Di balik Asrama
Minggu
ini pikiranku seolah tersedot pada satu buah artikel dari majalah yang
diberikan oleh seorang yang benci dengan ucapan terima kasih. Tulisan ringkas
itu sebenarnya mengulas tentang Fabel, perannya sebagai bahan ajar,
asal-usulnya, jejaknya di beberapa relief candi, serta perkembangan fabel itu
sendiri.
Namun bagian yang berhasil memancing rasa penasaranku adalah uraian tentang salah satu fabel yang berjudul Tantri Kamandaka yang merupakan adaptasi dari Pancatantra, yang muncul pertama kali di wilayah Khasmir India dan menyebar ke wilayah Eropa hingga Asia Tenggara.
Namun bagian yang berhasil memancing rasa penasaranku adalah uraian tentang salah satu fabel yang berjudul Tantri Kamandaka yang merupakan adaptasi dari Pancatantra, yang muncul pertama kali di wilayah Khasmir India dan menyebar ke wilayah Eropa hingga Asia Tenggara.
Singkat
kata, cerita ini berkisah tentang seorang raja bernama Maharaja Esvaryapala yang mendapatkan pendidkan dari istrinya.
Tantri, seorang wanita cerdas yang menikahi raja tersebut, berhasil memberikan
pelajaran yang sangat berarti kepada sang raja dan menterinya melalui cerita
berbalut fabel.
Nah, bagian spesifik yang membuatku tertarik adalah bahwa pengajaran yang dilakukan oleh Tantri, istri raja tersebut, dikaitkan dengan sistem pengajaran Hindu-Budha dan Jawa Kuno, yang disebut Āśrama! Kata Āśrama yang kini diadopsi dalam Bahasa Indonesia menjadi kata Asrama inilah yang berhasil mengobok-obok rasa penasaranku.
Nah, bagian spesifik yang membuatku tertarik adalah bahwa pengajaran yang dilakukan oleh Tantri, istri raja tersebut, dikaitkan dengan sistem pengajaran Hindu-Budha dan Jawa Kuno, yang disebut Āśrama! Kata Āśrama yang kini diadopsi dalam Bahasa Indonesia menjadi kata Asrama inilah yang berhasil mengobok-obok rasa penasaranku.
Secara harfiah, kata Āśrama
berakar dari kata śrama yang bermakna “melelahkan diri”
dalam bidang pendidikan. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa kata śrama ini, sangat dekat dengan upacara Yajna karena kaitannya dengan ritual tapas (tapa) dan arcana
(pemujaan).
Orang yang belajar dalam sistem Āśrama, atau disebut śramana, harus belajar mengolah pikiran dan perasaan serta berjuang menghadapi musuh terbesar mereka; Dirinya sendiri! Proses pembelajaran yang tak mudah seperti inilah yang pada akhirnya membuat para śramana mampu secara objektif melihat sesuatu dari segala macam sudut pandang.
Satu hal yang harus digaris bawahi disini adalah bahwa sistem pendidikan Āśrama ini sama sekali bukan sistem indoktrinasi. Pemahaman dan kesadaran tumbuh sebagai buah dari kesadaran dan kemauan mereka dalam bekerja keras didalam sistem Āśrama.
Selanjutnya, kesadaran dan kemauan keras inilah yang pada akhirnya membuat mereka peka dalam melihat gejala dan fenomena disekitarnya. Nilai hidup dan hasil kontempelasi tersebut kemudian disebarkan dengan bahasa-bahasa yang beraneka ragam, yang salah satu perwujudannya berupa fabel.
------
Orang yang belajar dalam sistem Āśrama, atau disebut śramana, harus belajar mengolah pikiran dan perasaan serta berjuang menghadapi musuh terbesar mereka; Dirinya sendiri! Proses pembelajaran yang tak mudah seperti inilah yang pada akhirnya membuat para śramana mampu secara objektif melihat sesuatu dari segala macam sudut pandang.
Satu hal yang harus digaris bawahi disini adalah bahwa sistem pendidikan Āśrama ini sama sekali bukan sistem indoktrinasi. Pemahaman dan kesadaran tumbuh sebagai buah dari kesadaran dan kemauan mereka dalam bekerja keras didalam sistem Āśrama.
Selanjutnya, kesadaran dan kemauan keras inilah yang pada akhirnya membuat mereka peka dalam melihat gejala dan fenomena disekitarnya. Nilai hidup dan hasil kontempelasi tersebut kemudian disebarkan dengan bahasa-bahasa yang beraneka ragam, yang salah satu perwujudannya berupa fabel.
------
Siapa menyangka, bahwa kata seperti “Asrama” saja
mempunyai sejarah dan asal-usul yang sedemikian panjang. Bagiku yang memang
sangat dangkal ilmu, hal ini adalah sesuatu yang cukup mengesankan dan membutku
berfikir ulang terhadap banyak hal di sekelilingku.
Artikel ini juga mengembalikan ingatanku pada cerita dosenku tentang asal-usul kata pengemis yang ternyata dimulai dari kebiasaan Paku Buwono X dalam memberi sedekah pada rakyatnya di hari Kamis sore (Jawa: Kemis-Ngemis-Pengemis), atau cerita asal-usul kata gedhang yang berarti terima kasih dalam Bahasa Belanda (God Dank), Sepur (Jawa) dari kata Spoor, hingga sapaan khas Batak, “Horas” yang konon kabarnya berasal dari Mesir!
Artikel ini juga mengembalikan ingatanku pada cerita dosenku tentang asal-usul kata pengemis yang ternyata dimulai dari kebiasaan Paku Buwono X dalam memberi sedekah pada rakyatnya di hari Kamis sore (Jawa: Kemis-Ngemis-Pengemis), atau cerita asal-usul kata gedhang yang berarti terima kasih dalam Bahasa Belanda (God Dank), Sepur (Jawa) dari kata Spoor, hingga sapaan khas Batak, “Horas” yang konon kabarnya berasal dari Mesir!
wah baru tau aku sejarahnya, aku masih penasaran sama kata "Jomblo", tolong dong pak ketua jelasin secara harfiah dan juga historisnya.
ReplyDeletetks ilmunya panutanqueeh...
Boleh-boleh...meskipun bukan filolog, boleh lah kata jomblo dijadikan salah satu Project riset bersama..
DeleteTelat terus duh!
ReplyDeleteMaap-maap... Lek ga kepepet dedlen gabisa mikir otak saya.. Wkwkw
DeleteMusuh terbesar manusia adalah diri sendiri, bener banget Man.. entah itu kemauan/motivasi ke diri sendiri atau untuk nahan nafsu. Pembahasanmu selalu menarik Man 👍Btw, ngekos termasuk asrama nggak Man? Hehe
ReplyDeleteBener nov... Ya itu tantangan terbesarnya... Ngalahin diri sendiri... Masalah ngekos, sepertinya bisa di masukkan kategori Asrama for beginner wkwk
Deletehead linenya, lho,,,, dibalik Asrama,
ReplyDeleteaku fikir apaaa.... haahaha :D
Haha biar penasaran aja mbak...
Deleteapik, baru tau aku suhu. coba cari sejarah kata Asmara mans
ReplyDeleteDasar wong tuna Asmara... Wkwkw
Deleteapik, baru tau aku suhu. coba cari sejarah kata Asmara mans
ReplyDelete