Pacet dan Bekicot (Catatan Wilis 4)


Perut telah terisi. Bungkusan dari rumah yang berisi nasi dengan lauk oseng bekicot, telur dadar, dan sambal, sedang diolah menjadi suplai energi untuk memasuki hutan Wilis yang berada tepat di hadapan kami.

“Hutan yang pekat”. Batinku.

Tumbuhan besar yang berdesakan menegaskan betapa hutan ini masih perawan. Pikiran saya seketika melayang pada Alas Tengah di Gunung Arjuna. Sebagaimana namanya, Alas Tengah merupakan area di Gunung Arjuna yang ditutupi oleh pepohonan tua yang menguarkan suasana mencekam. Padatnya tumbuhan di Alas Tengah membuat sinar matahari harus bersusah payah untuk melakukan penetrasi. Hal ini membuat udara di sekitar Alas Tengah cukup kontras dengan area lain di Gunung Arjuna. Tidak sampai di situ, keberadaan situs tua yang dinaungi oleh gubuk semi permanen, serta ditulisi Aksara Jawa berbunyi Rahayu, berhasil melipatgandakan nuansa angker di Alas Tengah Arjuno. Bagi saya, beberapa tahun yang lalu, area Alas Tengah inilah yang berhasil memaksa saya mempercepat langkah kaki saya, betapapun rasa lelah yang mendera.

Di Alas Tengah, bertahun yang lalu


_______

Setelah lepas dari perkebunan, kami langsung didekap oleh lebatnya hutan. Pepohonan yang berdesak-desakan membuat saya kegirangan. Bayangan saya kembali menari-nari pada sosok Alfred Wallace, yang gemar blusukan ke hutan. Saya melempar pandangan ke sekeliling. Warna cokelat dari tanah dan hijau dari pepohonan memonopoli pandangan. Saya mencoba menghirup udara hutan Wilis sedalam mungkin. Dedaunan seolah menguarkan aroma yang mendamaikan. Tanah yang basah seakan tak mau kalah. Aromanya yang hangat berebut merambat ke indra penciuman saya. Segar sekali. Saya tersenyum. Setelah pendakian terakhir di Merbabu tahun 2018 lalu, akhirnya berselang dua tahun, saya bisa kembali merasakan kebebasan seperti dulu lagi.

Trek di bibir hutan masih terasa aman. Jalan setapak yang masih jelas terlihat membuat kami dengan mantab mengayunkan kaki menelusuri Gunung Air ini. Kami berjalan dengan formasi yang berubah-ubah. Hafidz, Faisal, Syahrul, Danis, Sayit, lantas Saya. Semua meminggul bawaan sendiri. Saya membawa logistik, sementara Sayit membawa tas carrier besar yang berisi tenda, dan tiga botol air untuk persediaan selama pendakian. Tas logistik dan Tenda tersebut bergantian menempel di punggung saya dan Sayit. Setelah beberapa saat, jalan setapak yang kami lalui mulai dibajak oleh belukar liar.

“Mas jalurnya mana!?” dari depan, Hafidz, berteriak. Dia yang berada di depan bertanya pada anggota lain yang sebenarnya sama-sama tidak tau.

Saat itu, jalan setapak yang kami ikuti sudah tak terlihat. Belukar setinggi orang dewasa berhasil menyembunyikannya. Saya sendiri cukup kebingungan melihat jalan yang seolah terputus. Setelah mengedarkan pandangan, saya meyakinkan diri bahwa jalan yang sedang kami tuju inilah yang benar.

“Ya ini, loh, jalurnya. Westo yakin aja!” Jawab saya.

Setelah mengatakan hal tersebut, saya kemudian pindah ke depan lantas mengambil golok yang ada ditangan Hafidz. Untungnya, kami membekali diri dengan Golok yang cukup tajam untuk antisipasi. Saya mulai menebas belukar yang juga berisi tanaman berduri. Duri-duri ini memaksa kami harus ekstra hati-hati karena lengah sedikit saja tangan dan kaki harus siap berdarah.

Setelah tebas sana-sini, singkat cerita, akhirnya jalan setapak kembali nampak. Kembali kami berjalan dengan lebih tenang. Dari kejauhan ranting pohon bergemerisik. Saya mendongakkan kepala, mencoba melihat apa di atas sana. Kawanan monyet berlarian melihat kedatangan kami. Mereka ketakutan. Padahal semisal bisa, saya ingin mengatakan bahwa kami tidak ingin menyakiti mereka. Bahwa kami ingin menumpang bertamu barang sehari untuk kembali menikmati sunyi. Lepas pikir dari penat kota dan berita tentang Corona.

Namun saya memaklumi ketakutan hewan-hewan tersebut. Memang, manusia akhir-akhir ini mulai terlampau rakus. Perutnya seolah selalu merasa lapar. Sehingga ia mulai memakan apa saja. Dari binatang, kayu-kayuan, hutan, bebatuan, laut, hingga perut bumi pun dihisapnya. Seolah tak boleh ada setetespun yang luput dari perut mereka. Hal itu meninggalkan Ibu Bumi dalam keadaan terluka. Pantas saja hewan-hewan mulai merasa curiga tiap kali melihat manusia. Acap kali, karena rumah mereka sudah diekspansi, para hewan datang ke ladang, untuk mencari makan. Bisa dipastikan, mereka yang datang untuk bertahan hidup dicap sebagai hama, atau pengganggu yang wajib dimusnahkan. Padahal mereka tidak akan turun ke pemukiman andaikata rumah mereka masih baik-baik saja. Hmmh...

Semakin dalam memasuki hutan seluruh indera saya serasa semakin dimanjakan. Aroma dedaunan basah yang sesekali ditiup angin makin menyeruak memenuhi udara. Flora yang beraneka ragam seolah menari-nari di depan kami. Suara serangga yang bermacam melayangkan pikiran ke masa lalu: ke dongeng-dongeng dimana manusia dan alam masih merupakan sahabat baik, kepada kampung halaman yang damai, kepada masyarakat tradisi yang arif dan bersahaja.

Kami tiba di salah satu “ikon” di Wilis. Salah satu hal yang khas dari jalur awal pendakian di Wilis adalah adanya belukar yang bertumpuk-tumpuk ambruk namun tertahan ranting tanaman dibawahnya. Dedaunan dari pepohonan tinggi yang rontok turut tertahan di reranting di bawahnya. Beban yang semakin berat membuat ranting tersebut tertunduk. Hal ini menciptakan sebuah lorong alami yang membuat kami para pendaki harus merayap untuk memasukinya. Sayang sekali, saya tidak sempat memotret lorong unik ini.

Ndeprok


Lantai hutan wilis didominasi oleh guguran dedaunan. Sinar matahari yang kesulitan masuk, serta udara yang lembab, membuat dedaunan itu senantiasa basah. Hal ini menjadikannya rumah yang nyaman untuk binatang Pacet. Iya, setiap kali beristirahat selain untuk mengatur nafas yang sudah tersengal-sengal, kami juga melakukan razia kaki. Pacet si penghisap darah ini melakukan aksinya dengan sangat baik. Saat menghisap darah, kami tidak merasakan apapun. Tau-tau, si pacet akan menggemuk di kaki kami. Diantara kami, Hafidz lah yang paling jijik dengan pacet ini, beberapa kali dia mengumpat histeris saat mengetahui kakinya dirubung pacet!

ehe, cekrek

Setelah berjalan hampir tiga jam, kami akhirnya tiba di pos 2, yakni pos Watu Godek. Kami beristirahat sejenak melepas lelah. Track Wilis yang terus menanjak dan licin menguras energi kami. Selain itu, jalanan lebar untuk sekadar duduk juga jarang ditemui. Gunung yang tidak seberapa tinggi ini cukup membuat kami kewalahan. Alhasil, kami berjalan lumayan pelan seperti bekicot yang kami makan di awal perjalanan...........


(Bersambung)

Comments

Popular Posts