“Apa Olahragamu Sekarang?”

Iya, itu adalah pertanyaan sederhana yang biasa terucap antara saya dan teman masa kecil, sekaligus tetangga saya, Rizal. Kami tumbuh dan mengabiskan masa kecil bersamaan. Jarak rumah kami yang hanya selemparan batu membuat kami akrab. Layaknya anak desa pada umumnya, saya bermain dan berbagi banyak pengalaman dengan sosok yang tiga tahun lebih muda dari saya ini. Adu Jangkrik, adu ikan cupang, beli ikan mas kecil-kecilan, mandi di sawah, panjat pohon, main bentengan, gobak sodor, dan sebagainya merupakan sebagian aktifitas keseharian yang saya lewati dengan Rizal. Kombinasi desa dan ketiadaan gadget kala itu membuat aktivitas fisik menjadi pilihan yang paling memungkinkan dan, pastinya, menyenangkan.

Singkat cerita, seiring berjalannya waktu, kami juga menyukai olahraga. Kami sama-sama main sepak bola, badminton, renang, dan olahraga lainnya. Namun, harus saya akui bahwa Rizal jauh lebih unggul dari saya dalam hal olahraga. Fisiknya yang lebih mumpuni membuatnya lebih unggul dari saya di beberapa olahraga, kecuali berenang (saya bisa berenang lumayan lama, sih *shombong). Saya pun sebenarnya mengawali fitness di gym juga dengan Rizal, dan memang power dan endurancenya lebih baik dari saya.

Anyway, ada satu hal yang sering kali kami tanyakan saat lama tidak bertemu atau berbincang. Biasanya, selain menanyakan kabar, hal lain yang sering kami pertanyakan adalah tentang olahraga, “Olahragamu apa sekarang?”. Itulah pertanyaan yang sering kali keluar dari kami. Biasanya pertanyaan tersebut dilanjut dengan pertanyaan apakah kami masih melakukan jenis olahraga yang dulu sempat masing-masing dari kami geluti, “masih main badminton?”, “masih nge-gym?”, “masih renang?” dan sebagainya.

Sederhana memang, dan nampaknya memang obrolan yang sangat ringan saja. Namun, akhir-akhir ini, saya berpikir bahwa pertanyaan seperti itu sejatinya bukan hal yang remeh. Pertanyaan tersebut harusnya juga muncul di berbagai obrolan siapa saja. Ya, tentang olahraga. Olahraga merupakan sebuah kebutuhan, seperti halnya makan dan bernafas.


Terdapat segudang manfaat dari olahraga yang saya rasa sudah dipahami semua orang, mulai dari mengurangi kadar kolesterol dalam darah, membakar kalori, menyehatkan jantung (cardio), mencegah obesitas, mengurangi resiko diabetes, hingga tidur lebih berkualitas. Saat ini, ditemukan pula beragam penelitian terbaru tentang relasi antara olahraga dan fungsi otak hingga kesehatan mental.

Faktanya, olahraga meningkatkan sirkulasi darah ke otak dan memengaruhi hypothalamic-pituitary-adrenal axis (HPA). HPH ini berperan dalam memediasi beberapa bagian dalam otak, seperti sistem limbik (mengontrol suasana hati), amiglada (menimbulkan rasa takut), hingga hipokampus (berperan dalam membentuk memori dan suasana hati). Sirkulasi darah yang optimal ke otak juga membuat otak bisa menyerap nutrisi yang dibutuhkan untuk terus berfungsi secara optimal. Dari sini, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa olahraga sejatinya “memberikan makan” pada otak.

Olahraga juga memberikan dampak yang signifkan dalam proses penyimpanan memori. Hal ini dijelaskan oleh neuroscientist Wendy Suzuki yang menemukan bahwa aktifitas fisik meningkatkan level neurotransmiter seperti dopamin, serotonin, noroadrenalin yang berkaitan erat dengan kebahagian, mood, hingga ketenangan. Sehingga seorang yang rutin melakukan olahraga bisa dibilang mood dan emosinya lebih stabil. Seorang yang hobi dengan olahraga juga lebih kebal dari stress. Stress biasanya menggumpal di beberapa bagian tubuh tertentu, seperti punggung bagian belakang, perut, kaki, dada, leher, bahu, dan sebagainya. Dengan menggerakkan (olahraga) bagian-bagian tersebut stress akan dilepaskan oleh tubuh. Karena itulah, para psikolog sering kali menyarankan olahraga sebagai salah satu alternatif untuk meredakan stress dan kecemasan.

Lebih jauh, olahraga juga mengubah anatomi, fisiologi, dan fungsi otak. Wendy juga mengatakan bahwa olahraga mampu menciptakan sel baru dalam otak, terutama pada bagian hipokampus. Hal ini menjadikan volume hipokampus menebal. Penebalan ini berkorelasi dengan fokus dan daya ingat manusia. Lebih lanjut, Wendy juga menjelaskan bahwa  layaknya otot, otak terutama bagian hipokampus dan prefrontal cortex, akan semakin kuat dengan olahraga. Dua area tersebut merupakan bagian yang cukup rentan dengan penyakit-penyakit neurodegeneratif seperti demensia dan alzheimer yang hingga saat ini belum ada obatnya. Oleh karenanya, olahraga bisa membuat otak kita lebih kuat dan mampu mengurangi resiko terkena dua penyakit tersebut.

Namun sayangnya, saat ini kemudahan yang diciptakan oleh teknologi membuat kita semakin malas bergerak (mager). Kini, kebanyakan manusia sering terjebak pada pola hidup yang pasif (sedentary). Padahal segudang resiko membayangi pelaku pola hidup seperti ini, mulai dari obesitas, serangan jantung, stroke, darah tinggi, dan sebagainya.

Dengan berbagai macam informasi yang telah tersedia di mana-mana, seharusnya kita mau bergerak lebih aktif dari sebelumnya. Harus ada perubahan paradigma yang besar tentang olahraga. Kita harusnya menganggap bahwa olahraga adalah investasi besar yang harus ditempuh sepanjang hayat. Olahraga bukan sekadar gaya-gayaan, melainkan kebutuhan. Kita harus ingat bahwa sakit itu mahal., dan sakit sebenarnya merupakan konsekuensi dari akumulasi atas apa yang sehari-hari kita lakukan.

Jadi, sebagaimana bertanya kabar, pada percakapan siapapun, pertanyaan “olahragamu apa sekarang?” juga harusnya muncul dan menjadi salah satu menu wajib untuk dibahas.

Terakhir, sebagai penutup, saya ingin mengutip quote yang cukup bagus di bawah ini:

“The body will become better at whatever you do, or don’t do. You don’t move? The body will make you better at NOT moving. If you move, your body will allow more movement.”

— Ido Portal

 

Comments

Popular Posts