Bercanda

Coba lihat sepak bola Indonesia. Sepertinya jarang sekali stadion sepi saat ada pertandingan, ya? Apa lagi saat yang bermain adalah Timnas kita. Rasanya, beli tiket nonton langsung saja susahnya minta ampun. Makanya tidak heran pemain asing yang mengais rejeki di Indonesia, betah sekali disini. 

Bukan sekedar karena sesaknya stadion pada setiap kali match. Namun kadang kala, saking cintanya pada pemain tertentu, mereka, para suporter, tidak jarang mengirim DM, surat, hingga menyanyikan yel-yel bercampur nama idolanya. Sebuah rasa perhatian yang tidak mereka dapat di rumah mereka. 

Hal ini tidak hanya ada di sepak bola. Pemain badminton kelas duniapun sempat merasa bahwa Istora selalu terampau bising. Setiap pertandingan di Indonesia, teriakan penonton seolah tak punya jeda. Bandingkan dengan All England misalnya, penontonnya adalah mereka yang duduk manis dan bersuara seperlunya. Tapi hampir bisa dipastikan, bila ada yang teriak menggelora disana, itu pasti supporter Indonesia! Hehe.. 

Rasa cinta, militansi, loyalitas dan semangat seperti itu sepertinya memang sudah mendarah daging pada mayoritas manusia +62. Positif, tentunya. Nasionalisme dan kebanggaan terhadap apa yang dibela benar-benar menyala. Kita tidak perlu repot memaksa orang kita untuk bergerak bila, misalnya, negara kita dihina. Mayoritas kita tidak akan tinggal diam. Banyak kasus bisa dijadikan contoh. Yang paling sederhana mungkin klaim negara tetangga atas budaya kita. Indah bukan? Sebuah masyarakat dengan sense of belonging yang sangat kuat.

Eitss, tapi tunggu dulu. Dibalik itu, kita juga harus waspada. 

Rasa loyalitas tersebut sayangnya juga berada di atas segala-galanya. Anak sekolah, yang karena terlampau cinta dengan almamaternya, tak jarang terjebak dalam putaran dendam yang tak berkesudahan. Mereka berduel dengan almamater lain atas nama kesetiaan. Beberapa perguruan bela diri juga mengalami hal yang sama. Antara suku satu dengan yang lainpun demikian. Gesekan tertentu bisa berubah menjadi bara yang sulit padam. 

Di level lebih atas, seperti yang saat ini sedang hangat, perdebatan pendukung capres sepertinya masih menjadi panggung lelucon yang belum reda. Semua masih dengan ngototnya mengklaim kemenangan pihaknya. Praktik kecurangan, sampai dengan misteri kematian petugas KPPS menyesaki media masa. Semua dipaksa mengikuti berita-berita yang itu lagi-itu lagi. Seolah-olah Indonesia yang sebegini luas dan kaya hanya ada orang-orang itu saja. Padahal rakyat sudah sangat jengah dengan itu semua. Kadang lelucon yang terlalu sering ditampilkan akan menjadi basi dan memuakkan juga, kan?

Sebenarnya sih, militansi pendukung partai atau capres ini kalau masih berada di level elite sepertinya, ya, ndak begitu jadi soal. Kenapa? Karena pekerjaan mereka ya memang begitu. Berdebat dan Berdebat. Biasanya diberi embel-embel "Demi Rakyat". Namun yang mengkhawatirkan adalah apabila militansi itu sudah didistribusikan ke level akar rumput. Rakyat yang sudah terkotak-kotak akan sangat mudah dipancing emosinya. Militansi dan rasa paling benar akan menjadi bahan bakar ampuh untuk memobilisasi masa. Apalagi kalau sudah ada ideologi yang dimasukkan disana. Duh, ngeri. Jadi ingat peristiwa 65. 

Mohon maaf, ya. Ini bukan tulisan layak baca. Cuma sekedar sampah yang harus dibuang saja. Karena sebagaimana namanya, bila tidak dibuang segera, sampah bisa meracuni kepala. Sebagai penutup, walaupun tadi tidak ada pembuka, mari tengok kutipan buku M. Sobary, Kang Sejo Melihat Tuhan, ini. 

"Di tengah kemiskinan yang mencekam, bicara tentang ideologi dan tentang kawan dan lawan memang terasa seperti jalan keluar yang baik. Ideologi membuat lupa bahwa sebetulnya kita lapar, dan bahwa kita tak mampu beli beras."

Jangan-jangan gejolak akhir-akhir ini hanya disebabkan oleh ketidak mampuan membeli beras saja? 
(Makanya masing-masing capres berlomba-lomba memprogramkan sembako murah)


Heheu, bercanda........

Comments

  1. Wallahu a’lam.... mungikin mereka lapar, lapar akan sanjungan dan pengakuan. militansi tersebut tentu ditenagai oleh "ego" sebagai manusia yang akan berdampak pada level eksistensi individu tersebut didalam komunitasnya....

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts