Belajar Menjadi Hidung


               
Hidup adalah perjuangan. Begitu kata beberapa orang. Entah itu perjuangan mendapatkan kemapanan, perjuangan untuk lepas dari rasa takut, rasa tidak nyaman atau hal lain yang serupa. Setiap manusia menemukan medan perjuangan mereka sendiri. Mereka yang dibesarkan dengan belitan kemiskinan akan mempunyai medan perjuangan yang berbeda dari mereka yang tumbuh besar dari keluarga dengan fasilitas yang cukup.

   Begitulah barang kali satu tafsir dari luasnya hidup. Namun, terlepas dari ragam perjuangan yang begitu banyak, kita, manusia, kemungkinan harus berangkat dari satu medan perjuangan yang sama. perjuangan yang tidak berakhir. Sebuah perjuangan untuk belajar menjadi Hidung.

Hidung adalah salah satu dari lima indera yang dititipkan Tuhan kepada kita. Dalam bahasa Jawa, kelima indera tersebut disebut panggodo, pangrungu, pangroso, paningal dan pangucap. Hidung atau panggodo dapat dikatakan sebagai indera paling jujur diantara kelima indera tersebut. Tidak seperti indera lain yang masih mau diajak ‘kompromi’, hidung cenderung menolak. Kita akan menutup hidung seketika, atau sekedar menahan napas -untuk keperluan sopan santun-, ketika aroma tidak sedap masuk kedalam hidung. Tak peduli dari mana asal aroma tersebut. Ini sedikit berbeda dengan mata misalnya, yang masih saja mau menatap apa yang sebetulnya bukan jatahnya untuk ditatap.

  Di dalam khazanah budaya Jawa, pembahasan tentang indera manusia tersebut juga disandingkan dengan perkara yang lebih sublim. Ada sebuah konsep mahsyur yang disebut papat kiblat limo pancer yang sangat cair. Daya mulititafsirannya yang sarat akan teka-teki membuat filosofi ini menjadi cukup menggairahkan untuk dilucuti. Sering kali hal ini dikaitkan dengan kosmologi, dan bahkan tidak jarang juga dikatakan bahwa ini adalah kunci untuk menemukan Guru Sejati.

Aku sendiri mendengar konsep ini pertama kali dari seniorku saat latihan silat, dulu sekali. Saat kami duduk melingkar dan mendengarkan uraian makna symbol yang sesak dengan nilai filosofi. Saat itu ketertarikanku hanya seperti korek api; menyala terang, panas, kemudian mati. Namun ternyata hidup memang seperti rantai. Sambung-menyambung membentuk sebuah arti. Lama sekali, setelah korek dan api, aku dipertemukan lagi dengan konsep ini. Tepatnya saat melumat bangku pendidikan tinggi.

Baik, kembali ke soal papat kiblat limo pancer tadi. Salah satu tafsir yang bisa diperas dari filosofi ini adalah tentang nafsu yang melekat pada manusia. Diyakini bahwa saat memasuki alam dunia ini, manusia dibekali dengan empat saudara (Kadang papat). Uniknya, saudara kita ini berbentuk nafsu yang selalu merantai kita. Mereka adalah nafsu Aluwamah, Amarah, Supiah, dan Mutmainah. Dari keempat nafsu tersebut, hanya ada satu nafsu baik yang bisa menuntun kita pada jalan yang lurus. Kepungan tiga nafsu ‘buruk’ yang lain itulah yang membuat manusia Jawa menyebut kehidupan di dunia ini sebagai Jaman Kabendu atau ujian.   

      Lebih jauh lagi, keterkaitan antara nafsu dan indera yang kita miliki dapat ditemukan dalam Serat Wulang Reh yang ditulis oleh Pakubuwono IV. Dijelaskan bahwa nafsu Aluwamah (Lawwamah) adalah nafsu yang berasal dari perut dan keluar melalui mulut (Pangucap). Nafsu ini disimbolkan dengan hati yang berwarna gelap/hitam, dan merupakan sumber dari rasa lapar, haus, dan kantuk. Tentu saja kita boleh memperluas interpretasi kita pada kata ‘lapar’, ‘haus’, dan ‘kantuk‘ tersebut, untuk menemukan makna dan kemungkinan yang lebih dalam dan kontekstual. Selanjutnya, nafsu Amarah. Nafsu ini disimbolkan dengan hati yang berwarna merah. Nafsu yang keluar dari telinga (Pangrungu) ini berasal dari empedu, dan merupakan sumber dari emosi, iri hati serta angkara murka. Sedangkan nafsu Supiah (Sufiyah) adalah nafsu yang menimbulkan birahi, kerinduan, keinginan dan kesenangan. Nafsu yang disimbolkan dengan hati yang berwarna kuning ini bersumber dari limpa dan timbul melalui mata (Paningal). Nafsu terakhir, yakni Mutmainah (Muthmainah) yang merupakan nafsu baik, berasal dari tulang dan ditamsilkan sebagai hati yang berwarna putih bersinar. Nafsu ini adalah sumber dari kebaikan, keutamaan dan keluhuran budi. Nafsu ini muncul melalui hidung.

      Sampai di titik ini aku mulai menduga-duga, bahwa sebenarnya ada keterkaitan yang lebih lebar antara filosofi ini dan dunia medis. Satu contoh, rasa iri dan dengki akan bisa berpengaruh pada kesehatan mental. Penelitian dari Dr. Anna-Maija Tolppanen (1998) dari University of Eastern Finlandia misalnya mengungkap bahwa kecenderungan orang iri untuk mengidap Demenesia lebih tinggi. Hal ini juga didukung oleh Dr. Shigeo Haruyama dalam bukunya “The Miracle of Endorphin (2014)” yang menggambarkan bahwa rasa iri akan menghasilkan hormon racun (Nor-Adrenalin) yang dapat menimbulkan kerusakan dalam tubuh dan mengganggu sel-sel dalam diri manusia. Siapa tahu bahwa bagian terburuk yang rusak karena rasa iri tersebut adalah empedu, yang merupakan asal dari nafsu Amarah berdasarkan Serat Wulang Reh diatas.

 Penjelasan tentang nafsu diatas sebenarnya juga mendapatkan porsi dalam seni budaya Jawa. Salah satunya melalui pertunjukan wayang. Cerita kelahiran Dosomuko, Kumbokarno, Sarpokenoko, dan Wibisono adalah personifikasi dari wujud empat nafsu tersebut. Wayang, selain berfungsi sebagai hiburan (tontonan), juga berfungsi sebagai tuntunan. Sehingga dapat dipahami bahwa penanaman akan kesadaran terhadap nafsu dan turunannya tersebut sudah dilakukan oleh para maestro pewayangan sejak dahulu kala.  
            
    Dari uraian tadi, dapat kita ketahui bahwasanya konsep hidung dan panca indera mengandung nilai yang sangat mendalam. Perjuangan untuk belajar menjadi ‘hidung’ bukan sekedar belajar menahan nafas (kejujuran). Lebih luas dari pada itu, belajar menjadi hidung juga bermakna pengendalian diri atas tiga nafsu lain, serta perjuangan untuk menegakkan sifat-sifat baik yang melekat padanya.
                 
               


Comments

Popular Posts