Bagaimana Kalau Mereka Berpuasa?

    
Malam ini iseng-iseng aku membuka media sosial Instagram, berharap informasi tentang pengumuman beasiswa yang sedang aku lamar, keluar. Namun seperti hari sebelumnya, informasi terkait beasiswa non-degree tersebut belum juga dipublish. Sehingga niat awal untuk mencari informasi tersebut berubah menjadi scroll random foto di Instagram. Dan semakin jauh scroll IG, isu-isu yang sudah lewat masa ‘hangatnya’ berebutan nongol di medsos tersebut.


Dan sialnya kali ini tentang LGBT!

Aku tidak begitu tertarik sebenarnya tentang topik ini. Namun berhubung malam ini adalah minggu keempat “Kembali Menulis”, berarti aku harus menulis sesuatu. Aku dengan setengah hati akan mencoba mengorek apa saja ingatan yang ada didalam kepalaku yang berkaitan dengan empat huruf tersebut.

Oh iya, seingatku ada sebuah novel, yang diangkat dari kisah nyata, yang mengisahkan tentang “manusia-manusia spesial”. Novel yang bagiku memberikan sebuah pemahaman baru yang mungkin benar dan bisa juga salah. Calabai judulnya, Bahasa Bugis untuk Bencong.

Aku akan lompat ke inti cerita saja, karena memang mataku sudah terasa lengket. Singkat cerita, Di salah satu wilayah di Sulawesi Selatan, ada sebuah komunitas Bissu- komunitas penjaga tradisi yang mempunyai keistimewaan unik yang seringkali, karena keistimewaan tersebut, menjadi bulan-bulanan masyarakat yang kurang senang dengan eksistensi mereka. Bissu, pewaris adat dan tradisi luhur suku Bugis ini adalah manusia paripurna yang “lulus” dari kategorisasi gender.

Mereka laki-laki secara fisik, namun perempuan dari segi dandanan dan psikologis. Dijelaskan pula bahwa Bissu adalah tataran tertinggi sedangkan Calabai adalah tataran rendah yang masih terkungkung nafsu biologis. Menjadi Bissu bukanlah perkara mudah, karena memang selain dia harus mengalahkan nafsunya sendiri agar dia lulus menjadi pengemban amanah, dia juga harus ‘dipilih’ oleh semesta. Selanjutnya mereka diberi petunjuk melalui mimpi dan akhirnya dengan serangkain upacara adat disahkan menjadi seorang Bissu.

Berbicara tentang Komunitas Bissu, secara sistem gender, banyak antropolog yang mengungkapkan lima gender yang ditemui disana, di salah satu wilayah Bugis itu. Ada laki-laki, perempuan, laki-laki yang terlalu feminim (Calabai), perempuan yang terlalu maskulin (Calalai), dan terakhir adalah Bissu. Bila di ibaratkan jari tangan, jempol dan kelingking adalah laki-laki dan peremuan, telunjuk dan jari manis adalah Calabai dan Calalai sedangkan jari tengah adalah Bissu itu sendiri. Aku sudah bilang tadi bahwa menjadi Bissu bukanlah hal yang mudah, dari cap yang menyalahi kodrat, hingga nafsu yang harus dikekang sepanjang hidupnya.

Kebingungan demi kebingungan juga dirasakan oleh tokoh utama dalam novel tersebut. Dia merasa bahwa kondisi dan wataknya itu benar-benar memunggungi Agama yang dia kenal sejak kecil. Dia terus dilanda rasa cemas dan takut. Singkat kata, karena dia tidak bisa bertingkah layaknya “lelaki sejati”, dia sering mendapatkan amukan dari ayahnya. Dan ini pulalah yang membuatnya berlari menjauhi rumah. Pelarian inilah yang nantinya akan membawanya berkenalan dengan komunitas Bissu.

Perjalanan hidup memang penuh misteri. Diceritakan bahwa sang tokoh utama, setelah dinobatkan menjadi Bissu teratas, bertemu satu ulama nyleneh dalam perjalananya menghadiri undangan di luar pulau. Selama ini, sejauh pengalamannya, ulama selalu menentang keberadaan makhluk yang bernama Calabai itu. Bahkan konflik antara orang agama dan Calabai ini tidak jarang berujung pada kekerasan fisik. Namun sosok ulama yang satu ini malah bertindak sebaliknya. Dia bukannya menghindari kaum yang unik tersebut, tapi tanpa enggan berbaur dengan mereka. Membesarkan hati mereka dan menjadi teman mereka saat yang lain tidak mau melakukannya. Tentu saja hal ini mengundang rasa penasarannya “Mengapa seorang yang sewajarnya menentang keberadaan mereka, justru tanpa risih merangkul mereka?”

Novel tersebut juga diisi dengan dialog berbobot tentang alasan Ulama itu untuk tidak risih dengan manusia-manusia spesial tersebut. Intinya adalah bahwa yang dilarang dalam agama adalah tindakan, bukan watak atau yang mengarah pada karakter, karena memang karakter atau watak itu sebuah bawaan. Dia bukan produk yang dibuat-buat dan bisa diubah seenak udel sendiri.

Nah pertanyaannya sekarang adalah, mengapa Tuhan yang katanya Maha Segalanya itu bisa seolah “salah” memasukkan jiwa wanita ke tubuh lelaki atau sebaliknya? Kenapa Tuhan tidak adil dengan membiarkan mereka terkena diskriminasi sepanjang hidupnya? Mengapa Tuhan tidak adil, karena dengan misplacing tersebut, orang-orang special itu tidak mempunyai kesempatan untuk membangun rumah tangga? Ah jangankan rumah tangga, bahkan jatuh cintapun dosa buat mereka.

Jawaban dari rentetan pertanyaan tersebut, sesuai dengan dialog yang ada di novel, sebenarnya cukup sederhana saja. Kata si Ulama itu, bagaimana apabila yang dianggap “Ketidakadilan Tuhan” tersebut sebenarnya merupakan bentuk kasih sayang tuhan kepada mereka? kalau kita mau berfikir terbalik misalnya, bahwa mereka yang “salah wadah” tersebut sebenarnya adalah orang-orang yang diberikan privilege? Orang-orang special yang disuruh Tuhan untuk berpuasa sepanjang hayatnya? Berpuasa dari banyak hal, terutama dari dorongan birahinya? Karena memang ada banyak batasan, baik kultural maupun religi yang melarang mereka melakukan hal tersebut. Dan kita pasti tahu bahwa Puasa adalah salah satu Ibadah yang paling “Intim”, kan?.

Bagaimana semisal dengan mekanisme yang tadi, sebenarnya mereka diberikan sedikit “akses lebih” untuk dapat bisa lebih berkonsentrasi mengabdi kepada Tuhannya, tanpa harus repot memikirkan pasangan ataupun anak yang kata Tuhan dalam salah satu firmanNya adalah ujian? Bagaiaman bila, sebagaimana yang ditulis dalam novel tersebut, bahwa tidak sedikit yang memilih sendirian dalam hidupnya karena sudah menemukan kekasih kekalnya; Tuhan?

Bisa jadi kan, bahwa mungkin analogi puasa dan dialog dengan Ulama tadi merupakan penjelasan tentang keberadaan mereka? Sekali lagi, mereka bukanlah “kesalahan”. Mereka ada karena mereka memberikan pelajaran, bahwa kasih sayang Tuhan sangat beragam bentuknya.

Yang dilarang oleh agama pada mereka adalah “berbuka” dari puasa mereka, dengan “bertindak” merubah kelamin mereka, mengumbar nafsu mereka dengan sejenis, atau tindakan lain yang mengindikasikan "berbuka sebelum waktunya". Batasan mereka jelas; TINDAKAN. Mereka adalah orang yang diijinkan oleh Tuhan untuk selalu berjuang mengekang dorongan biologis dan psikis.

Para Bissu


Sekali lagi sebagai penutup, manusia special seperti yang ada di novel tersebut adalah orang-orang yang berpuasa. Sehingga selayaknya orang yang berpuasa, kita wajib menghargainya. Sedangkan LGBT adalah mereka yang berusaha untuk melegitimasi, membenarkan secara hukum, bahwa berbuka puasa sebelum saatnya, Mokel, itu sah-sah saja.







Comments

  1. I've found the real you in this writing. are you a bissu.........?
    Nice gan....ditunggu apdetan selanjutnya

    ReplyDelete
  2. This is so freaking weird!
    Jadi salah satu temanku yang orang Makasar juga sedang menjadikan novel ini sebagai objek tesisnya, dan kita baru aja berdiskusi mengenai usaha legitimasi kelompok LGBT menggunakan beberapa suara yg memiliki pengaruh kuat di beberapa industri (aka Caitlyn Jenner, Ellen, dkk), dan bagaimana novel ini memberikan insight yg menarik dengan memperkenalkan unsur mikir tapi bukan memberi judgement. This is such a good analysis, you should totally try to send it to a national academic publisher.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha apa yang di kirim yan? Tulisan ngawur gitu gak bakalan laku.. I just write it for fun 😂

      Delete

Post a Comment

Popular Posts