Madakaripura
Kejenuhan kuliah dan kegiatan
sampingan yang terasa monoton memaksa kami untuk lebih kreatif dalam mengatur
waktu. Liburan panjang dan jodoh yang masih jauh *ehh tidak memberikan
pilihan lain kecuali memanfaatkan libur akhir pekan untuk sedikit “berhedon”
guna mengusir kepenatan yang terasa menyiksa ini.
Setelah diskusi yang cukup alot yang
diwarnai dengan pertumpahan darah perawan *uups, akhirnya kami memutuskan untuk
pergi bertandang ke salah satu air terjun di Probolinggo, Madakaripura. Konon
kabarnya air terjun ini merupakan air terjun tertinggi di Indonesia. Selain itu
patih Gajah Mada, Seorang patih Majapahit yang terkenal dengan sumpah Palapa,
pernah bersemedi di sini. Wow banget kan? Paling tidak, semisal kita lagi mumet
mikir skripsi ntar, ada referensi tempat buat bertapa. Siapa tau pulang dari
situ nanti kita dapet keajaiban; wisuda tanpa skirpsi dan gelar (D.O.)
Kami berangkat dari kontrakan pukul 08.00
pagi. Dengan anggota sejumlah 17 orang, rencana awal kami yang ingin menyewa
Naga dan Elang Indosiar, terpaksa kami batalkan. Rempong kan kalo di tengah
jalan tiba-tiba Elang dan naga tersebut mendadak ngambeg karena keberatan
penumpang? yang lebih menjadi pertimbangan adalah belum dibukanya parkir khusus
untuk dua kendaraan khas Indosiar tersebut! Akhirnya opsi Naga dan Elang ini
kami batalkan, dan kami beralih ke Motor.
on the way nih (dok. Pribadi)
Perjalanan menuju lokasi cukup seru,
dengan pemandangan hijau yang terpampang di sepanjang jalan berhasil mengusir penatnya perjalanan; maklum
perjalan menuju kesana cukup jauh. Tepat di sebuah pertigaan, pemimpin
perjalanan kami, Huda, berhenti mendadak, seolah dia sedang melihat jodohnya
yang telah lama menghilang.
“Ini kan jalannya gaes?” tanyannya.
Selain Huda, ada tiga orang lain yang sudah pernah ke tempat ini sebelumnya. Dan
ketiga orang tersebut serempak mengiyakan pertanyaan tadi. Tanpa tedeng aling-aling kami mengambil jalan
tersebut. Kini kami memasuki area perkebunan tebu dengan jalan berdebu yang
cukup panjang. Panasnya matahari ditambah debu yang terbang selama perjalanan
seolah berhasil menutupi keyakinan pemimpin rombongan kami tersebut. Beberapa
kali dia berhenti dan bertanya apakah ini memang “jalan yang benar” itu. Dan di
setiap perhentian itu pula, ketiga orang tadi mengiyakan pertanyaan tersebut. Walhasil, perjalananpun berlanjut.
Setelah berkendara selama kurang lebih 2 jam dengan trek yang meliuk-liuk, kami akhirnya tiba di perkampungan. Namun bukannya lega melihat perkampungan tersebut, pemimpin rombongan kami tiba-tiba berubah mimik mukanya. Dengan muka bersalah, seolah telah kentut di sidang skripsi yang membuat dosen penguji muntah darah, dia berujar bahwa kami telah salah mengambil jalan! Setelah berujar demikian, secepat kilat dia mengambil sesuatu dari sakunya. Sebuah cincin, yang kemudian dia pakai di jarinya dan seketika itu dia menghilang. Dia lolos dari sepatu yang sudah siap melayang ke arahnya!
ini dia si Huda ~the leader of this trip~
Mau tidak mau kami harus memutar balik
lagi, karena bila diteruskan, bukannya air terjun yang kita lihat, melainkan
samudera pasir Gunung Bromo. Oke, dengan pantat yang sudah panas
karena lamanya berkendara, kami harus memutar balik ke arah yang berlawanan. Singkat
cerita setelah melawan terik matahari dan bus yang ugal-ugalan, kami tiba di
lokasi. Parkiran telah sesak dengan motor dan mobil pengunjung. Walaupun begitu,
aku lega tidak ada naga dan elang di parkiran itu.
patung patih Gajahmada menyambut para tamu
perjalanan awal ditemani sungi yang jernih
Setelah semuanya siap, kami
melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Di awal perjalanan, beberapa
gerombolan monyet terlihat asyik bermain di atas tebing, seolah tak
memperhatikan pengunjung yang sedari tadi memperhatikan mereka. Setelah
berjalan lebih jauh dan menyeberangi sungai kecil yang jernih, suara air terjun
mulai terdengar. Saat itu pula, pedagang jas hujan mulai terlihat dan menawarkan
dagangan mereka.
selfie sebelum basah-basahan
Aku yang memang dari awal ingin
berbasah-basahan langsung saja melepas bajuku. Dengan hanya kaus kutang, dan
celana yang dilingkis ke atas, aku dan teman-temanku siap berbasah ria. Air terjun
Madakaripura ini cukup unik, sebelum dapat melihat air terjun utama, kami harus
berani melewati air terjun pembuka yang memaksa siapa saja berbasah-basahan.
Air yang cukup dingin seketika
berhasil melunturkan rasa penat di bokong kami. Saat itu pula kejenuhan kuliah
dan organisasi mengalir lancar keluar dari tubuh kami. Alam memang benar benar
tempat terbaik untuk membuat kita kembali ke ‘diri kita’ sendiri. Tak heran
mengapa patih Majapahit itu memilih tempat ini untuk bertapa. Suara gemericik
air, udara yang masih segar, aroma harum dedaunan yang masih lebat serta
pemandangan yang masih perawan adalah alasan yang cukup kuat untuk membuat ini
menjadi pilihan pertama untuk berwisata.
here we go! Madakaripura Waterfall
Dari kejauhan, suara air yang cukup
keras terdengar. Akhirnya, air terjun utama terlihat! Ketinggian air terjun ini
mampu membuat kami berteriak kegirangan dan kembali seperti anak-anak dengan
alam sebagai ibunya. Kolam alami yang terbentuk di bawah air terjun itu, seolah
menantangku untuk berenang disana. Segera dengan semangat 45, aku meloncat ke
dalam air yang sangat dingin itu.
pose narsis WGGS (Wes Gak Ganteng Seringgila)
Setelah menikmati dinginnya air, dan
berfoto ria, kami memutuskan untuk kembali ke parkiran kendaraan kami dan kembali ke kota.
pose lagi deh :)
Perlahan, aroma dedaunan dan suara
gemericik air menghilang tergilas putaran roda yang semakin kencang
meninggalkan tempat itu. Aku terdiam dan melihat sekeliling untuk memastikan
memori ini tidak akan terlepas sesampainya di kota. Aku menarik nafas panjang,
memejamkan mata dan berdoa lirih; semoga anak cucuku nanti masih bisa melihat
permainya negeri ini..... AMIN
ngecek blognya mas ternyata udah keisi yak xD
ReplyDeleteI'm craving for madakaripura sampe nyimpan fotonya di hape. ga taunya teman-teman sendiri udah pergi kesana tanpa aku ketahui *nangis di pojokan kamar*
heheh suka touring juga yun? ayok kapan2 ke pulau derawan deh hihihih
ReplyDelete