"Kesurupan"
Obrolan di kantin lama UB (CL) terasa begitu cair.
Topik ringan kami bahas, dari ngrasani dosen;
dari dosen killer sampe dosen sok killer, dosen cantik sampe dosen sok cantik, ngrasani cewek satu angkatan, ngrasani ANTV yang udah kayak TV India, ngrasani DPR, hingga ngrasani masalah
cucian yang luntur gara-gara kelamaan direndam. CL memang base camp favorit
mahasiswa. Disini kami semua bisa bebas ngelakuin apa aja yang kami suka. Kami
bisa ngobrol sampe dini hari, cekakakan sampe rahang keseleo, hingga ngerokok sampe
habis satu dus! Inilah yang menjadi kunci dari keramaian CL. Hal ini juga
ditambah dengan para penjual makanan yang cukup akrab (lebih tepatnya sok akrab
kali ya) dengan mahasiswa.
Memang obrolan tanpa setingan seperti inilah yang
sangat mengasyikkan. Kita tidak pernah tahu proporsi keseriusan dan keisengan,
antara tawa tulus dan tawa yang dibuat untuk sekedar menghargai joke teman yang
sebenarnya tidak layak diberikan reward
tawa, antara pesan kopi karena pingin tetap melek
atau sekedar agar terhindar dari omelan pemilik warung karena tempatnya dibajak
oleh mahasiswa berkantong tipis. Kita tak pernah tau bagaimana alur pembicaraan
menikung bahkan 180o. Dari guyonan super ngeres menjadi super religius dan filosofis. Memang kalu dipikir, letupan-letupan kejutan inilah yang
sebenarnya inti sari hidup, bukan?
Seperti saat ini, saat sedang panas-panasnya guyonan
tentang Nikita Mirzani, salah satu temanku menceletuk dengan gaya khasnya. Dengan
sebatang rokok terapit manis di antara jari tengah dan jari telunjuknya, serta
kopi yang tersisa setengah, dia berujar, “Ya namanya juga manusia, refleksi
utamanya ya begitu, sesuatu yang berorientasi materil, sesuatu yang nampak. Dan
salah satu parameternya ya DUIT.” Ungkapnya santai.
“Maksud loe
gimana bro? Kok kagak nyambung banget
sama obrolan kita. Tiba-tiba filosofis gitu. Kerasukan Jin mane loe?” Jawab salah satu teman dari Jekardah sambil terkekeh.
“Ya gitu, kebanyakan manusia itu kan pengen tenang
hidupnya, pengen dilihat orang lain ‘WAH’ gitu loh. Sehingga mereka memerlukan
sesuatu diluar dirinya untuk mendapatkan hal tersebut.” Dia ambil jeda sebentar
untuk memandang ekspresi teman-temannya yang kebingungan.
“Padahal apa yang mereka cari itu sudah ada dalam
dirinya sendiri, yang mereka perlukan hanyalah menggali dirinya sendiri, namun
kalo dilihat saat ini, kita, bukannya menggali, tapi malah menimbun mutiara
dalam diri sendiri dengan hal-hal materil sehingga mutiara tersebut semakin
hilang cahayanya.” Cerocos temanku tak berarah.
“Eh kita ini ngomongin apa kamu responnya apa,
ngga nyambung coy!” Protes salah satu teman dengan nada menggerutu.
Seolah tak mendengarkan nada protes itu, temanku “yang
kerasukan jin itu” terus berujar, “Orang sekarang pengen Sugih, pengen Sekti, pengen Digdaya, makanya kita terus menumpuk-numpuk
duit, gasak sana-sini yang punya potensi basah, jilat sana-sini asal dapat
komisi, ikut proyek ini-itu, sogok kono-kene
agar dapet jabatan buat nyari aji
atau penghormatan.”
“Padahal apa itu sugih, apa itu sekti, apa
itu digdaya? kita sangat terjebak se_terjebak-jebaknya
dengan definisi sempit yang diciptakan para pendewa materi. Kalian tau apa guna
hal tersebut bukan? Hakikat ketiga hal tersebut adalah untuk mencapai
ketenangan dan kebahagiaan bukan? Kalau kebahagiaan diukur dengan uang, apa
bisa kebahagiaan dicapai? Uang itu angka, dan angka itu endless bro jadi kalo ngejar duit, gak mungkin kita bisa bahagia.
Kalo ketenangan diperoleh dari kekuasaan, coba kamu hitung, berapa orang yang
hidupnya morat-marit gara-gara
kekuasaan yang mereka kejar?” Tuturnya berfilosofi.
“Eh gue tau itu kata-kata Bob Marley kan?” Sela
salah satu sahabat.
Tanpa memperdulikan intervensi singkat itu, teman “kesurupan”
tadi melanjutkan, “Kadang kita itu harus mau menikmati indahnya merasa cukup.
Jangan ngragas gitu, semua dilahap
tanpa peduli imbas kedepannya. Sebenarnya kebudayaan kita sudah menciptakan rem-rem yang sangat efektif untuk
fenomena ini, seolah mereka tahu bahwa di jaman yang terbentang berapa tahun
dari tahun mereka hidup, manusia akan silau kepada gemerlap dunia, silau dengan
cahaya kesementaraan!” Dia tetap mengoceh tanpa menyadari bahwa beberapa tetes
ludahnya muncrat keluar dan masuk ke cangkir-cangkir kopi kami.
Kami yang sedari tadi ogah-ogahan meladeni teman
yang satu ini, akhirnya tertarik ke pusaran pembicaran yang tidak nyabung itu,
“Emang rem yang kamu maksud apa bro?” Tanya salah satu teman penasaran.
“Kamu tahu istilah Sugih Tanpo Bondho? Sekti Tanpo Aji? Itu sebenarnya reminder untuk kita agar arif dalam
melihat sesuatu. Kekayaan itu variablenya banyak ndak cuman duit! Buat mendapatkan kesaktian pun, bukan aji-aji atau ajimat yang kamu butuhkan.” Jawabnya.
“Lihat saja nabi terakhir kita, apa kita lupa
bahwa beliau adalah nabi paling miskin tapi paling mulia derajatnya? Paling
melarat tapi paling dicintai Tuhan? Ah, mungkin kita lupa beda makna martabat
dan derajat sehingga melihat semua hal dari kaca mata martabat, bukan derajat!”
“Lantas apa dong yang dibutuhkan?” Tanya penjual
nasi yang ternyata sedari tadi ikut nguping obrolan random ini.
“Banyak;
rasa sukur, rasa cukup, senstitifitas dalam melihat apa yang ada di dalam diri
kita dan apa yang kita punyai, bukan melulu meilhat kepunyaan orang lain karena
sejatinya tak akan pernah bisa kita merasa cukup kalau kita terus
membandingkan. Sedangkan untuk mendapat aji,
mendapatkan penghromatan, kita hanya perlu bersikap baik, punya etika pada
sesama, tidak pernah menyakiti orang lain maka refleksi dari perbuatan tersebut
akan kembali kepada kita sendiri.”
“Interupsi coy!” Sela tukang parkir yang entah
sejak kapan sudah duduk manis di sebelah tukang nasi tadi. “Kadang kala walopun toh kita berbuat baik, masih ada
saja orang yang seneng ngejahatin
kita. Terus bagaimana dengan itu?”
“Betul, anggap saja itu sebuah ujian buat ngangkat derajat kita dalam kelas
kesarabaran. Ngalah aja dahulu, kalau
tetap tidak ada berubahan ngalih,
tentunya sambil dibarengi komunikasi yang baik, kalaupun sudah mentok, kita
boleh ngamuk, walaupun aku pribadi
kurang setuju bila semua masalah diakhiri atau dipuncaki dengan ngamuk” jawabnya lancar.
***
Entah karena tidak mau berlama-lama mendengar ujaran
sok filosofis tersebut, atau memang karena kopi-kopi sudah kering, kami
memutuskan untuk menyudahi obrolan tidak jelas itu. Kami membayar pesanan kami
satu persatu kecuali si filusuf dadakan tadi. Dia masih duduk di pojok sambil
menghisap rokoknya. Setelah semua berpamitan, dan aku juga mau berpamitan, dia
memanggilku dan mengucap beberapa kata dengan setengah berbisik, “Bro, utang
duit dulu ya, duitku habis! Gabisa pulang ini kalo gak bayar dulu.”
WALAH, KAMPRET TENAN MAU NGUTANG AJA HARUS CERAMAH DULU!!!!
Comments
Post a Comment