Colombo dan Nasi Warna-Warni #Catatan Sri Lanka 3
Badan masih terasa
pegal dan nyawa belum sepenuhnya terkumpul saat kami harus berpindah tempat
untuk bersiap melanjutkan perjalanan ke negara tujuan kami, Sri Lanka. Penerbangan
kali ini memakan waktu sekitar dua jam perjalanan. Dan sekali lagi, letak
geografis Sri lanka yang berada di sebelah barat Kuala Lumpur, membuat kami harus
melipat waktu. Aku dan Gilang duduk bersebelahan dengan satu penumpang dari Tiongkok
yang kebetulan juga sedang terbang ke Sri Lanka untuk kegiatan volunteering di Kandy, salah
satu wilayah yang dulunya sempat menjadi pusat Kerajaan Sri Lanka. Awalnya
penumpang ini merasa enggan bercakap dengan kami, namun setelah sedikit obrolan
tentang film, dia akhirnya mau terbuka dan bercerita panjang lebar tentang dirinya
dan negerinya.
Dengan keterbatasannya
berbahasa Inggris dia mencoba menjawab pertanyaan kami yang beruntun. Tidak jarang
dia menggunakan kamus dalam hand phone nya untuk membantu menjelaskan maksudnya
kepada kami. Dia menjelaskan bahwa di negaranya, internet sangat dibatasi,
Google, Gmail, Facebook dan banyak aplikasi lain dilarang di negeri tirai bambu
tersebut. Dia juga menjelaskan bahwa pilihan ideologi negaranya juga membuat
rakyatnya seolah menjadi sorotan negara-negara besar di dunia, terutama
Amerika.
Gedung parlemen Sri Lanka |
Setelah
beberapa saat, akhirnya pesawat mulai landing. Aku melihat keluar Jendela. Hijau.
Kami tiba di Sri Lanka saat matahari sudah menggantung di atas. Suasana bandara
yang ramai dengan berbagai warna manusia membuatku sadar bahwa aku sudah
lumayan jauh dari rumah. Tidak lagi aku dengar percakapan dalam bahasa
Indonesia, kelakar-kelakar politik khas warung kopi, tidak ada suara takbir
yang menggema seperti di bandara Juanda dan Kuala Lumpur ataupun pernik khas
syawal yang begitu kental di Indonesia. Semua berganti baru. Aku menyapukan
pandangan ke beberapa tempat, dan manusia dengan beragam kesibukannya terhampar
di depanku.
Gagak |
Setelah mendapatkan
barang bawaan kami masing-masing, kami akhirnya keluar bandara dan dijemput
panitia konferensi yang akan kami ikuti. Tidak lupa, kami menukarkan uang
Dollar kami dengan mata uang lokal, di tempat penukaran uang asing yang
tersebar tepat di pintu keluar bandara. Butuh sekitar setengah jam untuk
mencapai kota Colombo, tempat konferensi diadakan. Jalan yang nampak baru dan
beberapa rawa menjadi pemandangan yang tersaji sebelum memasuki ibu kota negara
ini. Dan saat perkotaan mulai menampakkan wajahnya, aku disergap rasa takjub oleh pemandangan di depanku. Kuil-kuil Budha yang betebaran di sudut kota,
wanita yang berjalan dengan pakaian Sari, bus-bus jadul yang
selama ini hanya aku lihat di film-film bollywood, kendaraan mirip Bajaj yang
disana disebut Tuk-Tuk, serta banguan klasik yang berbaur mesra dengan
gedung-gedung modern. Dan tidak ketinggalan, aksara-aksara asli Sri Lanka yang
bersanding harmonis dengan alfabet latin, semua bahu membahu menciptakan kesan
Colombo yang “nano-nano”.
bukan iklan Khong Guan |
beling |
berbagai aksara |
Kota Colombo
ini berbatasan langsung dengan bibir pantai. Pada akhir tahun 2004, saat
Tsunami melumat Aceh dan beberapa negara di Asia Tenggara, Colombo juga sedikit
terimbas. Colombo merupakan kota pelabuhan yang sedang begeliat dengan
pembangunan sehingga pemandangan kontas masih bisa ditemukan di sana-sini. Ibarat
slilit yang bersembunyi di sela-sela
gigi, di Colombo, bangunan-bangunan sederhana juga masih bisa di temui di tengah
gedung-gedung megah yang berjejalan. Kompleks pertokoan yang dibelah
parit-parit yang tidak jarang menguarkan bau kurang sedap, Tuk-Tuk dan kereta
api yang sudah termakan waktu, hingga alfabet asli Sri Lanka yang masih sering
ditemukan di sudut-sudut kota membuatku merasa seolah-olah memasuki mesin waktu
yang melemparkanku ke masa silam dan masa depan secara bersamaan.
Selama di
Colombo, aku tinggal di salah satu home
stay yang terletak agak jauh dari Hotel Galadari, lokasi konferensi
diadakan. Homestay ini cukup hommy dengan arsitektur dan pernik khasnya. Untuk
masalah kuliner, aku tidak begitu bereksplorasi dengan makanan lokal. Aroma rempah
yang terlampau kuat di masakan sana membuatku kurang begitu berselera.
Seingatku hanya bihun, roti dan nasi goreng saja yang sempat aku nikmati di
warung pinggir jalan Colombo. Selebihnya, aku menyuplai kebutuhan logistik dari
makanan hotel yang disediakan panitia konferensi secara gratis, hehe.
sarapan bihun |
Selain
makanan gratis dari konferensi, untuk memenuhi kebutuhan logistik selama disana
terutama saat malam hari, aku hanya mengandalkan KFC yang berada tidak jauh
dari lokasiku menginap. Penetrasi kultur
Sri Lanka yang sangat kuat ternyata juga berhasil mempengaruhi restoran asal
Paman Sam ini. Nasi di restoran opa Sandres itu tidak berwarna putih, namun berwarna-warni
khas Sri Lanka dan negara Asia selatan Lainnya.
Nasi warna-warni |
Bersambung ..................
Comments
Post a Comment