Mencari Pak "Tri" (Catatan Wilis 2)


"Tidak Ada Pak Tri"

Tidak ada rumah. Tidak ada Pak Tri. Yang Nampak hanya jalanan lengang yang tak terlihat ujung pangkalnya. Kami yang tidak tahu mau kemana, akhirnya memutuskan untuk berhenti sejenak di sebelah jembatan tidak jauh dari pertigaan guna mengatur kesepakatan. Kebetulan, dari jauh samar-samar terlihat penduduk lokal yang turun sehabis merumput. Tak pelak, kami pun langsung menanyai bapak paruh baya tersebut perihal Rumah Pak Tri.

“Permisi, Pak, mau tanya, tau rumah Pak Tri?” Tanya saya sopan.

“Pak Tri?” Timpal lelaki tersebut keheranan.

“Iya, Pak, Pak Tri. Tadi saya tanya orang di bawah, di sekitaran Candi, katanya kalau mau parkir motor untuk naik Wilis, bisa dititipkan di rumah pak Tri, gitu.” Jawab saya serius.

Masih dengan raut yang keheranan lelaki tersebut menatap kami satu per satu
“Pak Tri? Tidak ada Pak Tri di sekitar sini, Mas.” Jawab lelaki tersebut dengan dahi mengkerut.

“Kok aneh?” Pikirku. Dengan kehidupan komunalnya yang kental seharusnya masyarakat desa hapal dengan tetangga mereka dengan baik. Apa lagi ini tetangga mereka yang rumahnya, katanya, paling ujung.

Karena masih penasaran, saya akhirnya bertanya lagi, “Kalau mengikuti jalan ini, ujungnya kemana ya, Pak?”

“Kalau ini jalan Lingkar Wilis, Mas. Kalau sampean ikuti jalan ini, tembusnya jalan yang di bawah tadi. Muter saja jatuhnya.”

“Jadi tidak ada Pak Tri di sekitar sini?” Tanya saya masih tidak percaya.

“Tidak ada, Mas!” lelaki tersebut mengambi Jeda, “Semisal mau naik, parkir di depan rumah sodara saya saja, di bawah Candi, rumah pertama kiri jalan. Biasanya juga di situ. Saya balik dulu, Mas”

Setelah mengatakan itu, pria yang lagi-lagi tidak saya ketahui namanya itu bergegas turun, meninggalkan kami ber enam yang masih diselimuti rasa penasaran. Kabut gunung yang semakin pekat membuat keadaan makin tidak mengenakkan hati. Pucuk gunung sudah tidak terlihat lagi. Udara semakain lama semakin menusuk kulit. Sekali lagi saya mengedarkan pandangan, mencoba membaca keadaan. Namun, tidak ada sesuatupun yang melegakan. Hanya ada kesunyian dan raut kebingungan dari wajah anggota ekspedisi yang terpampang.

“Lantas siapa Pak Tri?”, “Siapa orang yang saya tanyai di sekitaran Candi tadi?”,“Yakin mau lanjut setelah kejadian ini?”lagi-lagi pertanyaan-pertanyaan itu menggema di batok kepala saya.

Setelah berdiskusi sejenak dengan anggota lainnya, kami akhirnya memutuskan untuk balik kanan dan memarkirkan motor di rumah yang direkomendasikan orang tak dikenal tersebut. Terlalu riskan bagi kami untuk mencari Pak Tri yang misterius tersebut sementara waktu terus berlari meninggalkan kami yang masih dijejali pertanyaan. Biarlah Pak Tri menjadi cerita yang tak tuntas di ekspedisi kali ini. Lebih baik sekarang segera menemukan tempat parkir sepeda motor dan naik ke Wilis. “Malu kan kalau pulang tanpa hasil?” gumam saya dalam hati.

Kami kembali menelusuri jalanan awal hingga tiba di pertigaan yang tadi kami lewati. Saat berada dipertigaan tersebut, Faisal, yang satu motor dengan saya tiba-tiba berceletuk, “Jangan-jangan ini, Mas, jalannya?”

Saat melewati percabangan jalan di pertigaan tadi, kami memilih jalan yang beraspal karena jalan satunya adalah jalan tanah yang penuh lumpur. Dengan berasumsi bahwa jalan aspal mengantarkan kami ke rumah pak Tri, sedangkan jalan berlumpur ke arah perkebunan, akhirnya jalan beraspal menjadi logis untuk diambil.

“Ah masak, sih, Sal? Wong jalan e rusak dan masih tanah gini, kok!” Jawab saya ragu.

“Coba dulu aja. Kalau salah ya balik, Mas.” Pungkasnya.

“Yawes. Jalan.” Saya mengiyakan.

Akhirnya kami menempuh jalan satunya yang masih rusak tersebut. Sama dengan jalanan sebelumnya, hanya ada kesunyian di hadapan kami. Perkebunan terpampang sepanjang jalan. Perbukitan yang disulap menjadi perkebunan menyuguhkan sensai yang menyegarkan. Saya melemparkan pandangan ke sembarang arah. Tanah-tanah yang sudah diolah namun belum ditanami menjelma semacam kue brownies yang dipotong-potong. Kabut turun secara sporadis, seolah tak menghendaki kedatangan kami. Semakin lama, kondisi jalan semakin mengecilkan hati.

Panorama di depan Kapitu Farm (Dok. Pribadi)

Saat pikiran sudah semakin yakin untuk putar balik, saat itu pula dari kejauhan sebuah bangunan terlihat samar-samar. Bangunan itu berada di atas bukit. Harap-harap cemas saya memandang bangunan itu. “Apakah itu rumah Pak Tri?” Jalanan tanah yang dipadu dengan bebatuan membuat pantat saya pegal. Singkat cerita, saya tiba di depan rumah tersebut. Hati saya melonjak girang saat saya melihat logo yang sama seperti yang saya lihat di video youtube. Kapitu Farm. “Benar ini rumahnya!” Batin saya bersemangat. Dari dalam rumah, keluar lelaki bertopi menghampiri kami.

Kapitu Farm (Dok. Pribadi)


“Mau naik, Mas?” Tanya lelaki tersebut sembari tersenyum.

“Iya, Pak, parkir di sini boleh?” Tanya saya penuh harap.
Lelaki yang berumur skitar 50 tahunan tersebut terlihat berpikir, “Sudah ijin di bawah, Mas?”

“Belum, Pak, ijinnya ke siapa, ya?” Tanya saya lagi.

“Pak Waseno, Mas, rumahnya depan lapangan yang di bawah tadi. Coba ijin dulu, ya. Saya tidak bisa memastikan boleh parkir di sini apa tidak sebelum dapat ijin dari Pak Waseno. Kondisinya kan masih seperti ini.” Jawabnya runtut.

“Baik, Pak, saya ijin dulu. Oh iya, dengan bapak siapa, ya, saya Luqman?” tanya saya memastikan.

“Pri.” Jawabnya singkat.

*Dhuaaaaaarrrrrrrrr* “Pak Pri”, nama itu seolah memantul-mantul di dinding kepala saya. Seketika itu pula pikiran saya meloncat-loncat ke wajah-wajah yang sebelumnya saya temui tadi. Bapak-bapak sehabis merumput yang kebingungan mengingat-ingat nama “Tri”, Bapak paruh baya di sekitaran Candi yang sempat saya curigai, serta wajah teman-teman yang gelisah. Ternyata yang salah adalah pendengaran saya. “Pak Pri” yang terlontar dari mulut lelaki di sekitar candi, entah bagaimana berubah menjadi “Pak Tri” di telinga saya. Satu huruf yang membuat satu tim was-was. Satu huruf yang membuat saya pribadi bertanya-tanya sepanjang perjalanan. Hihihihi, mohon maaf. Sembari menahan tawa karena kekonyolan, saya turun menuju Pak Waseno untuk meminta ijin.……….

 (Bersambung)


Comments

Post a Comment

Popular Posts