"Apakah Mereka Tidak Sekolah?"
Hal
apa yang pertama kali meletup dalam pikiran kalian saat mendengar kata ‘Ibu’?
Aku yakin seyakin-yakinnya, bahwa otak kita akan sigap mengais-ais sejumput asosiasi positif yang layak merepresentasikan kata tersebut. Entah itu
kematangan, kedewasaan, stabilitas, keluasan, kearifan, cinta, rindu, atau
kenyamanan. Tentu saja hal ini terjadi secara otomatis,
karena memang kesadaran terhadap peran vital ibu dalam kehidupan kita memang
sudah sebegitu memuncaknya. Proses kelahiran, pendewasaan, ataupun proses-proses yang lainnya tidak
bisa dilepaskan dari peran sosok satu ini. Sehingga ketika kata
keramat ini disebut, kita tidak akan secara sembrono
memilih kata-kata untuk disejajarkan
dengannya. Tentu saja, karena pengalaman personal yang berbeda, aku tidak bisa mendeskripsikan asosiasi yang
paling presisi tentang Ibu disini. Namun setidak-tidaknya kita tidak akan menolak, bahwa kata ‘Ibu’ membawa
semacam kedekatan emosional kepada kita.
Hal unik terkait paparan singkat diatas adalah
bahwa banyak tradisi lawas, yang entah didorong kesadaran macam apa, dengan
sangat hati-hati, mengasosiasikan Bumi dengan Kata Ibu. Dalam Tradisi Lisan Jawa
misalnya, sering kali pada Ujub (Do’a dalam bahasa jawa), terselip frasa ‘Ibu Bumi - Bopo Angkoso’. Bagiku, yang akhir-akhir ini mulai menggandrungi
hal-hal klasik, pemilihan label ‘Ibu’ untuk bumi ini adalah sebuah fenomena
yang cukup menarik untuk ditulis.
Aku
rasa, kata ‘Ibu’ yang melekat pada kata
Bumi adalah sebuah strategi psikologis yang patut dicermati. Aku yakin siapapun
yang dulu menelurkan frasa ini adalah seorang yang memiliki tingkat kecerdasan
yang sangat tinggi. Selain karena ketepatan
pemilihan kata untuk disandingkan, frasa ini juga sebenarnya bisa dianggap
sebagai strategi pembelajaran yang sangat ampuh. Kita semua tahu bahwa apa
saja, baik itu tontonan, buku, obrolan, atau guyonan, yang kita ‘konsumsi’
secara terus-menerus akan secara perlahan membentuk pola pikir kita dalam
memandang sesuatu. Sehingga penggunaan frasa ‘Ibu Bumi’ yang disembunyikan
dalam Ujub, yang notabene adalah
sesuatu yang sakral, dan dituturkan serta diturunkan dari generasi ke generasi
ini, dapat meresap hingga ke level kesadaran yang paling dalam. Hal ini pada
akhirnya berhasil membentuk pola pikir yang sangat indah, dimana mereka,
orang-orang yang kita anggap tradisional itu, menghormati bumi bak menghormati
ibu mereka sendiri.
Mereka
tidak berani bertindak macam-macam, atau sewenang-wenang terhadap bumi ini.
Mereka menjaga tindak tanduk mereka
terhadap ‘Ibu’. Merasa pekewuh, hormat dan
bahkan memberi ‘sedekah’ sebagai simbol ungkapan terima kasih mereka kepada
‘sang ibu’ karena telah memberikan pemenuhan terhadap kebutuhan mereka. Dan
dengan proses yang sudah berjalan bertahun-tahun ini, bangsa kita telah
menjelma menjadi sebuah bangsa dengan tingkat rasa sukur yang sangat tinggi, yang mau memberi sedekah, tidak hanya pada sesama
manusia saja namun juga Bumi yang telah dia angkat menjadi ‘ibu’ mereka.
Satu cerita unik yang kebetulan
sempat aku baca1, yang masih relevan dengan rasa hormat masyarakat tradisional terhadap
‘Ibu’ ini adalah tentang perjuangan orang-orang Mollo, di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Dikisahkan bahwa sembilan belas tahun yang
lalu, Aleta Baun, seorang aktivis lingkungan perempuan disana masuk dalam DPO
kepolisian Timor Tengah Selatan dan menjadi musuh Bupati setempat karena
sikapnya yang ‘keras kepala’ dalam menolak berdirinya tambang di tanah leluhurnya.
Dia dianggap menjadi dalang dalam aksi protes para perempuan Mollo yang
menduduki tambang marmer dengan menenun terus-menerus selama dua bulan!
Saat perjuangan tersebut dimulai, Aleta adalah
perempuan Mollo, anak seorang amaf, istri
seorang guru, dan ibu dari dua orang anak. Saat itu dia harus masuk kampung
untuk bertemu rakyat disaat petang, dan harus sudah lenyap menjelang matahari
terbangun. Ia bersama rakyat Mollo menghadapi intimidasi dan kekerasan oleh
preman bayaran perusahaan. Perempuan itupun pada akhirnya harus mengungsi
beberapa bulan, membawa bayinya yang berusia dua bulan, keluar-masuk kampung
serta bersembunyi di hutan.
Saat ditanya
perihal alasannya dan juga orang Mollo mau berjuang sebegitu hebatnya dalam
memelihara alam, dia mengungkapkan bahwa bagi orang Mollo, alam bagaikan tubuh
manusia. Mereka percaya fatu, nasi, noel,
afu, amsan a’fatif neu monit mansion. Batu sebagai tulang, tanah sebagai
daging, air sebagai darah, dan hutan sebagai kulit, paru-paru dan rambut.
Sehingga apabila alam rusak, itu berarti bahwa mereka merusak diri mereka
sendiri. Jika hutan yang diibaratkan sebagai kulit, rambut dan paru-paru rusak,
maka tanah akan menjadi miskin - tidak subur. Bila batu, yang bersinonim dengan
kerangka manusia, yang memberikan kekuatan dan bentuk, hilang maka saat hujan
tiba, yang mereka injak hanyalah rawa-rawa. Lebih jauh lagi, saat pertanyaan
digeser menjadi mengapa kaum perempuan yang paling menentang perusakan alam,
dia menjawab bahwa alam bagaikan tubuh perempuan yang menyediakan segalanya
bagi manusia!
Aku rasa kita semua
sepakat bahwa alam adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari manusia.
Bahkan manusia itu sendiri adalah bagian dari alam. Namun sayangnya, dengan
berkembangnya pola pikir dan kemajuan ilmu dan teknologi, manusia -kita seakan
lupa dengan ‘ibu’ yang sudah sangat tua ini. Kita seolah menarik diri dan
mengambil jarak dari alam. Kita ibarat anak yang ingin lepas dari kungkungan.
Lalu dengan landasan ilmiah, dengan pengetahuan tentang ekologi, ekosistem, oksigen,
fotosintesis dan pengetahuan mutakhir lainnya yang seharusnya bisa mengantarkan
kita kepada penghormatan kepada alam, kita malah bertindak sebaliknya. Kita
terlalu sewenang-wenang dengan alam, mengeksploitasinya dengan membabi buta,
mengisap isi perutnya tanpa aturan, menggunduli rambutnya dengan liar dan
melukai kehormatannya!
Mungkin sedikit berlebihan, namun aku hanya
khawatir saja, bahwa suatu saat ‘ibu’ yang sudah tidak tahan dengan kelakuan
anaknya ini akan marah. Dan melakukan seperti yang dongeng-dongeng tua itu
ceritakan. Bahwa ibu, dengan segala macam kelemah-lembutannya mendadak murka
dan merubah anaknya yang kurang ajar menjadi seonggok batu yang menangis. Dan
tentu saja kita tidak berharap, bahwa ‘ibu bumi’ kita tiba-tiba jengah dengan
kelakuan kita, dan tahu-tahu mogok berotasi barang sehari untuk memberi pelajaran pada anaknya, kan?
----------
Sebagai penutup tulisan ini, aku
ingin berbagi satu cerita yang bagiku menggelikan tapi juga mencubit kesadaran. Dalam sebuah
program TV swasta yang menyajikan
wawancara dengan tokoh-tokoh inspiratif, ada cerita yang menyentil kita semua.
Kebetulan saat itu narasumber program tersebut adalah wanita pendidik Suku Anak
Dalam, yang telah mendedikasikan hidupnya untuk memperkenalkan ‘sekolah’ kepada
suku Anak Dalam.
Dia mengisahkan pengalamannya saat membawa anak-anak Suku Anak Dalam keluar hutan untuk melihat kota -melihat kehidupan sebenarnya. Dia bercerita bahwa saat anak-anak Suku Anak Dalam tersebut melihat manusia membuang sampah di sungai-sungai, seketika itu pula salah seorang dari mereka dengan polosnya bertanya, “Bu Guru, apakah mereka tidak sekolah?”
Dia mengisahkan pengalamannya saat membawa anak-anak Suku Anak Dalam keluar hutan untuk melihat kota -melihat kehidupan sebenarnya. Dia bercerita bahwa saat anak-anak Suku Anak Dalam tersebut melihat manusia membuang sampah di sungai-sungai, seketika itu pula salah seorang dari mereka dengan polosnya bertanya, “Bu Guru, apakah mereka tidak sekolah?”
1 Wawancara lebih
lengkap silahkan baca; Ratih dkk, 2016, Merayakan Ibu Bangsa, Direktorat
Sejarah Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud
Comments
Post a Comment