Dari Pak Pri ke Pak Waseno (catatan Wilis 3)
Berbekal arahan dari Pak Pri,
saya dan Faisal turun untuk menemui Pak Waseno. Saat tiba di sekitaran lapangan, seorang lelaki gondrong
berusia kira-kira 48 tahun memanggil kami.
“Sini, Mas!” Panggilnya sambil berjalan ke arah kami.
Ternyata Pak Waseno telah mendapatkan informasi
perihal kedatangan kami dari Pak Pri di atas tadi. Kami diarahkan menuju
rumahnya yang juga menjadi basecamp
para pendaki Wilis via Penampihan. Pak Waseno berperawakan padat. Dengan
rambutnya yang gondrong ikal dan dikucir membuat siapapun yang pertama kali
melihatnya akan menyimpulkan bahwa Pak Waseno ini adalah orang yang sangar,
atau kasar. Namun kesan tersebut akan segera luntur setelah satu menit bercakap
dengannya.
“Hmm, tadi saya sudah dapat info dari Pak Pri, Mas,
soal sampean yang mau naik ke Wilis.
Tapi gimana, ya, kondisinya masih seperti ini, loh.” Cerocos Pak Waseno.
Ia mengambil sebatang rokok, lantas memainkannya di
jarinya.
“Kemarin juga banyak yang mau naik. Tapi saya tidak
berani kasih ijin. Lha wong dari sono
belum dibuka.” Ujar lelaki tersebut tanpa menatap kami.
“Wah, jadi memang belum dibuka, ya, Pak? Sebelum kami,
juga banyak yang di tolak, ya?” Timpal saya.
“Iya, Mas, gara-gara Corona ini semua jadi serba
sulit. Saya sudah cetak tiket banyak sekali, tapi ternyata Corona datang tanpa
permisi. Semua ditutup dan jadi sepi. Ngga ada lagi pendaki. Ada pun kami ngga
berani kasih ijin.” Ungkap Pak Waseno. Matanya menerawang ke depan seperti
memikirkan sesuatu.
Saya mengerti bahwa Corona merupakan pukulan telak
bagi perekonomian bangsa. Seluruh lini kehidupan terinfeksi dan menjadi lesu.
Dan, saat ini saya sedang bercakap dengan salah satu orang yang merasakan langsung dampaknya.
“Baik, Pak, kami paham. Jadinya bagaimana, ya?” Jawab saya
buru-buru takut larut dalam cerita.
“Gimana ya, Mas. Saya ini serba ngga enak. Serba
salah. Sebentar, ini berapa orang? Sudah ada yang pernah naik?” Selidik Pak
Waseno.
“Kami berenam, Pak. Tidak ada yang pernah mendaki
Wilis sebelumnya, tapi kalau mendaki gunung lain, sudah.” Jawab saya
meyakinkan.
“Yasudah, Mas, ini saya ijinkan naik, tapi tidak saya
kasih tiket. Jadi intinya tetap boleh naik, bayar sesuai tarif, tapi statusnya
ilegal. Gimana?” Tawar Pak Waseno.
“Aaahhsssiyaaapppp!” Seru kami berdua tanpa pikir
panjang.
_____
Setelah membayar uang tiket tanpa mendapatkan tiket,
kami kembali melesat ke rumah Pak Pri. Teman-teman yang lain telah menunggu
kami di sana dengan wajah penuh harap. Sesampainya di rumah Pak Pri, segera
saya mengabarkan kesepakatan tadi. Pak Pri kemudian mempersilahkan kami untuk memarkirkan
motor kami di depan rumahnya yang sangat alami.
Kapitu farm terletak di ujung bukit. Tidak ada lagi
rumah setelah itu. Persis dengan yang diucapkan lelaki di sekitaran candi itu. Hanya
ada hamparan hijau perkebunan yang mengepung rumah itu. Dinding lereng Wilis
yang kerap dirambati kabut membuat suasana semakin eksotis. Beberapa tanaman,
seperti sawi dan cabai ditanam di dalam polybag di depan rumah kebun tersebut.
Kapan saja mereka ingin memasak, pemilik rumah hanya perlu pergi ke depan
rumah, dan memetik sayurannya. Dengan suara binatang yang menghanyutkan, suasana
yang ditawarkan Kapitu Farm menjadi semakin spektakuler.
Pak Pri sendiri adalah pendatang dari Malang, bersama
dengan istri dan anak-anaknya, ia telah tinggal di Kapitu farm selama lebih
dari satu dekade. Pria bercucu satu tersebut sedikit terlihat hati-hati kepada
kami. Wajar, ditengah banjir informasi tentang pandemi, siapapun akan menjadi
lebih waspada kepada siapa saja. Apa lagi orang asing seperti kami yang hanya
datang dan pergi sekejap mata.
Pak Pri mengeluarkan buku catatan administrasi. Alangkah
terkejutnya saya mengetahui bahwa pendakian terakhir sebelum kami dilakukan hampir satu
tahun yang lalu. Tentu saja ini membuat pendakian akan semakin yahuuud~~.
Selain karena jalanan yang pasti ditutup oleh tanaman liar, cuaca yang sering
kali mendung tentu membuat jalanan menjadi lebih eskrim (ekstrim).
Kami bercakap sejenak dengan Pak Pri, untuk memastikan
jalan yang akan kami tempuh. Ia berkata bahwa perjalaan ke puncak bisa ditempuh
dalam tujuh jam. Sedangkan untuk orang lokal, mungkin bisa lebih singkat dari itu.
“Kalau orang sini, ya bisa empat jam, Mas. Anak saya
yang laki-laki itu juga suka sekali muncak.” Imbuh Pak Pri.
Setelah mempersiapkan ini-itu, kami berdoa agar
perjalanan menuju Wilis diberikan keselamatan dan memberikan manfaat bagi diri kami
pribadi dan (entah bagaimana) bagi semesta pada umumnya. Tepat pukul 14.00,
saat kabut mulai menebal, kami berjalan menuju hutan Wilis.
Menuju rimba (Dok. Pribadi) |
Perjalanan dimulai dengan melintasi perkebunan
masyarakat. Berbagai sayuran segar terpampang di sepanjang perjalanan. Sayur
Kol, Sawi, Wortel, Cabe dan masih banyak lagi menemani awal perjalanan kami
menuju hutan Wilis. Candaan-candaan khas mulai keluar memenuhi udara Wilis yang
segar. Setelah berjalan selama kurang lebih 15 menit, kami berhenti sejenak. Di
depan kami, perkebunan telah habis berganti dengan lebatnya pepohonan besar. Di
batas perkebunan ini, kami mengeluarkan bekal makanan yang telah dipersiapkan. Kami mengisi energi untuk menghadapi
perjalanan yang sesungguhnya.………
(bersambung)
Taps
ReplyDelete