'Bantar Gebang'

Sudah membaca novel Aroma Karsa karya Dee Lestari? 

Novel yang bercerita tentang pencarian bunga Puspa Karsa tersebut, selain Gunung Lawu, juga mengambil setting tempat di TPA Bantar Gebang. Salah satu tokoh utamanya, Jati Wesi Si Hidung Tikus, tinggal dan besar disana sebelum akhirnya bergabung dalam misi pencarian bunga misterius itu. Tulisan ini tidak akan mengupas detail novel tebal diatas. Hanya saja pemilihan Bantar Gebang sebagai setting tempat sebuah novel, membuatku memikirkan hal lain. 

Bayangkan saja bahwa setiap detik dihidupnya, mereka, orang-orang yang tinggal di Bantar Gebang, dikepung aroma yang tidak nyaman. Hidung mereka mau tidak mau dipaksa untuk menerima bebauan yang, mungkin untuk sebagian besar orang, membikin mual atau muntah. Mereka pastinya tidak ingin tinggal disana. Namun himpitan ekonomi menjadikan tinggal di lokasi tersebut sebagai satu-satunya pilihan yang memungkinkan.

Awalnya pasti tersiksa. Syaraf mereka menolak bebauan yang amat menyengat tersebut. Otak mereka mengirimkan sinyal ke hidung untuk menahan nafas selama mungkin agar aroma tersebut tidak merasuk ke dalam tubuh. Namun lama kelamaan, karena memang paksaan dan kondisi yang tidak pernah berubah. Syaraf tersebut akhirnya menyerah. Bau yang beraneka ragam tadi akhirnya bisa diterima sedikit demi sedikit. Dan dalam jangka waktu yang lama, resistensi tercipta. Bebauan tersebut menjadi sesuatu yang biasa. Kacaunya udara yang dicemari sampah yang mulai membusukpun tidak terasa.

Ketika sudah pada tahap ini, hidung, yang merupakan indera paling jujur, sudah mulai kehilangan kompasnya. Bau tak enakpun menjadi sesuatu yang biasa. Hidung kita telah mengalami proses 'dipaksa-terpaksa-terbiasa'. Sehingga sudah matilah sensitifitasnya dalam memilah aroma. Ini adalah proses yang harus dilalui oleh sebagian saudara kita yang tidak beruntung. Proses pembiasaan. 

Namun bisa dikatakan bahwa mereka masih beruntung karena sempat mengalami proses transisi tersebut. Sehingga mereka memiliki pengalaman menghirup udara segar dan udara sampah, seraya membedakan keduanya. Akan tetapi coba bayangkan bayi-bayi yang lahir dan tumbuh besar disana. Aroma yang sedari kecil mereka hirup adalah aroma sampah. Aroma yang tidak sehat. Mereka besar dan tumbuh dengan aroma itu. Sehingga aroma tadi akan menjadi sesuatu yang normal-normal saja bagi mereka. 

Bisa jadi mereka malah bingung suatu saat dengan aroma parfum atau kesegaran udara gunung, saking lamanya mereka bercengkerama dengan aroma tersebut.

Well, yang menarik adalah bahwa kita bisa menarik garis yang lebih luas dari cerita diatas. Bahwa kalian bisa menemukan 'Bantar Gebang' , 'Aroma tidak sedap' , serta 'Pembiasaan' tersebut di berbagai tempat. Penjelasan tadi hanyalah semacam analogi sederhana untuk merangsang kita agar lebih waspada dengan sekitar kita. Bisa jadi, kan, 'Bantar Gebang' tadi berwujud atau bersembunyi di media masa kita, di medsos-medsos, sistem sosial, atau bahkan yang lebih berbahaya, pikiran-pikiran kita sendiri?

Comments

Popular Posts