Jaman Enem
Penelitian
etnografi itu hampir mirip dengan proses pencarian dan pembuatan madu oleh
lebah. Kita harus “terbang” kesana-kemari dengan jarak super dan kepastian yang
sangat minim untuk kemudian hinggap ke bunga satu ke yang lain dan menyesapi
sari-sari nektar yang bersembunyi didalamnya. Penenelitian lapangan, dalam hal
ini tentang folklore, mewajibkan penelitinya terjun ke masyarakat dan
berinteraksi dengan orang-orang sepuh dan warga lokal yang menyimpan ‘Nektar’
berupa sari-sari cerita yang tersimpan dalam memori kolektif mereka. Peneliti
berkewajiban untuk menggali dan menyamakan frekwensi dengan para pewaris cerita
tersebut, menggunakan pisau analisa yang tepat, agar sari-sari ilmu tersebut
dapat terurai dan terserap dengan rapi. Dan ibarat madu yang baru bisa tercipta
setelah nektar dicampur enzim pemecah gula, cerita rakyat folklore pun butuh treatment tertentu agar bisa di konsumsi dan
diserap nutrisi-nutrisinya. Karena tak bisa dipungkiri bahwa cerita rakyat, folklore, adalah puncak karang es di
tengah lautan. Terlihat kecil dan sederhana, namun apabila diselami, konstruksi
di dalamnya bisa saja membuat kita geleng-geleng kepala.
Dok pribadi: Mbah Misni, salah satu sesepuh Kelud |
Dalam konteks tradisi lisan, salah satu bentuk
nekhtar yang cukup potensial untuk dijadikan madu yang bisa di pelajari dan
eksplorasi adalah Ujub. Ujub, mengutip pendapat Woodward,
adalah pembuka oleh tuan rumah yang bertujuan untuk menyambut tamu, menjelaskan
tujuan acara (biasanya slametan) dan
menyebutkan siapa saja yang didoakan serta kepada siapa hidangan yang ada tersebut
ditujukan. Lebih jauh lagi, Woodward juga menjelaskan bahwa Ujub bukan sekedar pembuka semata. Namun
ada paling tidak lima tujuan religius didalamnya (tidak diuraikan di sini).
Dari beberapa Ujub yang sempat aku rekam, ada satu
ujaran yang menurutku cukup bagus dan bisa didiskusikan tanpa menggunakan pisau
analisis yang njlimet. Ujaran sederhana
tersebut berbunyi seperti ini;
“........... Lan ngaturi sedekah mule metri dateng empu engkang ngripto pusoko
arupi, keris tumbak lan sanes-sanesipun lan pujonggo engkang ngrekto dinten
pitu pekenan gangsal wuku tigang doso sasi rolas tahun wolu windu sekawan jaman enem...........”.
Jaman
Enem itulah
yang kali ini ingin aku tulis. Singkatnya, dari penjelasan sesepuh itu didapatkan bahwa Jaman
Enem adalah sebuah proses panjang yang dilalui oleh manusia dalam mencapai
alam langgeng, atau alam kekal. Dia adalah sebuah diksi sederhana yang dipilih
oleh pujangga jaman dahulu guna mengingatkan asal usul, tahapan dan tujuan penciptaan.
Enem yang berarti enam memang
merupakan jumlah yang menggambarkan banyaknya tahapan tersebut. Menurut orang
Jawa, enam jaman atau tahapan yang harus dilalui tersebut adalah Jaman Purwo
atau wiwitan, Jaman Kapurbo, Jaman Karoso, Jaman, Kabendu, Jaman Kubur, dan
Jaman Langgeng.
Jaman Purwo adalah Awalan, ia
merupakan proses yang menjadi pemula dari proses selanjutnya. Dalam beberapa
wawancara, Jaman Purwo ini seringkali diibaratkan dengan kata awang-awang dan uwung-uwung (Kosong). Tahap dimana semua masih asing dengan
kehidupan. Selanjutnya menurut penuturan sesepuh yang sama, Jaman Kapurbo
adalah jaman penciptaan. Dalam tahap ini, manusia diciptakan melalui perantara
Bopo-Biyung, Ayah dan Ibu. Proses ini mengantarkan manusia berpindah domisili
sementara dalam rahim sang ibu dan memasuki Jaman Karoso. Jaman Karoso adalah
tahapan dimana manusia mulai tumbuh dan menempel dalam rahim sang ibu kurang
lebih selama sembilan bulan. Karoso itu sendiri sepertinya berasal dari kata
kroso, karena dari uraian narasumber, pada tahap Jaman karoso ini, semua anggota
keluarga, terutama sang ibu kroso atau
terasa tidak enak/bebas. Semua serba terbatas, aktifitas menjadi terbatas, makanan
yang dimakan juga harus lebih dipilah-pilah, olah raga juga harus disesuaikan
dengan kondisi. Belum lagi kalau terkena alergi ini itu atau penyakit selama
kehamilan. Semua pasti terasa, semua Karoso.
Setelah melewati Jaman Karoso,
manusia memasuki Jaman Kabendu. Kabendu sendiri artinya hukuman, sehinga jelas
posisi manusia di dunia ini sebenarnya adalah diuji. Dunia adalah Ujian, apakah
kita nanti keblinger atau tidak, itu
semua kembali kepada individu dan bimbingan yang Maha Segalanya. Jaman Kubur
tentu saja ditapaki setelah kita meninggalkan Jasad materil. Kita memasuki
jaman penantian untuk menuju Jaman Langgeng, Jaman terakhir yang menentukan
dimana kita akan menetap selamanya.
Kita bisa saja mencoba
mengaitkan elaborasi tersebut dengan kepercayaan kita masing-masing sehingga memperkuat
rasa penasaran kita terhadap rajutan historis yang mendorong terciptanya karya
sastra lisan tersebut. Atau mungkin sebaliknya, kita mengambil posisi oposisi
yang siap dengan beribu argumen yang membenturkan warisan lisan tersebut dengan
kepercayaan masing-masing. Semua kemungkinan sangat terbuka, semua terserah
sikap kita dalam melihat puncak karang es tersebut. boleh saja kita berhenti sampai disitu,
atau dengan haus bereksplorasi ke wilayah-wilayah yang masih menyimpan
misteri......
Yang jelas, nektar masih selalu menunggu untuk diubah
menjadi madu.
Comments
Post a Comment