Mencari Pak Tri (Catatan Wilis 1)
Wilis. Sudah sejak lama nama itu menempel di kepala saya. Pegunungan
yang membentang di enam kabupaten tersebut tak pernah gagal mengusik rasa
penasaran saya. Setiap kali perjalanan menuju Kediri, atau kota di utara
Tulungagung, pegunungan gagah tersebut seolah muncul, mengintimidasi, sekaligus
menggoda untuk didaki. Dari atas motor bebek, saya selalu mencuri pandang
sembari menyelipkan harapan, untuk suatu saat bisa menjamah Gunung yang sempat
dilewati Panglima Sudirman saat
melakukan Serangan Satu Maret tersebut.
Sebenarnya, Wilis bukan hal baru bagi saya. Satu dekade yang lalu, bersama
teman SMP, saya menjejakkan kaki di lereng Wilis untuk pertama kalinya. Kami
disuguhi pemandangan yang serba hijau. Perpaduan antara perkebunan teh, Candi
kuno Penampihan, serta segarnya udara gunung berhasil menghipnotis saya.
Ingatan tersebut masih samar-samar membekas di kepala. Selanjutnya, saat
menginjak bangku SMA, saya bersama dengan BOPAL (Bocah Pecinta Alam),
organisasi pecinta alam SMA, berkesempatan melakukan camping tepat
di sebelah air terjun Lawean,
yang juga berada di lekukan lereng Wilis. Untuk mencapai air terjun ini, kami
harus berjalan berjam-jam dan menerobos lebatnya hutan Wilis yang masih
perawan. Sensasi petualangan itulah yang benar-benar membekas dalam diri saya.
Saya girang betul saat itu, membayangkan diri saya sebagai naturalist kenamaan
seperti Alfred R. Wallace yang keluar masuk hutan untuk meneliti dan menemukan
aneka biota yang masih terselubung misteri. Pengalaman tersebut terus hidup,
dan mendorong saya untuk sesegera mungkin masuk lagi ke belantara Wilis, untuk
merambati puncaknya.
_______
Satu minggu yang lalu, tepatnya tanggal 16 Juni 2020, keinginan yang telah
memfosil tersebut akhinya terealisasi. Bersama dengan lima orang anggota
lainnya, saya akhirnya menjejakkan kaki lagi ke gunung berapi yang
sedang tertidur itu. Tidak ada satu pun dari kami yang pernah mendaki gunung
Wilis hingga puncak. Dua diantara kami bahkan bisa dibilang pertama kali
mendaki gunung. Namun berbekal keyakinan yang kuat, serta keinginan yang
menggebu-gebu untuk mengusir kebosanan selama PSBB, kami akhirnya nekat melesat
mendaki gunung tersebut. Sebelumnya, saya mencari kontak penjaga Wilis guna
memastikan pendakian masih diijinkan. Setelah mendapatkan jawaban bahwa “Wilis
tidak pernah ditutup”, kami ber enam mantab pergi ke sana.
Karena alasan jarak, kami memilih jalur pendakian via Candi Penampian.
Setelah berkendara selama satu jam, kami akhirnya tiba di wilayah sekitaran
Candi pukul 12.30. Saat memasuki kompleks Candi, suasana hening, dan nuansa
hijau segera menyergap pandangan kami. Saya mengedarkan padangan ke sekeliling,
lantas memejamkan mata sejenak. Saya mencoba menarik nafas dalam-dalam.
Merasakan udara segar pegunungan mengaliri rongga paru-paru. Senyum saya
merekah merasakan nostalgia. Pikiran saya melesat pada satu titik waktu.
Setelah terakhir kali mengunjungi candi yang menurut cerita rakyat berasal dari
penolakan cinta Dewi Kilisuci terhadap pembesar Ponorogo ini bertahun-tahun
yang lalu, akhirnya saya kembali lagi kesini. Pikiran saya sibuk memunguti
serpihan memori yang tercecer pada daun-daun teh dan batuan tua prasasti Candi.
Sisa Candi (Dok. Pribadi) |
Candi Penampihan masih sama seperti yang saya ingat. Prasasti
yang kokoh masih berdiri di lantai satu sementara sisa bangunan Candi berupa
bata bersimpuh damai di lantai dua. Selain itu, pohon tua yang teramat besar
tetap setia menaungi kompleks candi tersebut, seolah tak rela bangunan suci itu
dihajar panas dan hujan. Nuansa hijau dari kebun teh yang tinggal sepetak,
ditambah dengan gemericik air dari petirtaan, menciptakan racikan sempurna yang
menentramkan siapapun yang datang. Candi yang telah melintasi tiga jaman
tersebut seolah menolak dijilat waktu. Waktu seakan kelu di hadapannya. Ia
masih gagah mengabarkan cerita yang tidak akan pernah habis kita sesapi. Saat
itu, entah mengapa tiba-tiba pikiran saya melayang pada sajak Pak
Sapardi.
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu.
Kita abadi.
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?”
tanyamu.
Kita abadi.
Ah, Pak Sapardi, pandai sekali anda merangkai kata. Pantas saja….………..
“Mas, ini jalurnya di mana?” Teriak Hafidz, salah satu tim
ekspedisi nekat ini.
Pertanyaan tersebut
membuyarkan lamunan saya. Saya yang tersadar bahwa tidak ada dari kami yang tau
jalur, langsung mencari orang lokal untuk ditanyai. Saya memutar mengelilingi
kompleks candi yang masih tertutup tersebut. Saat itu, memang ada empat orang
yang mengunjungi candi. Dua orang sedang menunggu juru pelihara Candi,
sementara dua lainnya sedang mandi di petirtaan. Tapi tidak satupun di antara
mereka adalah orang asli, sehingga mereka tidak bisa dimintai informasi.
Setelah memutari area Candi saya akhirnya menemukan satu orang yang sedang
mencari rumput di sekitar bekas kebun teh di atas area candi. Saya bertanya
tentang jalur dan lokasi penitipan sepeda motor.
“Oh ke Pak Tri saja.
rumahnya di paling ujung. Tidak ada rumah habis itu.” Jawab si Bapak yang saya
tak tahu namanya.
“Rumahnya mana, ya, Pak?” Tanya saya memastikan.
“Jalan ini terus naik, nanti ada pertigaan, belok sampai ketemu rumah
paling ujung di situ rumah Pak Tri.” Jawabnya lagi.
Setelah mengucapkan terima kasih, saya bergegas
memberitahukan hal tersebut ke teman-teman yang lain. Langsung motor kami geber
lagi. Mencari lokasi rumah pak Tri. Singkat kata, kami sampai pada ujung jalan
yang berupa pertigaan. Kami mengikuti jalan aspal untuk mencari rumah pak Tri
tersebut. namun anehnya, rumah itu tidak kami temukan! Bahkan, jalanan yang
kami tempuh semakin lama semakin menuju arah yang sepi. Tidak ada rumah, hanya
jalanan lengang yang tak tampak ujungnya.
Kabut gunung perlahan
merambat turun, udara mulai menggigit kulit. Langit sedari tadi menampilkan
gumpalan awan kelabu. Siang hari terasa gelap saat itu. Semakin mengikuti
jalan, perasaan saya semakin tidak enak. “Sepertinya ada yang tidak beres”,
batin saya. Kondisi jalan yang sepi membuat perasaan saya tak karuan. Tentu saja
saya tidak mengungkapkan kekhawatiran itu ke teman-teman yang lain. Akan
tetapi, kepala saya seolah membengkak dengan pertanyaan bernada curiga. “Apa
benar ini jalan ke rumah Pak Tri?”, “Siapa itu Pak Tri?” Pertanyaan seketika
berkembang biak. “Apakah Pak Tri benar-benar ada?”, “Siapa orang yang saya
tanya tadi?”, “Apakah itu orang?”. Pikiran saya seketika tersedot pada pohon
tua yang menguarkan nuansa mistis tadi.
Degh… “jangan-jangan?????”…………….
(bersambung)
Jadi pengen tau si wilis hee... keren ka lanjutkan
ReplyDeleteMakasi, Lid.
DeleteCerita ini tidak valid krn tidak ada saya!
ReplyDeleteAyok debs.. Latihan fisik, siap2 gunung Jabar
Delete