Belajar dari cara makan orang Indonesia (Jawa)
Ada satu hal yang unik dari jutaan hal unik yang bisa kita temukan di
potongan surga bernama Indonesia ini. Hal yang cukup merefleksikan bagaimana
seharusnya orang bertindak namun seringkali terlupa. Ini adalah cara makan
kebanyakan masyarakat kita. Iya cara MAKAN.
Dulu ketika di kampung, aku seringkali mengamati cara makan yang unik
ini. Cara makan yang ternyata juga aku temukan di beberapa kota yang aku datangi
selama ini. Bukan menu atau peralatan makannya yang unik. Namun tahapan atau
urutan hidangan yang disantap itulah yang unik. Bagi kultur orang kita, nasi
adalah sesuatu yang tidak mungkin terlepas ketika kita makan. Bahkan ada yang
bilang bahwa “Belum makan kalo belum makan nasi”. Jadi secara tidak sadar, kita
telah membuat standar bahwa makan harus dengan nasi (walaupun beberapa wilayah makan
pokok adalah jagung dan sagu).
Disinilah keunikan kita muncul. Ketika kita makan, selalu ada pendamping
bagi nasi. Entah itu tahu atau tempe, ayam goreng, lele, atau mungkin daging.
Apapun pendamping tersebut, kita cenderung melakukan hal yang sama,
yakni memakan nasinya terlebih dahulu, dan menyisakan sedikit lauknya untuk
dinikmati belakangan. Bila ditelaah lebih jauh, hal ini sebenarnya mengandung
nilai filosofis yang cukup tinggi, yang seharusnya kita sadari juga. Sebenarnya
cara makan seperti itu secara natural menggambarkan bagaimana masyarakat kita
bertindak sejalan dengan perinsip “Bersakit dahulu senang kemudian” atau
mungkin “save the best for the last”.
Tidak bermaksud mengkonotasikan nasi sebagai hal yang menyakitkan, namun
semua orang tahu bahwa lauk adalah inti dari sebuah hidangan. Contoh simpelnya
ada di salah satu iklan Mie Instan dengan perkataanya yang pasti kita ingat, “sudah makan dulu sana, ada ayam kari special”. Disini yang diucapkan adalah
lauknya bukan nasinya. Bayangkan saja bila yang nawarin bilang “sudah makan
dulu sana, ada nasi satu ember tuh” pasti tidak ada yang tertarik kan?
Dari uraian diatas, sebenarnya kita bangsa Indonesia telah mempraktikkan
pertuah bijak tersebut sejak lama. Namun kultur tersebut seolah hilang tergerus
jaman, tergerus budaya lain dan tergerus ketidak peka an kita sendiri sebagai
bangsa dari kepingan Surga.
Comments
Post a Comment