Pemanasan
Saya mempunyai keinginan terpendam sejak dulu. Keinginan yang terus menyiksa karena tidak saya lakukan dengan segera karena alasan ini-itu, yang sebenarnya dibuat-buat. Keinginan itu bisa dibilang sederhana atau sebaliknya. Keinginan saya hanya agar saya bisa menulis dengan konsisten. Entah konsisten itu dua kali seminggu, sekali seminggu atau syukur-syukur setiap hari.
Berbincang tentang menulis, seingat
saya, pertama kali saya menulis di blog adalah pada tahun 2014. Saat itu merupakan
tahun kedua saya di Universitas. Layaknya anak-anak yang baru bisa melakukan
sesuatu, saya sangat getol dan cukup konsisten dalam menulis. Saya menulis sampah-sampah
di dalam kepala saya. Dari pikrian absurd hingga refleksi dari apa yang saya
temukan dalam keseharian saya saat itu.
Sebenarnya kalau diingat-ingat
lagi, jauh sebelum tahun 2014 itu, saya sudah berusaha untuk menulis catatan
harian di buku agenda. Saat berada di bangku SMA hingga saat belajar di Pare-Kediri,
saya beberapa kali membeli buku agenda untuk dijadikan catatan harian saya. Hal
itu terinspirasi dari catatan bapak yang sempat saya lihat. Dan sejak itulah
saya berusaha juga mencatat banyak hal, walaupun tidak ada yang bertahan lama.
Endurance dan level istiqomah saya masih setipis kertas. Dan itu membuat saya
berhenti menulis lagi di tengah jalan.
Selanjutnya, pada awal kuliah,
tahun 2012, saya dan teman saya merasa pelajaran di kampus masih kurang. Alhasil,
saya meminta waktu untuk belajar pada dosen saya, Bu Indah kala itu, untuk
memberikan waktu ditengah kesibukannya agar bisa mengajari kami secara lebih
intens. Saat itu, bu Indah yang cukup sibuk memberikan tugas pada kami untuk
menulis catatan harian dengan bahasa Inggris dan harus disetor setiap minggunya.
Barulah tahun 2014, saya mulai membuat Blog dan menumpahkan isi kepala saya di
sana.
![]() |
pixabay |
Pengalaman dan keinginan
menulis tersebut nampaknya telah menggumpal dan diserap oleh sel-sel dalam tubuh
dan menjadi semacam memori yang “menyiksa saya” apabila saya tidak melakukan
hal tersebut. Memang kalau dipikir, menulis memberikan segudang manfaat. Diksi
yang semakin kaya, sensitifitas dalam melihat dan merasakan sesuatu, kelegaan
karena telah mengeluarkan apa yang barangkali mulut tidak bisa ungkapkan, keterkejutan akan isi tulisan yang berbeda dengan niat awal menulis, hingga satu-dua komentar atau DM atau pesan yang mengatakan bahwa tulisan saya memengaruhi
seseorang merupakan contoh kecil manfaat menulis yang saya
rasakan.
Akhir-akhir ini, setelah
sekian lama absen menulis, memori tersebut kembali meraung-raung. Meminta saya
untuk kembali menulis di tengah rutinitas dan dinamika perkerjaan baru. Saya
rasa, keinginan tersebut juga merupakan sinyal dalam diri saya untuk bisa lebih
peka dalam menangkap moment dan merawatnya dalam tulisan. Jujur, beberapa waktu
ini banyak hal yang terasa terlepas begitu saja, seperti laju anak panah. Semua
syukur seolah tenggelam, nikmat seakan kurang, dan keberkahan seolah hilang. Hal
inilah yang barangkali membuat saya harus kembali menyulam cerita lewat
tulisan. Mencari nikmat dan apapun yang bisa ditangkap dalam kejadian seharian,
agar tidak lepas begitu saja.
Tulisan ini mungkin menjadi
semacam ancang-ancang atau pemanasan untuk bisa konsisten lagi menulis. Beberapa
waktu kedepan, menuju ramadhan, saya harap saya dapat lebih tenang, kontemplatif,
dan reflektif sehingga banyak hal bisa terjaring dan menjadi tulisan. Ya, seperti kata
pepatah, hanya air yang tenang yang dapat menangkap satu getaran atau tetesan kecil
yang menimpanya.
uwu~
ReplyDelete