Bahasa
Mari sejenak mengingat-ingat….
Berapa banyak suku bangsa yang
mendiami wilayah Nusantara?
Cukup banyak,
tentu saja. Namun pastinya? Belum ada data yang sama. Ambil misalnya, buku
tulisan M. Junus Melalatoa berjudul Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Dia
berkata dalam buku terbitan sembilan lima itu bahwa ada sekitar empat ratus
suku bangsa yang mendiami Nusantara. Namun bila merujuk sensus dua ribu sepuluh,
malah ada 1.340 suku bangsa! Loh kok bisa?
Mungkin dua hal
tersebut mengacu pada hal yang berbeda, atau berangkat dari metodologi yang tak
sama. Tapi sudahlah ya, yang pasti dari satu suku saja, tercipta banyak sekali
budaya. Ambil contoh satu; Bahasa. Di Jawa saja, ada berbagai pilihan untuk kata
“Anda”. Mari kita coba data. Di wilayah Jawa Timur-Mataraman, kita punya Kowe, Awakmu, Sampean, Panjenangan, dan Sliramu. Bergeser sedikit ke wilayah
Tapal Kuda dan Madura, kita punya Kakeh,
Be’en, Dikah, Hedeh. Lalu, di wilayah berjuluk Sunrise of Java ada pula Jenengan, Riko, Peno, Siro. Selanjutnya, wilayah Arek, ada Koen (kon), wilayah Ngapak, ada Kowen, Sampeyan, Njenengan, juga Rika. Di ujung pulau Jawa, Di Sunda,
kata Anda punya banyak saudara. Ini contohnya; Maneh, Maraneh, Sia, Silaing, Anjeun, Anjeunna. Lalu di Ibu kota,
ada juga Loe, dan di kampung Arab,
ada Ente.
Tentu saja, data
itu banyak kurangnya. Karena memang bukan diambil dari baca-baca, namun sekadar
tanya sana-sini saja. Mau membenarkan? Silahkan saja. Saya sangat terbuka. Sekali
lagi ini baru dari segi Bahasa, dan dari satu kata; “Anda”. Dan, lihat coba, kita
sudah bisa mengkoleksi berbagai data. Memang bila berbicara tentang Budaya, tak
akan ada habisnya.
Sekarang bagaimana menurut anda tentang
Nusantara? Kaya? Iya, tentunya! Merasa bangga? Mari ambil Jeda.
Faktanya, menurut
Badan Bahasa, dari tujuh ratusan Bahasa, ada enam ratus empat puluh enam Bahasa
yang sudah terdata, enam puluh tujuh berada dalam bahaya, dan sebelas Bahasa
sudah hilang selamanya. Mau data yang sedikit berbeda? Kata pakar pemetaan
Bahasa, Prof. Dr. Multamia Lauder, tahun dua ribu enam belas, dari tujuh ratus
enam Bahasa, tiga belas diantaranya binasa. Hampir separuh dari tujuh ratusan
bahasa, mendapat prioritas perhatian utama, karena kondisinya menua menuju
senja, dan tujuh puluh lima lainnya sedang meregang jiwa karena penggunanya
hanya para generasi tua. Mengapa? Banyak alasanya. Dari anggapan sederhana yang
mempengaruhi isi kepala, hingga dominasi dan hegemoni budaya.
Sekarang apa? Bukankah itu sudah sewajarnya?
Bukankah dunia tidak terjadi apa-apa dengan hilangnya Bahasa?
Tahan saudara,
bila anda berfikir Bahasa hanya rentetan kata dengan makna, mungkin saya perlu
bertanya, apakah tidak ada “rasa” berbeda antara Bahasa daerah anda dengan
Bahasa, sebut saja, Indonesia? Orang Jawa misalnya, tentu punya kepekaan dan
rasa berbeda ketika berbicara pada orang tua dengan menggunakan Bahasa Jawa dan
Bahasa Indonesia.
Bahasa adalah
jendela seorang untuk melihat dan memahami dunia. Piranti mental yang berguna
untuk mengembangkan cara berfikir. Pendidikan karater yang menyimpan kekayaan
budaya. Sikap yang benar mengikuti cara berbahasa yang benar. Ketika kita
berbicara dengan orang tua, tentu saja bukan sekedar kosa kata yang kita pakai.
Tapi keseluruhan nilai dan norma. Kita menggunakan gestur dan nada suara yang
berbeda untuk orang yang berbeda. Jadi Bahasa adalah gerbang pertama untuk
memahami konsep dunia. Ah, sekarang sudah tahu, ya? Bahwa Bahasa, yang
merupakan anak dari Budaya, telah mengalami hal sedemikian rupa. Ada alasan mengapa
Bahasa saya jadikan contoh utama. Karena Bahasa adalah alat budaya yang paling
sering digunakan dibandingkan produk budaya lainnya.
(di poin ini saya mulai megap-megap karena
menulis dengan menggunakan akhiran a-a-a-a. akhirnya demi kemaslahatan tulisan
ini, yasudah, kita switch saja ke mode biasa yang lebih sederhana)
Jadi bila kita
pakai logika, bahasa merupakan sebuah produk budaya yang paling sering kita
gunakan. Kita berkomunikasi dengan Bahasa, kita bercerita dengan Bahasa, kita
becanda, mendongeng dan sebagainya dengan Bahasa. Sehingga memang Bahasa merupakan
produk yang paling aplikatif dari bentuk budaya lainnya.
Kebudayaan yang
lain, misalnya legenda, kebijaksanaan, permainan tradisional, mantra dan banyak
lainnya, ditransmisikan lewat Bahasa. Nah semisal Bahasa saja, yang berfungsi
sebagai jembatan sudah mulai hilang, bagaimana dengan budaya yang lain yang dimiliki
oleh sebuah perdaban Bahasa tertentu? Tentu akan sangat terpengaruh.
Tapi kan sekarang sudah ada translasi?
Kenapa harus bingung?
Well translasi
sangat membantu tentu saja, tetapi ketika sebuah Bahasa diubah kedalam Bahasa
yang lain, tentu saja rasanya akan sangat berbeda. Bahasa tercipta dari
kepungan rasa yang melahirkan kata dengan makna. Dia mempunyai ruang tersendiri
dilubuk masing-masing penggunanya. Besides,
ketika kita berbahasa norma dan nilai juga keluar bersama dengan kata. Jadi
bisa dipastikan bahwa translasi tidak akan punya daya untuk menggenggam sudut-sudut
tak terjangkau tersebut.
Sedikit cerita,
aku pernah melakukan penelitian dimana informan tempat aku menggali informasi
sempat berkeluh kesah kepadaku. Dia mengatakan bahwa seorang peneliti lain
meminta beliau untuk menerjemahkan sebuah mantra dalam Bahasa Indonesia. “Bisa
saja”, beliau berkata. Namun tetap tidak akan pas dengan rasa nuansa, dan suasana. Ya,
seperti kataku tadi, karena Bahasa juga lahir dari kepungan berbagai macam
rasa. Sebuah mantra dengan Bahasa dan sastra yang sangat tinggi, diminta turun
kasta dengan berubah menjadi Bahasa Indonesia yang setara. Tentu saja berbeda.
-------------
Bahasa, dan
segala bentuk budaya lainnya tentu saja mempunyai siklus yang sama. Dia lahir,
tumbuh menjadi dewasa, berkembang menjadi tua, dan mungkin hilang ditelan
senja. Namun tentu saja akan sangat bijaksana bahwa kebudayaan, apapun
bentuknya, bersama-sama kita jaga. Kita hidup-hidupi, kita Uri-uri. Karena sejatinya kebudayaan inilah yang merupakan pembeda
antara kita dan mereka.
Disclaimer: Well, honestly aku
tadi pengen nulis tentang Gatara dalam
tulisan ini. However, it turns out to be
like this somehow. Probably nanti lah aku tulis tentang Gatara, dan juga personilnya yang luar
biasa. Anyway sorry for the unstructured ideas, blurred points, and typos. Happy writing!
Comments
Post a Comment