Budaya: sekedar warisan purba?


                Ada seorang teman yang bertanya tentang significance dari studi yang aku presentasikan. Memang untuk penelitian S1, signifikansi dari studi yang aku paparkan terkesan sangat provokatif dan berlebihan. Tapi memang itulah tujuanku. Membumbui manfaat penelitian dengan aroma provokasi untuk memancing pertanyaan dari audiens. Dengan agak sok berani dan menekatkan diri, aku tulis saja bahwa signifikan dari studiku adalah untuk meningkatkan rasa memiliki dan cinta terhadap budaya, serta untuk meningkatkan kesadaran semua pihak akan pentingnya menjaga dan melestarikan budaya. Oh iya, penelitianku ini tentang salah satu ritual memohon hujan yang cukup unik yang ada di Tulungagung. Nama ritual ini adalah ritual Temanten Kucing, dan fokus yang aku garap adalah penggalian-penggalian makna dan filosofi yang mulai dilupakan oleh masyarakat modern. Sekedar info saja, di negeri ini, banyak kebudayaan asli yang berada pada titik nadir. Banyak faktor yang mempengaruhinya, baik internal maupun external. Begitu juga dengan ritual Temanten Kucing yang pada tahun 2010 mengalami benturan dengan stake holder yang ada di Kabupaten Tulungagung.


                Salah seorang teman ini bertanya: Bagaimana bisa hanya dengan memaparkan tentang filosofi dan values yang terkandung dalam ritual ini, bisa secara serta-merta mencapai kebermanfaatan seperti yang aku tulis? Hemm begini, (ini semoga juga bisa diterima oleh siapapun yang baca). Yang pertama yang patut di garis bawahi dari pertanyaan tersebut adalah kata serta merta. Tentunya (menurut pandangan pribadi sih) kata tersebut terlalu riskan digunakan dalam penelitain sosial. Kenapa? Simply karena yang kita tulis adalah tentang manusia. Dan you know lah kalau manusia itu makhluk yang paling kompleks plus Njlimet yang pernah ada, jadi kata serta merta itu nampaknya harus diganti dengan kata lain. Ingat loh ya, untuk membentuk pola pikir seseorang, butuh jangka waktu dan exposure yang cukup lama. Jadi aku pribadi akan lebih aman untuk menggunakan kata indirectly untuk kasus ini.

                Selanjutnya yaitu terkait dengan kondisi sosial masyarakat kita yang sangat-sangat pelupa dan terkesan take for granted dalam banyak hal. Fenomena yang terjadi dianggap angin lalu saja tanpa ada pelajaran yang bisa diambil. Nah kalo sudah begini kan repot, kenapa repot? Inget loh, “History repeats itself”, buat kita yang tidak mengambil pelajaran untuk hal tertentu, kejadian yang sama pasti bakalan terulang. Nah, salah salah satu yang kita take for granted itu adalah ritual atau tradisi yang ada di masyakarat kita. Kita dengan sebelah mata menganggap bahwa itu adalah peninggalan pendahulu kita yang tidak memiliki nilai kebermanfaatan untuk masa kini. Atau lebih parahnya, karena kita tidak mengerti dan malas mencari, kita seenak udel sendiri mengasosiasikan budaya tersebut dengan hal-hal mistis yang bermuara pada pelalabelan klenik. Dan, ini menjadi semacam alat justifikasi untuk melegalkan ketidakpedulian kita terhadap warisan kita sendiri. Maka jangan salahkan orang lain, dan jangan ikut kebakaran jenggot kalo banyak tradisi dan budaya kita pada akhirnya di caplok bangsa lain yang lebih menghargai. He he he kita kan memang bangsa yang reaktif dan bukan preventif.

                Nah, berkaitan dengan hal diatas, nampaknya perlu untuk para social science or humanities scholars buat mendeskripsikan banyaknya nilai pelajaran yang bisa kita ambil dari fenomena sekecil apapun yang ada terjadi di lingkungan kita. Besides, kalo kita pikir-pikir, memang sudah menjadi kodrat ilmuan sosial dan humaniora untuk dapat menjeaskan sesuatu yang simple dengan bahasa yang lebih bisa diterima secara universal. Yap, The biggest task of humanity scholar is to convert social phenomenon happening surrounding us into language which can be universally accepted. Nah dengan memaparkan secara scientific, hal-hal yang terekesan remeh-temeh akan dapat diterima dengan lebih bijak sehingga masyarakat akan semakin peka dan sadar akan sesuatu yang terjadi. Kalo dipikir-pikir juga, sebenarnya teori yang kita ambil dari kajian ilmu sosial kebanyakan adalah hasil pengendapan pengalaman yang cukup lama tentang proses transformasi sosial yang terjadi di berbagai belahan dunia. Dan disini para pengkaji ilmu sosial berhasil mengekstrak kejadian tersebut menjadi sebuah kerangka berpikir dan melahirkan teori-teori yang saat ini kita adopsi di lingkup akademis perkuliahan.

                Oleh karena itu, berhubungan dengan pertannyaan dari temanku tadi, aku rasa dengan memaparkan nilai ataupun segi-segi yang tidak dipahami oleh kebanyakan orang, secara tidak langsung akan menggelitik kesadaraan tentang pentingnya upaya preservasi. Analogi sederhana saja, kalo kalian pernah nonton film 3 idiot, dimana semua mahasiswa berlomba mendapatkan bolpoin dari Viru, sang Rektor kampus, sebenarnya itu sudah menggambarkan semuanya. Kalo diperhatikan, bolpoin itu hanyalah sebuah bolpoin biasa, semua orang pasti mampu membeli bolpoin dengan merek yang sama atau bahkan yang lebih baik. Tapi ternyata berbeda, bolpoin ini walaupun kuno tetap diperebutkan oleh mahasiswa kampus tersebut. Selain karena lambang prestige, mereka juga telah mengetahui values yang ada di dalam bolpoin sederhana tersebut.

                Parallel dengan hal diatas, nampaknya benar apabila kita harus mengenal values yang ada dalam budaya kita sendiri agar kita nantinya mau dengan ikhlas menjaga, memelihara, memperlajari atau bahkan menjadi penerus dari budaya-buaya yang tercerer di negeri yang digadang-gadang sebagai potongan surga ini.

Pojok Perpus, 13/06/2016, Sembari nunggu yudisium

Comments

Popular Posts