Si Tua "pembohong"
Di sebuah kota, ada sebuah rumah sakit yang
diperuntukkan untuk korban perang. Banyak sekali korban perang yang ditampung
di tempat tersebut. Memang pada masa itu, perang menjadi sesuatu yang sangat
jamak ditemui. Setiap senggolan ringan pasti diakhiri dengan perang, seolah-olah perang telah menjadi jawaban mutlak untuk semua gesekan. Semua
orang, baik yang suka perang maupun yang benci, yang tua maupun muda, kaya atau
miskin, duda atau berkeluarga semua terseret arus tersebut. Mereka semua
diperah tenaganya, dan dipaksa terjun ke medan perang.
Hingga pada suatu hari, seperti hari-hari
biasanya, rumah sakit itu kedatangan pasien baru. Seorang pemuda dengan kaki
hancur terkena bom. Kakinya hancur, dagingnya berserakan dan darah mengucur
deras dari kakinya. Dia ditempatkan di sebuah ruangan sempit yang sebenarnya
bukanlah sebuah ruangan rawat. Ruangan itu sebenarnya adalah ruangan administrasi
yang berukuran kira-kira 4x5 meter persegi. Ruangannya pengap dan sempit, hanya
ada sebuah jendela berukuran 40x40 cm di dinding.
Hanya ada dua orang di ruang itu, si pemuda tadi
dan seorang kakek-kakek yang entah sejak kapan menjadi penghuni ruang pengap
itu. Tempat tidur kakek itu berada persis di sebelah jendela tersebut, sedangkan
dipan pemuda itu berada agak jauh dari sana. Setiap hari, pemuda tersebut hanya
berbaring di kasurnya, karena memang, kaki hancurnya yang baru saja diamputasi
menghalangi geraknya sehingga selain mulut yang terus mengumpat, tiada lagi
anggota badan yang bebas dia gerakkan.
Dengan sedikit kesal, dia berteriak kepada kakek
teman sekamarnya yang setiap pagi dan sore selalu menatap keluar jendela saja.
“Hey pak Tua!” teriak pemuda itu kesal. “Apa yang
kau lihat di luar sana? Kenapa kamu suka sekali melihat jendela bangsat itu?” Rasa jenuh bercampur nyeri di kaki dan badanya telah membuat pemuda itu menjadi
kasar.
Orang tua itu tetap pada posisinya, menatap
khusyuk keluar jendela, tidak bergerak dan tertarik dengan omelan pemuda itu. Pemuda itu pun kesal dan berteriak-teriak mengumpat orang tua tersebut, dan itu
terjadi dalam waktu yang sangat lama.
***
Hingga secara tiba-tiba, suatu hari, kakek itu masih
dengan posisi menatap jendela, berbicara kepada pemuda tersebut lirih.
“Aku melihat bunga
bermekaran di luar sana, melihat warna-warni kupu-kupu yang berterbangan
menghisap sari-sari bunga.” Ucap kakek tersebut lancar.
“Awan berarakan membentuk wajah-wajah anak kecil yang tersenyum, berlatarkan langit biru yang sangat jernih.” Lanjut kakek
tersebut.
“Aku melihat bayangan cerah negeri ini dari balik jendela kecil ini. Menatap
bunga-bunga bermekaran seolah membawaku ke masa kecilku yang sangat hangat,
melihat kupu-kupu terbang disana berhasil membawa kenanganku pada kebebasan
akan ketakutan, dan melihat putihnya awan yang beriringan membuatku merindukan
hangatnya kejernihan yang pernah merangkul tanah ini. Aku, kamu dan semua orang
disini telah kehilangan jiwa, senyuman telah menguap entah kemana.
Perang ini telah merubah surga menjadi neraka, merubah manusia putih sepertimu
manjadi sehitam asap tank-tank dingin dan angkuh itu, merubah anak-anak kita yang manis
menjadi sepahit empedu. Aku tidak menyalahkanmu atas kata-katamu, atas
umpatan-umpatanmu. Tidak, aku tidak membenci sampah, karena kalaupun sampah
dapat memicu bencana, aku akan lebih membenci sumber dari adanya sampah
tersebut! Tapi lihatlah disana, diluar jendela itu aku melihat bunga
bermekaran, indah, sangat indah”
Tak terasa, air mata pemuda itu
meleleh, dia menyadari bahwa jiwanya kosong selama ini. Dia kehilangan dirinya
yang dulu dan kata-kata orang tua itu telah mengingatkannya kembali. Semenjak itu,
pemuda tersebut kembali menemukan jiwa hidupnya. Dia menjadi sosok yang hangat, dan
berteman baik dengan orang tua itu. Setiap hari dia mendengarkan cerita
tentang bunga dan kupu-kupu. Tentang langit biru dan awan-awan putih. Dan
setiap kali mendengar cerita itu semakin bersemangat pula dia. Dia ingin segera
sembuh dan melihat kupu-kupu dan bunga-bunga itu dengan mata kepalanya sendiri.
***
Hingga suatu hari, dia menemukan
bahwa lelaki tua tersebut telah meninggal di dipannya. Meninggal dengan
tersenyum. Dua bulan setelah meninggalnya kakek tua tersebut, pemuda itu memaksakan
diri untuk berpindah ke dipan dimana orang tua tersebut biasanya duduk dan berbaring.
Dia ingin melihat kupu-kupu, bunga-bunga, langit biru dan awan yang berarak
melalui jendela kecil itu.
Namun alangkah terkejutnya pemuda
itu ketika dia melihat jendela terebut. Tak ada bunga, kupu, maupun langit
biru. Hanya ada tembok tinggi kusam yang membisu dingin. benar-benar berbeda!
Selanjutnya dia menanyakan perawat tentang lelaki tua yang sering bercerita
tersebut. Perawat itu menjawab bahwa lelaki tua itu adalah korban perang. Kedua
matanya buta terkena percikan ledakan mesiu!
Comments
Post a Comment