Jadi Bule di Sri Lanka #Catatan Sri Lanka 4
Berbelanja Sari |
Sama
halnya dengan Indonesia, negara yang berlambang singa di benderanya ini adalah
negara yang cukup kenyang dengan penjajahan. Mulai dari Portugis, Belanda
hingga Inggris semua pernah mencicipi manisnya kekayaan bangsa yang didominasi oleh
ethis Sinhala ini. Jejak peradaban dan penjajahan di Sri Lanka, terutama saat
negeri penghasil teh ini berada dibawah cengkraman kuku-kuku Belanda, terekam
jelas di Dutch Museum yang ada di Colombo, yang secara kebetulan kami kunjungi.
Salah satu hiasan di sudut museum |
bagian dalam museum |
taman di tengah bangunan |
Kami
tidak sengaja ‘menemukan’ museum ini pada hari terakhir kunjungan di Sri Lanka.
Niat awal yang ingin berbelanja buah tangan di pasar terdekat membawa kami
berkenalan sedikit lebih dalam dengan negara penggila olah raga kriket ini.
Lokasi museum ini terletak di lekukan pasar yang kami kunjungi. Kontras dengan
kondisi pasar yang hiruk pikuk dengan berbagai aktifitas, ketika memasuki
museum yang dulunya merupakan rumah gubernur Belanda tersebut, suasana lengang
langsung terasa menusuk. Bangunan yang sudah dijilat jaman tersebut masih jelas
menguarkan citra rasa Eropa klasik. Pilar-pilar besar yang menopang bangunan
serta taman di dalam gedung yang tertata apik dapat mempertahankan suasana kompeni di tengah kota Colombo yang
padat.
Museum ini,
terlepas dari kondisinya yang kurang terawat, menyimpan berbagai koleksi dari
masa silam terutama koleksi-koleksi berbau Indonesia. Kursi rotan khas Indonesia, lemari-lemari dari kayu jati, beberapa sempel
rempah, komoditas masa kolonial, hingga keris tergeletak manis di museum yang
sempat bergonta-ganti fungsi tersebut. Hal tersebut terjadi karena memang kita
sempat sama-sama berada dibawah jajahan negara kincir angin itu, sehingga
proses silang budaya sangat mungkin terjadi.
berasa di kampung sendiri |
komoditas dagang jaman penjajahan |
Berbicara
tentang proses silang budaya, konon katanya jauh sebelum era kolonialisme, Sri
Lanka juga telah berinteraksi dengan Nusantara lewat kultur Budha nya yang
sangat kuat. Budha adalah agama mayoritas di negara tersebut, maka tidak heran
banyaknya kuil-kuil Budha yang tersebar di Colombo bak jamur di musim hujan.
Danau Beira |
Kami sempat
mencuri waktu di sela-sela kegiatan konferensi untuk pergi berkeliling
mengunjungi landmark Colombo. Dan Kuil Budha (Vihara) Gangaramaya menjadi salah
satu lokasi yang kami kunjungi saat itu. Vihara yang terletak tidak jauh dari
Danau Beira tersebut merupakan salah satu pusat aktivitas keagamaan Budha yang
ada di kota Colombo. Selain sebagai pusat ibadah, vihara yang dulunya sempat
menjadi rumah bagi para pelajar Budha ini juga berfungsi sebagai museum. Hal
tersebut dapat dilihat dari berbagai macam barang-barang kuno yang tersimpan
rapi di dalamnya.
Patung Budha |
Kami beruntung
saat itu karena kami bisa melihat potongan rambut Budha, sesuatu yang pastinya cukup langka, dipamerkan disana. Selain itu, menurut penuturan sopir tuk-tuk
yang merangkap menjadi Tour Guide dadakan, di kuil ini juga terdapat satu pohon
suci, pohon Bodhi yang merupakan tempat moksa sang Budha. Oh iya, vihara ini
juga menyimpan replika candi Borobudur, candi Budha terbesar di dunia buatan
wangsa saylendra itu, loh.
Potongan rambut Budha |
Sri Lanka
merupakan negara yang mengakui pentingnya agama dalam kehidupan bernegara
mereka. Bahkan konon bendera Sri Lanka yang terdiri
dari tiga warna dominan tersebut juga merupakan representasi dari agama-agama
yang ada di sana.
Pohon Bodhi |
Manusia Sri
Lanka adalah manusia yang terbuka dan suka mengajak ataupun diajak berbicara. Layaknya
beberapa tempat di Indonesia, dimana masyarakatnya masih memandang ‘WAH’
wajah-wajah asing, orang-orang disana juga sangat antusias dengan wajah-wajah
non pribumi. Kami yang berwajah Melayu ini tidak jarang didekati oleh orang
lokal (terutama sopir tuk-tuk) dan diajak berbicara. Seringkali mereka mencoba
menebak negara asal kami. Beberapa mengira kami berasal dari China, Korea, atau
Malaysia. Namun sayangnya tidak ada yang memasukkan Indonesia pada tebakan
mereka. Padahal aku sudah mempersiapkan kamera tersembunyi dan hadiah kejutan
bagi mereka yang bisa menebak dengan benar #berasakuis. Namun setelah kami
jelaskan bahwa kami berasal dari Indonesia, mereka langsung antusias menanyakan
tentang negara kita ini.
Balada cinta segitiga sang gagak |
Tidak jarang
juga beberapa dari mereka, mungkin saking antusiasnya atau ingin dipamerkan pada sanak famili, meminta berfoto dengan kami. kamipun dengan senang hati melayani permintaan mereka, cekrek-cekrek, ganti gaya,
cekrek-cekrek, kurang lebay, ganti gaya lagi, cekrek-cekrek, kurang hot ganti
gaya lagi ahhh begini ternyata
rasanya menjadi ‘Bule’ hehe. Di kesempatan lain, sempat salah seorang sopir
tuk-tuk mengajak kami bertandang ke rumahnya. Namun karena keterbatasan waktu,
kami terpaksa menolak ajakan tersebut, walaupun itu juga berarti menolak
kemungkinan makan gratis.
Oh iya,
sekedar warning saja, bagi cowok yang berwajah non pribumi dan kebetulan
travelling ke Sri Lanka, siap-siap saja dengan tawaran para supir tuk-tuk yang kemungkinan
besar akan menawarkan tempat-tempat ‘pijat plus’ dan hiburan malam di Colombo.
Supir-supir tersebut cukup agressive dengan wajah-wajah asing, dan tanpa tedeng aling-aling mereka langsung to
the point menawarkan ‘hiburan dewasa’ itu.
salah satu spot |
Mungkin mereka mengira wajah-wajah asing selalu berkantong tebal, padahal tidak jarang bahwa tekad mereka lah yang lebih tebal daripada kantong mereka! Banyak dari bule-bule itu yang juga mengidap Kanker (Kantong Kering), seperti kami ini muehehe. Tapi ora opo-opo, seng penting mBonek, Coy!!!
Untuk hal 'pijat plus' tadi, aku sendiri mengalaminya saat naik salah satu Tuk-Tuk. Dengan setengah berkelakar, sopir tersebut menjelaskan ‘menu’ hiburan basah tadi lengkap dengan bandrol harganya. Tentu saja
Namun hal yang
lebih mendebarkan sempat terjadi saat salah satu supir tuk-tuk nekat membawa
kami ke salah satu panti pijat di sudut Colombo. Kami yang sudah ngotot menolak
dengan berbagai alasan tidak dihiraukannya. Dia tetap banting setir,
meliuk-liuk menuju tempat rekomendasinya tersebut. Singkat kata, kami tiba di
lokasi ‘pijat plus’ tersebut dengan perasaan bercampur aduk dan jantung yang
dag-dig-dug! Sialnya, si sopir tadi nampak tidak menggubris wajah kami yang
mulai kehilangan darah itu. Tidak punya pilihan lain, kami akhirnya masuk
bangunan berbentuk rumah tersebut. Sontak aroma wangi yang sangat kuat dan
lampu yang temaram menyergap hidung dan pandangan kami.
Namun anehnya
ruangan tunggu bangunan tersebut masih kosong, sepi tidak ada penjaga dan
pelanggan yang nampak. Sopir nekat ini akhirnya memanggil-manggil salah seorang
yang nampaknya sudah dia kenal baik. Setelah beberapa saat, seorang wanita
dengan rambut masih basah muncul dan berbicara pada si sopir bahwa jasa pijat
masih tutup! Kami datang terlalu pagi! Ahh langsung saja plong..... nafas yang
sedari tadi tertahan akhirnya bisa lepas lancar kembali. Darahpun mulai mengalir lagi ke
wajah kami....Kami tersenyum penuh kemenangan sedangkan si sopir tertunduk dan mendengus
kesal hehehu.
Bersambung
...............
Comments
Post a Comment