicara, Jamil membuka matanya dan menoleh ke
arah temannya tadi. Ternyata bangku telah kosong. Sahabatnya sudah tidak ada ditempatnya! Dia pergi diam-diam saat si Jamil merem menghayati penjelasannya.
"A*u tenan........" umpat Jamil kesal.
"A*u tenan........" umpat Jamil kesal.
Oktober 12:29
Saat Hujan
Comments
Post a Comment