Mengajar Aksara Jawa



  “Deggh!” seketika jantung saya berdebar acak saat koordinator acara memberikan kode kedatangan para peserta. Ini adalah kali pertama saya mengajar baca tulis Aksara Jawa. Saya yang tidak begitu ahli dalam menulis ataupun membaca “dipaksa” untuk mengajar Aksara  Jawa kepada anak-anak beserta ibunya. Tentu saja ini adalah pengalaman yang cukup mendebarkan karena selain ini adalah pengalaman pertama mengajar Aksara, lokasi dan “pasien” ini sungguh berbeda.

Bagaimana tidak, kali ini saya mengajar Aksara Jawa untuk anak-anak Jakarta, yang notabene adalah orang-orang berada, dan berlokasi di Museum Nasional Jakarta. Tak bisa dihindari, pikiran saya terbang kemana-mana, lantas membuat kelenjar keringat saya penuh dengan cairan dingin. “Apakah mereka akan antusias?”, “Bagaimana kalau mereka tidak suka Aksara Jawa?”, “Bagaimana bila anak-anak tersebut lebih suka aksara lain yang lebih modern?”, “Bagaimana bila bla bla bla…” Sederet pertanyaan membombardir kepala saya. Namun sudah kepalang tanggung. Calon murid sudah tiba, dan saya bersama Niken sudah berada di lokasi eksekusi. Jadi, Show must go on!

      Singkat kata beberapa anak-anak kecil mulai memasuki area belajar Aksara. Wajah mereka yang polos tersenyum lebar saat memasuki ruang Aksara. Berasama orang tuanya, mereka langsung mengambil posisisi  di meja lipat yang telah disiapkan panitia. Saya yang sudah siap di depan mereka langsung berinisiatif menyapa mereka. Sesi yang hanya berlangsung sekitar 30 menit ini harus saya maksimalkan sebaik mungkin, pikir saya.

Sesi pun dibuka oleh Niken dengan perkenalan singkat asal muasal dari Aksara Jawa. Setelah cuap-cuap sekaligus perkenalan, sesi selanjutnya, yaitu sesi menulis menjadi bagian saya. Berbekal kartu yang sudah dipersiapkan. Sesi belajar dimulai. Saya awalnya mencontohkan bagaimana menulis dan membaca Aksara Jawa kepada mereka. Aksara Jawa yang sangat aplikatif tersebut dengan mudah ditangkap para peserta.

mengajar Aksara

      Hal yang mengejutkan saya adalah bahwa pikiran-pikiran negatif yang sempat mengambang di kepala saya sebelumnya rontok tak berbekas. Kekawatiran akan diremehkan, atau tidak diperhatikan ternyata berbalik 180 derajat. Mereka, para murid, terlihat sangat antusias dan menikmati pelajaran. Mereka juga tidak sungkan untuk mengangkat tangan dan bertanya apa yang masih mengganjal di kepala mereka.

Saya cukup heran melihat hal ini. Bagaimana mereka, bocah-bocah kota tersebut benar-benar bersemangat melahap akasar-aksara asing itu. Antusiasme mereka cukup besar, Hal ini terlihat dari bagaimana mereka antre untuk mengerjakan soal latihan yang saya tulis di papan. Saya terharu tentunya melihat fenomoena ini. Saya yang awalnya pesimis saat diminta untuk mengajar Aksara Jawa, menjadi bergairah untuk menjelaskan banyak hal. Sungguh pemandangan yang melegakan melihat mereka, yang berasal dari berbagai etnis, menulis aksara tua tersebut dengan sangat aktif.

     Hal yang membuat saya lebih menggebu-gebu adalah bahwa tidak hanya anak-anak saja yang begitu bersemangat belajar, namun, para orang tua yang mendampingi mereka juga tidak kalah antusiasnya. Mereka seolah tidak mau kalah dengan anak-anak mereka. Ibu-ibu ini juga kelihatan sumringah dengan aksara-aksara baru tersebut.  

Beberapa ibu yang berasal dari Jawa bahkan sangat antusias dan berbianar-binar matanya melihat aksara-aksara ini. Ketika saya tanya, mereka mengaku bahwa dulu sekali mereka sempat berlajar aksara ini, namun begitulah,  semakin beranjak dewasa, semakin tidak ada ruang untuk mereka menggunakan Bahasa Jawa tersebut. Akhirnya, bisa dipastikan, bahasa leluhur yang padat cerita tersebut tertimbun oleh rutinitas harian yang semakin menyesaki kepala. Mungkin, lewat worksop yang menyajikan aksara-aksara yang meliuk-liuk ini membawa mereka bernostaligia. Menembus ruang dan melipat waktu untuk kembali mengais memori masa kecil mereka. Mengingat-ingat diri mereka sendiri dahulu kala yang tekun menggoreskan pensil untuk membentuk aksara, sebagaimana yang anak-anak mereka saat ini lakukan.


Comments

Popular Posts